Masyarakat Aktif Terlibat ketika Manfaat Ekonomis Terasa
JAKARTA, KOMPAS - Dalam mengurangi emisi karbon atau gas rumah kaca, pemerintah kini mengaitkan aspek kesejahteraan masyarakat dengan program pelestarian lingkungan.
Pemerintah mendapati di lapangan bahwa masyarakat akan aktif terlibat dalam melestarikan lingkungan ketika manfaat secara ekonomis diperoleh dalam jangka waktu pendek.
Adapun contoh dari manfaat yang dimaksud adalah penghematan ongkos produksi usaha pertanian dan perkebunan.
Program yang dapat memberikan pendapatan secara langsung perlu terus didorong oleh pemerintah agar program pengurangan emisi karbon dapat berjalan sukses.
Dalam Kontribusi Nasional yang Diniatkan (Nationally Determined Contributions), Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen pada 2020 serta 29 persen pada 2030 dan 41 persen dengan bantuan internasional.
Pemerintah ingin pengurangan emisi diintegrasikan dengan meningkatkan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan rendah karbon.
Potensi penurunan emisi GRK telah mencapai 13,46 persen pada 2016. Indonesia juga telah menurunkan intensitas emisi nasional dengan nilai akumulatif sebesar 1389,187 MTon CO2eq sejak 2010.
“Pemerintah ingin pengurangan emisi diintegrasikan dengan meningkatkan ekonomi dan mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan rendah karbon,” kata Medrilzam, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan juga Sekretaris Majelis Wali Amanat (MWA) Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF).
Hal tersebut dikatakan dalam temu media dengan topik “Perubahan Iklim Jaman Now: Menyelaraskan Pertumbuhan Ekonomi dan Pelestarian Lingkungan” yang diselenggarakan oleh ICCTF, di Jakarta, Jumat (8/12).
Pemerintah, ujar Medrilzam, telah mengubah pendekatan dalam program pelestarian lingkungan dengan melakukan kolaborasi bersama masyarakat sekitar daerah konservasi.
Program lama yang kerap membatasi masyarakat untuk masuk ke area konservasi tidak lagi dianggap efektif.
Alasannya, program yang lalu tidak memberdayakan masyarakat sehingga mereka terpaksa harus mencari sumber kehidupan dengan memanfaatkan lahan konservasi, dengan cara yang kurang tepat.
Team Leader Project Management Unit (PMU) ICCTF-UK Climate Change Unit (UKCCU) Indonesia Sudaryanto menyatakan, masyarakat yang merasakan manfaat pelestarian lingkungan secara langsung justru akan terlibat menjaga lingkungan dengan inisiatif sendiri.
“Kami ada proyek di Magelang, yaitu merehabilitasi lahan menggunakan kotoran sapi,” ujar Sudaryanto.
Kotoran sapi diolah menjadi pupuk dengan cara dimasukkan ke dalam biodigester. Selain itu, gas yang dihasilkan dapat menjadi bahan bakar untuk memasak di dapur.
Masyarakat sebenarnya paham dengan konsep bumi sebagai sumber utama kehidupan, namun kurangnya pengetahuan membuat mereka menggunakan cara pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang tidak tepat.
Menurut Sudaryanto, para petani di Magelang senang karena mereka dulu harus menghabiskan uang sebesar Rp 40 juta membeli pupuk untuk satu kali panen. Namun, mereka tidak perlu lagi setelah mampu membuat pupuk sendiri.
Masyarakat, lanjutnya, sebenarnya paham dengan konsep bumi sebagai sumber utama kehidupan. Akan tetapi, kurangnya pengetahuan membuat mereka menggunakan cara pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang tidak tepat.
Team Leader PMU ICCTF-United States Agency for International Development (USAID) Indonesia Eko Putranto menjabarkan, beberapa kasus kebakaran lahan gambut di Indonesia dapat menjadi akan kurangnya pengetahuan masyarakat.
“Penyebab kebakaran bisa macam-macam, salah satunya adalah kebiasaan penduduk,” tutur Eko.
