Sentra Pangan di Persimpangan Jalan
Di tengah ambisi pemerintah mewujudkan ketahanan pangan, sentra padi di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, dibelenggu beragam masalah. Mulai dari alih fungsi lahan, perubahan iklim, serangan hama penyakit, irigasi, hingga sawah tergerus abrasi.
Berkurangnya lahan sawah akibat alih fungsi lahan terekam dalam data Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon. Pada 2013, areal persawahan di Cirebon masih seluas 53.560 hektar. Namun, pada 2017, lahan sawah tercatat seluas 52.725 hektar. Artinya, dalam lima tahun terakhir, rata-rata seluas 167 hektar lahan sawah di Cirebon hilang setiap tahun.
Sawah itu berganti perumahan hingga pabrik. Bahkan, beberapa wilayah, seperti Kecamatan Kedawung dan Kecamatan Tengah Tani, kini nyaris tidak punya sawah. Padahal, daerah tersebut memiliki pasokan air cukup karena punya jaringan irigasi.
Sawah itu berganti perumahan hingga pabrik. Bahkan, beberapa wilayah, seperti Kecamatan Kedawung dan Kecamatan Tengah Tani, kini nyaris tidak punya sawah.
Daerah yang berada di dekat jalur pantura tersebut semakin dipadati perumahan mewah bertingkat dua. Kemacetan tidak jarang terjadi hingga jalan desa.
Kehadiran Bandar Udara Jawa Barat di Majalengka tak lama bakal membuat keadaan makin runyam. Alih fungsi atas nama kepentingan ekonomi bakal mengekor di belakang.
Padahal satu dekade lalu, daerah itu dipadati sawah. Bahkan, Tengah Tani yang dahulu hanya blok di Desa Dawuan merupakan tempat berkumpulnya petani sepulang dari sawah sebelum pulang ke rumah.
Saat ini, sawah di Tengah Tani hanya 478 hektar, kecamatan ketiga terbawah terkait luas lahan sawah di Cirebon. Luas lahan paling sempit terdapat di Kedawung dan Weru dengan luas masing-masing 117 hektar dan 249 hektar.
“Perubahan cepat sekali. Pasca Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) beroperasi 2015, banyak alih fungsi lahan. Di sini sudah ada 12 (kawasan) perumahan,” ujar Camat Tengah Tani Imam Ustadi, Kamis (22/2), di Cirebon.
Pasca Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) beroperasi 2015, banyak alih fungsi lahan. Di sini sudah ada 12 (kawasan) perumahan.
Lahan abadi
Kepala subbagian Program di Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Aang Ruskandi mengakui, lahan persawahan semakin menyusut. Untuk itu, pihaknya tengah merancang peraturan daerah terkait lahan abadi yang hanya diperuntukkan sebagai lahan pertanian.
Perda yang telah dicanangkan sejak 2013 itu, lanjut Aang, menunggu revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Cirebon yang saat ini masih tahap konsultasi dengan Pemerintah Provinsi Jabar.
“Lahan abadi yang ditetapkan sekitar 40.000 hektar. Kami baru cek ke 10 kecamatan dan masih akan bertambah. Dengan lahan abadi, pasokan beras 30 tahun ke depan masih aman,” ujarnya.
Cirebon selama ini menjadi penyangga bahan pangan untuk Jabar. Lebih dari 100.000 ton beras setiap tahun dikirim ke wilayah Jabar bahkan Jakarta.
“Namun, akibat serangan hama wereng dan penyakit kerdil rumput dan kerdil hampa tahun lalu, surplus beras Cirebon hanya 60.000 ton,” ujar Aang.
Akibat serangan hama wereng dan penyakit kerdil rumput dan kerdil hampa tahun lalu, surplus beras Cirebon hanya 60.000 ton.
Akan tetapi, Aang mengakui, selama ini, petani menjual sawahnya karena membutuhkan uang. Untuk itu, pihaknya berencana memberikan insentif kepada petani yang sawahnya termasuk lahan abadi. Harapannya, sawah tersebut tidak beralihfungsi.
Banyak masalah
Pada saat yang sama, regenerasi petani di sentra padi Cirebon juga mandek. Jumlah petani pada 2017 tercatat sebanyak 70.320 orang, dengan taruna tani atau petani muda hanya 652 orang. Jumlah tersebut jauh menurun dibandingkan jumlah petani pada 2007, yakni 158.358 orang.
Problem sentra padi lainnya ialah persoalan irigasi. Dari lahan baku sawah 52.725 hektar, baru 20.620 hektar lahan persawahan di Cirebon yang teraliri irigasi dari Saluran Induk Sindupraja yang bersumber dari Bendung Rentang di Majalengka, Jabar.
