Selain pengakuan aset hutan adat, Nawa Cita menjanjikan akses hutan dalam skema perhutanan sosial. Totalnya mencapai 12,7 juta hektar (ha) masih harus dipenuhi hingga 2019, termasuk di dalamnya pengakuan wilayah hutan adat. Target ini kemudian dicoba dibuat realistis oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi 4,3 juta ha (Kompas, 26 Oktober 2017).
Dalam skema perhutanan sosial nonhutan adat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga memberi skema pengelolaan hutan dalam format hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan kemitraan, kemitraan konservasi, dan izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS). Semua model ini bertujuan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya.
Mengutip data Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, per 18 Desember 2017, pemberian perhutanan sosial ini secara total baru 1.333.483,48 ha dari target akhir tahun seluas 1.526.455,67 ha. Pemenuhan akses pengelolaan hutan terbesar pada skema hutan desa yang mencapai 686.718,83 ha.
Capaian terprogresif hutan desa didapatkan kabinet saat ini dengan luasan 608.646,83 ha. Diduga keberadaan Undang-Undang Desa beserta konsekuensi pengucuran anggaran ke desa dan menggeliatnya badan usaha milik desa jadi pendorong.
Desa Merabu di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, misalnya, mendapat hak pengelolaan 8.245 ha hutan lindung setempat selama 35 tahun sejak 2015. Di hutan yang sebagian besar berupa ekosistem karst ini, mereka mengembangkan potensi peternakan sapi, perkebunan karet, dan ekowisata.
Ekowisata ini memanfaatkan mata air Nyadeng serta Puncak Ketepu. Dari atas bukit ini, pengunjung dibawa melihat gugusan perbukitan karst Sangkulirang Mangkalihat. Langkah ini jadi jurus untuk menangkal ekspansi kebun sawit yang merongrong wilayah mereka.
Masyarakat adat
Skema hutan adat 16.463,24 ha memang baru diberikan rezim Presiden Joko Widodo. Pemberian pengakuan ini menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi yang mengembalikan kedaulatan masyarakat adat atas hutan-hutan yang diklaim sebagai hutan negara.
Angka ini jauh dari pemetaan swadaya yang dilakukan Jaringan Kerja Pemetaan Paritisipatif di areal hutan adat seluas 10,2 juta ha yang semuanya di hutan negara. Sebanyak 75 persen di antaranya telah jadi konsesi tambang, sawit, dan berbagai izin lain sehingga penetapan pengakuannya lebih kompleks.
Seperti menyadari janji Nawa Cita bagi-bagi ruang pengelolaan ini berjalan seret, Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan pada 6 September 2017. Sejumlah pihak mengkhawatirkan kebijakan ini jadi upaya pemutihan berbagai perambahan dan pemanfaatan lahan hutan.
Hal itu menambah kekhawatiran pada dampak kebijakan sebelumnya yang diterbitkan KLHK melalui Peraturan Menteri Nomor 39 Tahun 2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Regulasi itu mengatur pemberian perhutanan sosial di Jawa dalam format IPHPS.
Di luar pengelolaan hutan Jawa oleh Perhutani yang belum maksimal, pemberian ruang kelola ini agar tak memicu konflik. Sebab, Perhutani punya skema serupa berupa pemberdayaan hutan berbasis masyarakat diikuti 6.000 lembaga masyarakat desa hutan.
Dalam peraturan menteri itu, warga diberi hak selama 35 tahun (bisa diperpanjang) memakai ruang hutan untuk berbagai peruntukan, seperti tanaman semusim dan tambak di areal hutan (silvoforestry). Meski kegiatan ini hanya diperbolehkan di hutan produksi, perlu ada pengawasan agar tak merambat ke hutan-hutan lindung yang berfungsi mengelola air dan tanah. Ini mengingat masa izin amat panjang dan pengawasan terbatas dari pemerintah.
Suara pro terhadap peraturan menteri ini beranggapan, IPHPS hanya diberikan pada lahan Perhutani yang bertutupan kurang dari 10 persen selama 5 tahun berturut-turut. Jadi skema ini menempatkan warga jadi aktor untuk merehabilitasi hutan itu.
Pemberian akses ataupun aset melalui perhutanan sosial harus diakui ialah kebijakan populis yang membuat organisasi masyarakat sipil yang mengurusi tenurial mendukung rezim ini. Dengan rata-rata kepemilikan lahan masyarakat hanya 0,24 ha per keluarga atau tak ekonomis, pemberian ruang hutan bagi warga sebagai penambahan luas ruang kelola sehingga kesejahteraan petani meningkat.
Perlu pendampingan
Pemberian ruang hutan kelola tak hanya mengejar luasan. Mutu pengelolaan menentukan masa depan hutan Indonesia.
Karena itu, yang tak kalah penting, harus dipastikan pemberian perhutanan sosial disertai pendampingan. Sebab, masyarakat penerima umumnya memiliki kemampuan ekonomi lemah (dan berpendidikan rendah) yang butuh pendampingan agar memakai lahan secara baik.
Kabar baiknya, sistem di KLHK mengakomodasi ihwal pendampingan ini. Bahkan, pada tahun 2018 diluncurkan Sistem Navigasi Perhutanan Sosial yang dijanjikan terbuka untuk diakses masyarakat umum.
Masyarakat yang telah mendapatkan akses atau aset perhutanan sosial lalu didampingi kementerian, perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, hingga sektor swasta yang bekerja di daerah itu. Pengawasan diberikan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan yang kini sedang dibentuk di tiap tapak hutan.
Langkah ini tentu tak akan semudah direncanakan. Ini mengingat masalah tenurial merupakan warisan yang diturunkan dari rezim ke rezim.
Upaya memberi keadilan sosial melalui pemberian ruang oleh rezim saat ini, meski terkesan lamban, patut diapresiasi. Hal yang tak boleh dilupakan adalah tetap mengedepankan kehati-hatian, verifikasi, dan pendampingan. Jangan semata-mata ingin menyenangkan rakyat, dalam hal ini konstituen, fungsi hutan dikorbankan sehingga menimbulkan bencana dan merugikan masyarakat.