Pelaksanaan ”Outbreak Response Immunization” Terus Dikawal
Oleh
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan outbreak response immunization difteri diharapkan bisa menghentikan kejadian luar biasa yang saat ini terjadi. Untuk itu, semua pihak, dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, tenaga kesehatan, komunitas, hingga masyarakat, harus mengawal pelaksanaannya di masing-masing daerah.
Data terbaru dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes), 28 provinsi dilaporkan mengalami kejadian luar biasa difteri. Dari seluruh provinsi tersebut, tercatat sudah ada sekitar 760 kasus difteri dan 42 di antaranya meninggal.
Kasus difteri terus terjadi. Di Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Prof Dr Sulianti Saroso Jakarta, misalnya, jumlah pasien difteri dilaporkan terus meningkat. Hingga Senin (18/12), sebanyak 98 pasien dirawat di rumah sakit itu. Dari jumlah itu 65 pasien anak-anak dan 33 pasien dewasa. Minggu (11/12) lalu terdapat 33 pasien difteri yang dirawat di rumah sakit itu.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Oetama Marsis mengatakan, peningkatan jumlah kasus difteri harus diantisipasi dengan persediaan vaksin yang cukup. ”ORI harus segera dilakukan di semua daerah, melihat sudah hampir semua provinsi mengalami kejadian luar biasa (KLB). Namun, persediaan vaksin harus dipastikan cukup,” katanya dalam jumpa pers ”Wajib Ikut ORI” di Jakarta, Senin (18/12).
ORI harus segera dilakukan di semua daerah, melihat sudah hampir semua provinsi mengalami kejadian luar biasa (KLB).
Marsis mengatakan, program ORI sebagai upaya tambahahan untuk menciptakan kekebalan komunitas harus dilaksanakan dengan benar agar penularan difteri bisa dihentikan. Kekebalan komunitas, lanutnya, bisa tercapai jika cakupan imunisasi di suatu daerah harus tinggi atau lebih dari 80 persen.
”Semua anak di wilyaah ORI harus mendapatkan imunisasi tambahan dan status imunisasi semua anak di luar wilayah ORI lengkap sesuai usia,” ujarnya.
Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia Aman Bhakti Pulungan menambahkan, program ORI yang saat ini sudah berlangsung harus terus dikawal agar hasilnya bisa maksimal. ”ORI harus dikawal hingga selesai sampai KLB tidak lagi terjadi. Kami melalui ikatan dokter juga memastikan dokter praktik di sejumlah daerah siap memberikan imunisasi ulang, baik melalui program pemerintah maupun secara mandiri,” ujarnya.
Menurut Ketua Persatuan Besar Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI) Samsuridjal Djauzi, imunisasi ulang sebaiknya juga dilakukan oleh orang dewasa, terutama yang melakukan kontak langsung dengan pasien difteri. ”Imunisasi ulang harus dilakukan setiap 10 tahun sekali. Imunisasi yang diterima pada usia dewasa adalah Tdap dan Td,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kemenkes Elizabeth Jane Soepardi menyampaikan, vaksin yang saat ini tersedia dipastikan cukup untuk mendukung pelaksaan ORI hingga akhir Desember 2017. Ia juga menegaskan, pemberian imunisasi tahun 2018 juga dipastikan cukup.
Pelaksanaan ORI pada 2018, ujar Jane, akan menggunakan alokasi vaksin dan buffer stock (persediaan lebih) untuk tahun tersebut. PT Bio Farma, sebagai produsen vaksin, juga sudah menarik kembali vaksin yang diekspor ke luar negeri untuk menambah stok vaksin di Indonesia. ”Jadi, stok vaksin untuk dewasa juga tersedia cukup,” katanya.
Menambah ruang isolasi
Direktur Utama RSPI Sulianti Saroso Jakarta Rita Rogayah menyampaikan, untuk mengatasi jumlah pasien yang terus meningkat, pihak rumah sakit sudah menambah ruang isolasi yang tersedia. ”Kami sediakan tujuh bangsal khusus untuk pasien difteri. Sebelumnya, hanya ada dua bangsal,” katanya.
Selain itu, pasien yang sudah dalam kondisi membaik dan telah menerima antidifteri serum (ADS) serta antibiotik injeksi lebih dari lima hari juga akan dirujuk kembali ke rumah sakit rujukan awal.
Jane mengatakan, selain RSPI Sulianti Saroso, pasien difteri yang berasal dari Jakarta dan sekitarnya juga bisa dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta Timur, dan Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta Selatan. (DD04)