Masih banyak irigasi teknis yang hanya berdinding tanah, seperti di Suranenggala dan Kapetakan. Belum lagi soal sampah yang menyumbat saluran irigasi. Petani kerap menyindir masalah irigasi ini dengan ungkapan “kalau hujan, sawah kebanjiran. Giliran kemarau, sawah kekeringan”.
Di Kecamatan Gunung Jati, misalnya, banjir pada pertengahan Februari lalu merendam lebih dari 100 hektar sawah. Daerah tersebut merupakan saluran pembuangan dari sungai yang berada di Jamblang, Plered, dan Weru.
"Tetapi, kalau kemarau, sawah kami kekeringan. Karena air enggak sampai sini,” ujar Suta (40), warga setempat yang menyewa sawah 3 hektar.
Banjir pada pertengahan Februari lalu merendam lebih dari 100 hektar sawah di Kecamatan Gunung Jati, tetapi saat kemarau sawah kekeringan.
Suta terancam gagal tanam karena sawahnya terendam lebih dari tiga hari. Biaya yang dibutuhkan sekitar Rp 3 juta. Ini belum termasuk kebutuhan pestisida karena hama keong bermunculan pasca banjir.
“Padahal, utang masih menumpuk di kios. Untuk sewa lahan per hektar selama setahun saja butuh uang Rp 7 juta,” ucapnya.
Pada musim tanam rendeng atau pertama tahun lalu, ia mengaku tidak mendapatkan hasil panen sama sekali karena sawahnya terserang penyakit kerdil rumput dan kerdil hampa atau yang disebut klowor (pendek) oleh warga setempat.
Pada tanam gadu atau kedua, ia hanya meraup 1,5 ton gabah kering panen (GKP) dalam 1,5 ton per hektar. Padahal, biasanya, ia mendapatkan 5 ton GKP per hektar.
Suta tidak menampik, bertani saat ini penuh risiko dan merugikan. “Petani itu tidak mungkin kapok menanam. Karena tidak ada kerja lain. Tapi, kami mohon, saluran irigasinya diperbaiki,” ujarnya.
Petani itu tidak mungkin kapok menanam. Karena tidak ada kerja lain. Tapi, kami mohon, saluran irigasinya diperbaiki.
Ketika pasokan air kurang, menurut Ketua Himpunan Kelompok Tani Indonesia Kabupaten Cirebon Tasrip Abubakar, sekitar 12.000 hektar sawah di lima kecamatan terancam gagal panen. Dengan asumsi satu hektar dapat menghasilkan 6,5 hektar GKG, maka Cirebon terancam kehilangan 78.000 GKG.
“Itu sebabnya, ada petani yang terpaksa menggunakan jasa ‘preman air’ agar sawahnya teraliri. Biayanya sekitar Rp 200.000 untuk satu pompa selama sehari,” ujar Tasrip. Saat kemarau, deretan pompa air tampak di saluran irigasi agar sawah petani teraliri.
Tanam sekali setahun
Kondisi serupa juga ditemukan di sentra padi Indramayu. Di Krangkeng dan Juntinyuat, misalnya, merupakan daerah kekeringan. Di Krangkeng, tanam padi bahkan hanya sekali dalam setahun.
“Antar teman bisa bertengkar gara-gara air,” ujar Tardika (52), petani di Juntinyuat.
Pada musim kemarau panjang tahun 2015, Indramayu mengalami puso hingga 21.000 hektar. Dalam berbagai kesempatan, Bupati Indramayu Anna Sophanah mengatakan, lebih dari 50 persen saluran irigasi di Indramayu rusak.
Pada musim kemarau panjang tahun 2015, Indramayu mengalami puso hingga 21.000 hektar.
Namun, menurut dia, irigasi tersebut merupakan kewenangan pemerintah pusat. Sebanyak 94.944 hektar lahan persawahan di Indramayu telah memiliki saluran irigasi sedangkan lebih dari 20.953 hektar masih sawah tadah hujan.
Padahal, Indramayu termasuk salah satu kabupaten di Indonesia yang memiliki areal sawah terluas, yakni 116.245 hektar, jauh lebih besar dibandingkan lahan bukan pertanian 36.467 hektar. Luas sawah tersebut tidak berbeda jauh dengan luas sawah pada 2013, yakni 116.805 hektar.
Indramayu mampu memproduksi gabah 1,7 juta ton per tahun. Sementara kebutuhan masyarakat di pesisir utara tersebut yang jumlahnya 1,8 juta jiwa hanya 250.000 ton GKG per tahun. Selebihnya, ke Jakarta dan daerah Jawa lainnya.
Abrasi
Selain irigasi, persoalan pertanian di sentra padi Indramayu ialah abrasi. Lahan sawah di pesisir pantai seperti Desa Juntinyuat, Glayem, dan Dadap terus terkikis abrasi pantai.
Di Juntinyuat, sawah sepanjang 1 kilometer tak luput dihantam abrasi. Bekas hantaman ombak laut juga terlihat dari lahan persawahan yang berbentuk seperti gerigi.
