JAKARTA, KOMPAS— Komitmen untuk mengendalikan resistensi antimikroba atau kekebalan bakteri terhadap antibiotik dinilai kurang optimal. Padahal, jika tidak dikendalikan, resistensi ini dapat mengancam kesehatan masyarakat luas di masa depan.
Kurangnya pengendalian resistensi selama ini terlihat dari peningkatan prevalensi resistensi antibiotik (AMR) jenis extended spectrum beta lactamase (ESBL) di Indonesia. Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) mencatat, pada 2013 prevalensi resistensi antibiotik ESBL sebesar 40 persen. Jumlah tersebut meningkat pada 2016 yang mencapai 60 persen.
Ketua KPRA, Hari Paraton mengatakan, salah satu penyebab tingginya resistensi tersebut karena penggunaan antibiotik yang masih belum bijak, baik oleh tenaga medis maupun masyarakat. “Resistensi itu bisa terjadi misalnya karena pasien tidak ada indikasi membutuhkan antibiotik tetapi tetap diberikan. Bisa juga karena penggunaan antibiotik dengan jangka waktu yang terlalu lama (dosis berlebih),” ujarnya, Selasa (27/2) dalam Simposium Nasional bertema “More Protection, Less Antimicrobial.”
Resistensi antimikroba bisa terjadi misalnya karena pasien tidak ada indikasi membutuhkan antibiotik tetapi tetap diberikan.
Berdasarkan pengamatan yang dihimpun KPRA di sembilan kota besar terkait AMR, sebagian besar menunjukkan prevalensi di atas 50 persen. Tiga kota dengan prevalensi resistensi antimikroba tertinggi meliputi Aceh (82 persen), Semarang (79 persen), dan Medan (78 persen).
Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek mengatakan, kesadaran masyarakat tentang kesehatan yang masih kurang, terlebih terkait AMR menjadi penyebab pengendalian resistensi belum optimal. “Baru 15-20 persen masyarakat yang sadar akan kesehatan,” katanya.
Kesadaran masyarakat tentang kesehatan kurang. Baru 15-20 persen masyarakat yang sadar akan kesehatan
Ia menyampaikan, perlu adanya komitmen dari semua pihak untuk mengatasi ancaman resistensi tersebut. Jika dibiarkan, AMR dapat menurunkan kualitas kesehatan masyarakat, meningkatkan beban ekonomi, hingga menyebabkan kematian.
Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Nila mengatakan, pada 2014 angka kematian global akibat resistensi antimikroba mencapai 700.000 jiwa per tahun. Apabila tidak dikendalikan, pada 2050 akan ada sekitar 10 juta orang akan meninggal akibat resistensi antimikroba. Tidak hanya itu, diperkirakan jumlah produk domestik bruto (GDP) yang hilang sebesar 100 triliun dolar.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Kemenkes telah menyusun Rencana Aksi Nasional terkait ancaman AMR. Terdapat lima rencana aksi, yaitu meningkatkan kesadaran dan pemahaman resistensi antibiotik, meningkatkan surveilans dan penelitian yang terkait, melakukan upaya pencegahan infeksi, mengoptimalkan penggunaan obat-obat antibiotik, serta memastikan investasi berkelanjutan dalam melawan antimikroba.
Dettie Yuliati, Direktur Pelayanan Kefarmasian, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kemenkes menganjurkan agar masyarakat juga dapat menggunakan antibiotik secara bijak. Imbauan yang disampaikan antara lain, tidak membeli antibiotik sendiri tanpa adanya resep dokter, tidak menggunakan antibiotik selain untuk infeksi bakteri, tidak menyimpan antibiotik di rumah saat tidak diperlukan, tidak memberi sisa antibiotik kepada orang lain, dan tanyakan pada apoteker terkait informasi antibiotik yang akan dikonsumsi.
“Sebelum menerima antiobiotik, masyarakat harus lebih kritis menanyakan peruntukan antibiotik tersebut,” katanya.
Pengendalian di rumah sakit
Program pengendalian resistensi antimikroba (PPRA) menjadi salah satu upaya terpadu dalam pengendalian resistensi antimikroba di fasilitas pelayanan kesehatan. Pimpinan ataupun direktur rumah sakit diminta untuk berkomitmen dalam pelaksanaan PPRA ini.
Surveior Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Henry Boyke Sitompul mengatakan, pimpinan rumah sakit perlu mendukung PPRA dengan menetapkan regulasi pengendalian resistensi antimikroba, mementukan organisasi pengelola, menyediakan fasilitas serta sarana dan dukungan finansial.
“Nantinya, rumah sakit harus melaporkan pelaksanaan PPRA. Laporan ini akan dijadikan salah satu standar dalam penilaian akreditasi dari rumah sakit tersebut,” katanya. (DD04)