Stop Buang Air Besar Sembarangan
Pembangunan kesehatan di Indonesia masih menghadapi persoalan yang sangat beragam, mulai dari yang pelik hingga yang mendasar. Di tengah kemajuan teknologi informasi yang kian pesat, sebagian warga belum memiliki jamban sendiri sehingga masih buang air besar sembarangan.
Seorang warga Desa Pinilih, Kecamatan Dimembe, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, Yurike Rantumbanoa (47), misalnya, lama tidak memiliki jamban sendiri. Di siang hari, ia menumpang ke jamban tetangganya jika ingin buang air besar (BAB). Di malam hari, ia kadang BAB sembarangan (BABS) di pekarangan rumah atau di kebun. Kotoran yang ia buang dikubur begitu saja.
Semula Yurike bersama suami dan dua anaknya tinggal bersama orangtuanya yang memiliki jamban sendiri. Ia dan keluarganya lalu pindah ke rumah sendiri, tetapi tanpa jamban.
Yurike mengaku sering kali diolok-olok tetangga karena tidak memiliki jamban dan harus menumpang setiap kali ingin BAB. ”Malu, kan, di sekitar sini tinggal saya sendiri yang tidak punya jamban,” katanya beberapa waktu lalu. Kini, Yurike telah memiliki jamban sendiri.
Warga Desa Pinilih lainnya, Denisye Manukang (43), mengatakan, sebelum memiliki jamban sendiri, ia bersama keluarga biasa BAB menumpang di rumah orangtuanya yang tak jauh dari rumahnya. Kalau ada tamu berkunjung dan ingin buang air, mereka terpaksa menumpang di rumah orangtuanya. ”Kalau sering menumpang malu juga. Mau sampai kapan,” katanya.
Bagi Denisye, kendala ketika akan membangun jamban ialah keterbatasan dana. Diperlukan biaya setidaknya Rp 7 juta untuk membangun jamban.
Hukum Tua Desa Pinilih, Frederik Longdong, mengatakan, sebelum tahun 2014, banyak warga desanya yang BABS. Warga yang tak memiliki jamban biasanya BAB di selokan, sungai, atau kebun. Namun, seiring waktu, kondisinya berangsur membaik. Kini Desa Pinilih telah menjadi desa bebas BABS.
Pihak desa terus menyosialisasikan pentingnya hidup sehat, termasuk menjaga lingkungan juga sehat. Salah satu langkah awal yang penting dilakukan adalah memiliki jamban sendiri. Penyuluhan pentingnya sanitasi yang sehat, tidak BABS, dan cuci tangan terus dilakukan di sekolah, pertemuan warga, dan gereja.
”Kami motivasi warga agar merasa malu, jijik, takut, dan berdosa kalau BABS sampai mereka termotivasi untuk membuat jamban sendiri,” kata Frederik.
Aparat desa juga melakukan program stimulan dengan memberikan bantuan kloset dan pipa bagi masyarakat kurang mampu sebab salah satu kendala dalam kepemilikan jamban permanen ialah masalah biaya.
Ketua Badan Kerja Sama Antarumat Beragama Desa Pinilih Pendeta Lustin Marentek Mapadang menuturkan, tokoh agama ikut terlibat dalam sosialisasi kebersihan lingkungan di masyarakat. Di gereja, misalnya, selalu disampaikan kebersihan adalah bagian dari iman. ”Bagaimana sehat imannya kalau jasmaninya tidak sehat. Perubahan harus dimulai dari dalam diri sendiri,” ujarnya.
Desa Pinilih selama ini dikenal sebagai desa yang warganya terbiasa memanfaatkan pekarangan rumah dengan menanam tanaman obat keluarga. Karena kebiasaan itulah banyak pihak di luar Desa Pinilih yang berkunjung ke Desa Pinilih, baik untuk belajar bagaimana menggalakkan tanaman obat keluarga maupun sekadar berwisata. Hal ini membuat bangga warga desa. Sebagai desa yang memiliki potensi pariwisata, kata Lustin, aspek kebersihan lingkungan tentu menjadi hal penting.
Target RPJMN
Masih adanya warga yang BABS menjadi tantangan untuk mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. RPJMN menetapkan target tarcapainya akses universal 100 persen air minum, 0 persen permukiman kumuh, dan 100 persen stop bebas BABS pada 2019.
Namun, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, baru 71,25 persen keluarga di Indonesia yang memiliki akses sanitasi bersih. Dari sekitar 75.000 desa di Indonesia, baru 12.843 desa yang sudah bebas BABS. Provinsi yang sudah memiliki akses sanitasi bersih 100 persen adalah DI Yogyakarta. Masih ada beberapa provinsi akses sanitasi desanya belum bagus, antara lain Papua Barat (24,27 persen), Papua (16,87 persen), Maluku Utara (52,07 persen), dan Kalimantan Utara (52,38 persen).
Direktur Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali, Senin (8/1), di Jakarta, mengatakan, masih banyaknya keluarga yang belum memiliki jamban sendiri umumnya disebabkan tempat tinggal mereka yang sulit, seperti di tepi sungai atau pesisir yang mengalami pasang surut.
”Kalau misalnya penduduk di tepi sungai atau pesisir memiliki jamban tetapi pembuangannya bermuara ke sungai atau laut, ya sama saja belum bebas BABS,” kata Imran.
Imran menginformasikan, kini sedang dikembangkan septic tank terapung di Kabupaten Gunung Mas dan Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Di setiap daerah itu terdapat lima titik septic tank terapung yang menjadi percontohan. Tahun ini akan diperluas di 10 kabupaten/kota lainnya.
Pada septic tank terapung itu, kotoran ditampung untuk kemudian diproses secara teknis sebelum dibuang. Hasil pemrosesan itu secara teknis sudah aman jika dibuang ke sungai.
Tantangan lain dari bebas BABS ialah kondisi ekonomi warga yang kurang mampu. Mereka tidak memiliki cukup uang untuk membangun jamban sendiri. Muncul inisiatif-inisiatif di daerah untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap sanitasi bersih, misalnya memberikan kredit berbunga rendah untuk membangun jamban.
Sebenarnya, ujar Imran, telah ada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 01/MUNAS-IX/MUI/2015 yang menyatakan bahwa harta zakat, infak, sedekah, dan wakaf dapat didayagunakan untuk membangun sarana air bersih dan sanitasi. Fatwa ini tinggal ditindaklanjuti sehingga target bebas buang air besar sembarangan sesuai RPJMN bisa tercapai.
(Adhitya Ramadhan)