Air laut bahkan sampai menghabisi lebih dari 10 meter lahan dari bibir pantai yang sebelumnya digunakan warga bertani. Hanya berjarak sekitar 20 meter dari sawah, tertambat dua perahu.
"Sudah banyak wartawan dan orang dinas pertanian yang datang ke sini. Foto dan nanya-nanya. Tetapi, ya begini saja. Tidak ada perubahan, malah lebih buruk,” ujar Toha (55), petani setempat yang lahannya terdampak abrasi.
Sudah banyak wartawan dan orang dinas pertanian yang datang ke sini. Foto dan nanya-nanya. Tetapi, ya begini saja. Tidak ada perubahan, malah lebih buruk.
Dia mengisahkan, pada 1995 dirinya memiliki sawah 200 bata atau 2.400 meter persegi. Namun, akibat abrasi pantai dari tahun ke tahun, kini ia hanya punya sawah 10 bata atau 120 meter persegi. Jika beruntung, ia mendapatkan 3 karung atau 1,5 kuintal GKG dari lahannya yang tidak seberapa itu.
Ia tidak tahu pasti berapa jumlah pasti sawah yang habis dilahap abrasi. Tetapi, seingatnya, ketika kecil dulu ia harus berjalan setengah hari untuk sampai ke kantor desa dari bibir pantai. “Sekarang dua jam saja cukup,” ucapnya.
Kehilangan sawah akibat abrasi berarti tidak ada uang penggantian lahan. Mencegahnya pun sulit. Mangrove tidak tampak di antara sawah dan pantai. Sementara biaya pembangunan batu pemecah ombak tidak mungkin mampu ditanggung oleh petani.
Untuk meneruskan hidup, ia menyewa lahan desa seluas 1.200 meter persegi dengan harapan mendapatkan 1 ton GKG. Kadang ia juga kerja serabutan, termasuk menangkap rebon di pinggir laut. Namun, hasil panen tahun lalu hanya 5 kuintal akibat serangan klowor.
"Padahal, ongkos pestisida sampai Rp 1,5 juta. Jauh dari biasanya yang hanya Rp 500.000,” ujarnya.
Dua anaknya yang memutuskan jadi tenaga kerja Indonesia di Taiwan, bukan petani, juga membantu keuangan keluarga. “Yang penting ada untuk makan, meskipun anak saya masih utang Rp 50 juta karena biaya ke luar negeri dulu,” lanjut Toha.
Dua anaknya memutuskan jadi tenaga kerja Indonesia di Taiwan, bukan petani.
Dinas Pertanian Indramayu mencatat, pada 2016, lahan seluas 4 hektar habis dimakan abrasi. Abrasi kerap terjadi pada Juni – Agustus, ketika ombak begitu kencang.
Persimpangan
Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, menilai, berbagai persoalan di sentra padi tersebut menunjukkan, kebijakan ketahanan pangan pemerintah berada di persimpangan jalan. Ketahanan pangan yang diartikan sebagai jaminan akses pangan kepada masyarakat Indonesia sulit dilakukan jika sentra pangan bermasalah.
Ketahanan pangan yang diartikan sebagai jaminan akses pangan kepada masyarakat Indonesia sulit dilakukan jika sentra pangan bermasalah.
Untuk itu, Andreas mendorong pemerintah untuk melakukan diversifikasi pangan lokal, seperti sagu dan tidak bertumpu pada beras saja. “Peningkatan diversifikasi ini dapat dimulai dengan pendidikan kepada masyarakat, utamanya anak sekolah dasar untuk mengonsumsi pangan lokal. Sehingga mereka akan terbiasa mencicipi pangan lokal selain beras,” ujar Andreas.
Guru Besar Antropologi FISIP Universitas Indonesia yang kerap mendampingi petani, Yunita Triwardani Winarto, menilai, ketahanan pangan tidak akan terwujud selama petani tidak punya ketangguhan. Ketangguhan yang dimaksud ialah tidak bergantung pada pestisida dan pupuk kimia serta mampu mengendalikan hama, bukan membasminya.
Ketahanan pangan tidak akan terwujud selama petani tidak punya ketangguhan. Ketangguhan yang dimaksud ialah tidak bergantung pada pestisida dan pupuk kimia serta mampu mengendalikan hama, bukan membasminya.
“Ada beberapa petani yang punya ketangguhan luar biasa. Bahkan, mampu menghasilkan beni lokal yang unggul. Namun, jumlahnya sangat sedikit. Sementara petani yang bergantung pada pestisida dan pupuk kimia jauh lebih banyak. Ini tantangan bagi petani,” ujar Yunita.
Larangan penggunaan 57 jenis (nama merek dagang) insektisida pada padi berdasarkan Inpres No 3 Tahun 1986 nyaris tidak lagi diketahui oleh petani.