Merokok Jadi Faktor Utama
Penyakit jantung merupakan salah satu penyakit tidak menular dengan jumlah kasus terus bertambah di Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, penyakit jantung menempati urutan pertama penyakit yang menyebabkan kematian di dunia. Di Indonesia, penyakit jantung juga termasuk pembunuh utama.
Hal itu mengemuka dalam Forum Diskusi Kesehatan Kompas-Rumah Sakit Siloam yang bertema ”Penyebab, Gejala, dan Penanganan Serangan Jantung” di Jakarta, Sabtu (16/12). Pembicara dalam diskusi tersebut adalah Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia (YJI) Syahlina Zuhal; dokter ahli jantung dan pembuluh darah dari RS
Siloam Lippo Village, Sunanto; dan ahli kedokteran olahraga
Michael Triangto. Diskusi dipandu oleh wartawan harian Kompas, Evy Rachmawati, dan Tasya dari radio Sonora.
Syahlina menyampaikan, aspek perilaku memiliki kontribusi yang besar dalam terjadinya penyakit tidak menular seperti penyakit jantung. Salah satu perilaku yang menjadi faktor risiko utama berbagai penyakit kronis tidak menular adalah kebiasaan merokok.
”Merokok terkait dengan penyakit jantung, kanker, hipertensi, juga diabetes melitus. Karena itu, untuk mencegah penyakit tersebut, ya, jangan merokok. Saya juga setuju kalau iklan rokok dilarang agar anak muda tidak tergiur untuk merokok,” kata Syahlina.
Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi perokok pada usia lebih dari 15 tahun di Indonesia terus meningkat. Pada 2010, prevalensi perokok 34,7 persen. Angka itu meningkat pada 2013 menjadi 36,3 persen (Kompas, 14 November 2017).
Selain tidak merokok, YJI juga menganjurkan pemeriksaan tekanan darah secara teratur, konsumsi makanan bergizi seimbang, kurangi konsumsi gula, garam, dan lemak, pengelolaan stres, juga olahraga teratur sebagai upaya mencegah penyakit jantung. ”Semua usaha itu harus menjadi bagian dari keseharian kita,” ujar Syahlina.
Merusak lapisan endotel
Sunanto mengatakan, ada banyak jenis penyakit jantung. Serangan jantung merupakan bagian dari penyakit jantung koroner. Kondisi ini terjadi ketika pembuluh darah koroner yang menuju jantung mendadak tersumbat atau mampat. Akibatnya, otot jantung akan rusak dan ini bisa menyebabkan kematian.
Sunanto menjelaskan, pada bagian dalam pembuluh darah terdapat lapisan yang disebut endotel. Lapisan tipis inilah yang bersentuhan langsung dengan darah yang mengalir. Aktivitas merokok dapat merusak lapisan endotel ini. Akibatnya, dinding dalam pembuluh darah menjadi rusak. Lapisan endotel yang rusak tidak bisa diperbaiki lagi.
Selain penyakit jantung koroner, penyakit terkait jantung meliputi, antara lain, masalah gangguan irama jantung dan kelainan jantung bawaan. Dalam situs Mayoclinic disebutkan, istilah penyakit jantung kerap dipakai dalam terminologi penyakit kardiovaskular, ditandai antara lain penyumbatan pembuluh darah, angina atau nyeri dada, dan stroke.
Sebelum mengalami serangan jantung, kata Sunanto, seseorang umumnya merasakan gejala, antara lain, nyeri dada berat di sebelah kiri ke tengah, sesak, keluar keringat dingin, hingga terasa seperti mau pingsan. Hal itu terasa bukan setelah aktivitas berat. Pada sebagian orang, serangan jantung justru tidak bergejala.
Di saat merasakan gejala seperti itu, tidak perlu panik. Segera ke rumah sakit agar dapat ditangani secepatnya. Jika pasien mendapat pertolongan dalam periode tertentu, maka akan dapat terselamatkan.
Setidaknya 80 persen dari kematian dini akibat penyakit kardiovaskular dapat dicegah jika faktor risiko utamanya dikendalikan, yakni merokok, mengonsumsi makanan kurang sehat, kurang aktivitas fisik, dan konsumsi berlebihan minuman beralkohol.
Olahraga teratur
Triangto menambahkan, salah satu upaya yang juga bisa dilakukan untuk mencegah penyakit jantung selain tidak merokok adalah berolahraga secara teratur. Berolahraga secara teratur akan membuat jantung menjadi lebih sehat.
Olahraga yang dimaksud Michael bukanlah olahraga untuk prestasi, melainkan olahraga untuk menjaga kesehatan tubuh. ”WHO menganjurkan kita untuk berolahraga setidaknya 150 menit seminggu atau lima kali seminggu dengan durasi masing- masing 30 menit,” katanya.
Riset Kesehatan Dasar 2013 menyebutkan, 26,1 persen penduduk umur 10 tahun ke atas termasuk kelompok yang kurang melakukan latihan fisik (jalan cepat, lari, bersepeda, ataupun senam). Namun, 22 dari 33 provinsi memiliki prevalensi kurang aktivitas fisik lebih tinggi dari rata-rata nasional. Prevalensi kurang aktivitas fisik tertinggi dialami penduduk DKI Jakarta, sebesar 44,2 persen. Aktivitas fisik meningkatkan kekebalan tubuh, dan jantung pun kian bugar (Kompas, 8 September 2017).
Michael percaya bahwa di tengah aktivitasnya, setiap orang pasti memiliki waktu dan kesempatan untuk berolahraga. Di tempat kerja, olahraga pun masih bisa dilakukan dengan memanfaatkan barang-barang yang ada di kantor, seperti kursi untuk sit up.
”Kalau seseorang mengatakan tidak punya waktu untuk berolahraga, itu artinya ia tidak memiliki kemauan untuk berolah- raga,” kata Michael.
Dari segi pembiayaan, masalah kesehatan jantung termasuk penyakit katastropik, berbiaya tinggi dan mengancam keselamatan jiwa. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, biaya penyakit tidak menular menghabiskan 30 persen atau Rp 16,9 triliun dari anggaran program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat pada 2016. Penyakit jantung menempati urutan pertama besaran klaim pada sistem JKN, yakni Rp 6,9 triliun untuk kurang dari 1 juta penderita, dan klaim perawatan pasien stroke sebesar Rp 1,5 triliun. (ADH)