Lahan gambut di Indonesia kebanyakan terletak di Provinsi Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan rata-rata di seluruh provinsi di Papua.
Lahan-lahan tersebut digunakan warga setempat untuk bercocok tanam. Perbedaannya, jika lahan biasa dibajak, maka lahan gambut dibakar untuk membuka tanah baru.
Eko menambahkan pelaku pembakaran di beberapa provinsi bisa langsung dipidana sekarang karena api dapat merambet luas dengan cepat.
Mata pencaharian alternatif
Medrizal mengatakan, kebiasaan masyarakat tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena telah menjadi tradisi dari zaman dulu.
Selain itu, tidak mudah bagi pemerintah untuk langsung memberikan alat bantuan seperti traktor kepada mereka untuk mengolah lahan yang dimiliki karena terkadang pengetahuan penggunaan dan pengelolaan alat belum memadai.
Varietas tanaman yang akan ditanam dapat diganti agar lahan yang tidak subur dapat kembali bermanfaat, bahkan tidak perlu menggunakan lahan konservasi seperti lahan gambut.
“Ada solusi seperti alternative livelihood,” ujar Medrizal. Varietas tanaman yang akan ditanam dapat diganti agar lahan yang tidak subur dapat kembali bermanfaat, bahkan tidak perlu menggunakan lahan konservasi seperti lahan gambut.
Tonny Wagey, Executive Director ICCTF menyatakan, beberapa program telah dilakukan dalam menangani masalah tersebut. ICCTF bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk membantu peningkatan kapasitas adaptasi petani di Kupang, Nusa Tenggara Timur dengan metode inovasi metode budidaya padi (SRI).
Jika rata-rata metode konvensional menghasilkan 5-6 ton per hektar, produktivitas padi di dapat mencapai 12 ton per hektar dalam satu musim tanam dengan metode SRI. Selain itu, bibit padi dapat bertahan meskipun kandungan air lebih sedikit.
SRI adalah metode yang mengedepankan proses yang murah dan aman, bahan, waktu dan tenaga lebih sedikit, serta sisa produksi yang lebih sedikit.
SRI adalah metode yang mengedepankan proses yang murah dan aman, bahan, waktu dan tenaga lebih sedikit, serta sisa produksi yang lebih sedikit.
“Yang bersifat nonteknis juga penting. Mengubah pola pikir masyarakat, seperti di Kupang yang lahannya keras dan kering. Mereka akhirnya bisa menanam padi di sawah dengan kondisi yang terbatas menggunakan varietas yang lebih tahan untuk menambah ketahanan pangan,” ujar Tonny.
Eko menambahkan, penanaman varietas lain juga telah dilakukan di beberapa daerah, seperti menanam asam payak di Kalimantan, jahe di Riau.
Masyarakat yang ingin memanfaatkan tanaman di daerah konservasi juga dapat melakukannya dengan memanen tanaman pakis di lahan gambut untuk budidaya ikan pelet.
Revisi Perpres tentang RAN-GRK masih dibahas
Penyusunan revisi rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) sejak diumumkan bulan Oktober 2017 masih dalam tahap pembahasan.
Menurut Medrilzam, Perpres tersebut akan disebut sebagai Perpres Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK) Nasional dan Daerah.
Revisi dilakukan karena Perpres Nomor 61 Tahun 2011 dianggap belum mencakup seluruh aspek pembangunan nasional. Perpres itu tidak menginternalisasi dimensi lingkungan, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim dalam kacamata pembangunan yang besar.
Rancangan Perpres yang baru akan lebih berorientasi pada keseimbangan pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, stabilitas sosial, sekaligus upaya penurunan emisi gas rumah kaca.
Rancangan Perpres yang baru akan lebih berorientasi pada keseimbangan pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, stabilitas sosial, sekaligus upaya penurunan emisi gas rumah kaca.
“Rancangan Perpres sedang telah dibahas dalam rapat panitia yang keenam, sekarang dalam tahap antar-kementerian,” kata Medrizal. Perpres ditargetkan akan segera diajukan ke Presiden Joko Widodo pada awal tahun depan. (DD13)