Pengacara: Jalur Hukum yang Ditempuh PT RAPP Justru Bantu Pemerintah
Oleh
Syahnan Rangkuti
·3 menit baca
PEKANBARU, KOMPAS – Pengacara perusahaan Hutan Tanaman Industri PT Riau Andalan Pulp and Paper, Andi Ryza Fardiansyah mengungkapkan keheranan atas gencarnya tuduhan bahwa kliennya melawan pemerintah dan tidak mau menyelamatkan kawasan lindung gambut. Semestinya, permohonan PT RAPP ke PTUN Jakarta dapat dipandang sebagai langkah membantu pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyelesaikan kisruh hutan tanaman industri secara hukum.
“Kami tidak pernah melawan pemerintah. Permohonan PT RAPP di PTUN adalah mekanisme sah mengikuti ketentuan Undang-Undang No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Esensi dari Undang-undang itu adalah untuk mengubah paradigma birokrasi pemerintahan,” kata Ryza dalam pertemuan dengan media di Pekanbaru, Senin (18/12).
Tuduhan PT RAPP melawan perintah negara kerap disampaikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan.
Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), misalnya, dalam rilis yang diterima Kompas menyebutkan, PT RAPP adalah perusahaan bandel dan melawan aturan hukum terutama tentang penyelamatan kawasan lindung gambut di areal konsesi hutan produksinya.
Perusahaan grup Raja Garuda Emas itu juga dituding sebagai korporasi pembakar lahan.
Kebandelan perusahaan itu, menurut Jikalahari, ditandai dengan keengganan perusahaan mengubah Rencana Kerja Usaha (RKU) untuk tidak menanam lagi di kawasan lindung hutan produksi, sesuai Peraturan Pemerintah No 71/2014 yang direvisi menjadi PP No 57/2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Karena membandel, KLHK pun mencabut izin RKU PT RAPP. Namun perusahaan itu semakin berani melawan dengan membuat surat keberatan dan mengajukan “gugatan” ke PTUN.
Menurut Ryza, sebelum menjawab tuduhan itu, dia mau mengajak semua pihak berpikir jernih. Permohonan PT RAPP ke PTUN Jakarta adalah langkah pembelajaran buat pemerintah dan seluruh warga Indonesia untuk mengenal ketentuan UU NO 30/2014.
Pasal 77 UU itu memberikan hak kepada setiap warga untuk mengajukan keberatan atas keputusan yang dikeluarkan pemerintah yang dianggap merugikan.
UU itu mengamanatkan pemerintah wajib memberikan jawaban apakah menerima atau menolak keberatan yang diajukan pemohon. Apabila keberatan tidak ditanggapi dalam tempo 10 hari, maka pemerintah dianggap menyetujui keberatan yang diajukan pemohon.
Dalam hukum, kewajiban menjawab keberatan dan konsekuensinya disebut fiktif positif. Setelah itu, dalam lima hari pemerintah diwajibkan mengeluarkan surat keputusan yang isinya menyetujui keberatan dimaksud.
“Kami sudah mengajukan keberatan atas surat KLHK No 5322/2017 yang mencabut RKU. Namun KLHK tidak pernah menjawab. Setelah waktu 10 hari habis, maka berlaku ketentuan fiktif positif . Sampai saat ini, KLHK tidak juga membuat surat pengesahan menyetujui keberatan. Makanya kami mengajukan permohonan kepada PTUN untuk memerintahkan KLHK membuat surat dimaksud,” kata Ryza.
Menurut Ryza, perundang-undangan Indonesia sebelum ini memang memberikan waktu 90 hari buat pemerintah untuk menjawab keberatan. Apabila tidak dijawab, pemerintah dianggap menolak keberatan. Istilahnya fiktif negatif. Dengan aturan itu, pemerintah dianggap sengaja berlama-lama menjawab keberatan. Namun sekarang, undang-undang meminta pemerintah cepat menjawab keberatan.
“Jadi permohonan kami sama sekali tidak terkait dengan tuduhan melawan pemerintah atau terkait membakar lahan, membandel dan semua tuduhan lain. Kami juga punya dalil hukum sangat kuat untuk tidak mengubah RKU. Misalnya PP Gambut tidak boleh berlaku surut, dan termasuk putusan Mahkamah Agung tentang uji materi beberapa pasal Peraturan Menteri LHK No 17/2017 tentang Pembangunan HTI yang diajukan oleh SPSI Riau,” kata Ryza.