Presiden agar Tegas Menolak Pembahasan RUU Perkelapasawitan
Oleh
Ichwan Susanto
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil menolak pembahasan Rancangan Undang-Undang Perkelapasawitan yang kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional 2018. Selain dinilai bertentangan dengan perundangan, RUU inisiatif DPR ini juga berpotensi mengulang kesalahan dengan menghidupkan kembali pasal-pasal dalam Undang-Undang Perkebunan yang telah dianulir Mahkamah Konstitusi.
Apabila Presiden tak tegas, dikhawatirkan pembahasan perundangan ini malah menjadi obyek tawar-menawar politik yang merugikan tata kelola lahan dan kehutanan yang kini sedang diperbaiki.
”Presiden agar resmi mengirim surat kepada DPR atau tidak mengirim pemerintah dalam pembahasan RUU Perkelapasawitan di DPR,” kata Maryo Saputra, aktivis Sawit Watch Indonesia, Kamis (21/12), di Jakarta.
Maryo mengingatkan, dalam rapat kerja harmonisasi RUU Perkelapasawitan antara pemerintah dan Badan Legislasi DPR, Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, serta Menteri Hukum dan HAM pada 17 Juli 2017 menolak melanjutkan pembahasan RUU Perkelapasawitan. Pasal-pasal dalam RUU itu dinilai tumpang tindih dengan UU No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan serta UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Analisis pada RUU itu menunjukkan 41 pasal di dalamnya sama persis dengan UU Perkebunan. Selain itu, sejumlah 13 dari 17 bab dalam RUU sudah diatur dalam UU Perkebunan, UU No 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, serta UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Untungkan korporasi
Maryo mengatakan, niat awal penyusunan RUU untuk peningkatan kesejahteraan petani mandiri tak tampak dalam draf. Ia menunjukkan, hanya satu pasal yang menyebut petani mandiri.
Isi draf RUU dinilai justru semakin menguntungkan korporasi sawit, yaitu dengan keringanan pajak. Selain itu, RUU juga tampak ingin menghidupkan kembali pasal yang telah dihapus Mahkamah Konstitusi terkait uji materi atas UU Perkebunan oleh masyarakat sipil.
Saat itu, Mahkamah Konstitusi setuju bahwa aktivitas perkebunan sawit baru tak bisa dilakukan hanya berbekal izin usaha perkebunan (IUP), seperti privilege (hak istimewa) yang diberikan UU Perkebunan bagi korporasi. Mahkamah Konstitusi mengharuskan aktivitas perkebunan sawit baru bisa dilakuan apabila telah mengantongi hak guna usaha (HGU).
Mahkamah Konstitusi mengharuskan aktivitas perkebunan sawit baru bisa dilakuan apabila telah mengantongi hak guna usaha.
Meski RUU ini memiliki banyak kelemahan, prosesnya terus berlanjut. Andi Muttaqien dari Elsam mengatakan, saat ini konsultasi publik terus dilakukan anggota DPR di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Ini diduga merupakan strategi agar RUU ini mendapat dukungan pemerintah daerah. Ia khawatir RUU ini akan dipaksakan berkat tawar-menawar politis.
Andi menyebutkan, pemerintah dan DPR lebih baik memprioritaskan pembahasan revisi UU Perkebunan yang pasal-pasalnya beberapa kali telah dianulir Mahkamah Konstitusi. Ini bisa dibahas dan diselaraskan dengan RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan.