JAKARTA, KOMPAS — Lemahnya riset dan pemanfaatan hasil-hasil inovasi nasional membuat Indonesia masih jadi pasar berbagai produk inovasi negara-negara lain. Kondisi itu membuat daya saing Indonesia lemah dan sulit meningkatkan pertumbuhan ekonominya secara maksimal.
Kebergantungan Indonesia itu tidak hanya pada produk-produk berteknologi tinggi, tetapi juga produk-produk massal yang banyak digunakan di ruang privat.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, ”Kapan Indonesia sebagai bangsa bisa mandiri?” kata Direktur Jenderal Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati dalam dialog Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Indonesia, di Jakarta, Kamis (26/10).
Sejak era Presiden Soekarno, Indonesia sudah memiliki menteri yang mengurusi riset. Itu menunjukkan bahwa pemerintah sejak lama menyadari pentingnya iptek sebagai pendorong lompatan kemajuan Indonesia.
Namun, hingga kini, saat ekonomi dunia sudah tumbuh berbasis inovasi, dunia riset dan inovasi Indonesia masih dibelit berbagai persoalan klasik, mulai dari keterbatasan anggaran, infrastruktur riset kurang memadai, jumlah peneliti kurang, hingga koordinasi di antara lembaga riset lemah.
RUU Sisnas Iptek
Untuk itu, menyesuaikan antara kebutuhan dan tantangan tersebut, pemerintah mengusulkan Rancangan Undang-Undang Sistem Nasional Iptek (RUU Sisnas Iptek) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Iptek.
”RUU ini diharapkan jadi payung hukum yang mempermudah pembuatan berbagai aturan riset dan inovasi di Indonesia,” ujar Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga mantan anggota perumus RUU Sisnas Iptek Laksana Tri Handoko.
Saat ini, RUU Sisnas Iptek masih dalam pembahasan awal DPR. Karena itu, DPR masih mengumpulkan berbagai persoalan dan usulan terkait sejumlah masalah yang dihadapi.
RUU ini diharapkan jadi payung hukum yang mempermudah pembuatan berbagai aturan riset dan inovasi di Indonesia.
Ketua Panitia Khusus RUU Sisnas Iptek Daryatmo Mardiyanto mengatakan, posisi riset dalam perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan juga harus dipastikan. Pengaturan itu juga diperlukan untuk memastikan kebijakan riset tetap berjalan meski pemerintah berganti.
Di sisi lain, riset dalam negeri perlu dioptimalkan mengingat Indonesia masih banyak bergantung pada riset lembaga-lembaga internasional. Riset juga masih banyak diidentikkan dengan iptek dan mengabaikan riset sosial.
”Padahal, riset tentang toleransi, tenggang rasa, dan gotong royong yang menjadi modal bangsa tetap diperlukan,” lanjutnya.
Untuk struktur kelembagaan, Indonesia membutuhkan lembaga koordinasi riset mengingat lembaga riset tersebar di sejumlah kementerian hingga pemerintah daerah yang semua berjalan sendiri-sendiri. Lembaga itu harus memiliki kewenangan yang besar seperti di negara-negara maju, termasuk mengoordinasikan kementerian terkait dan memberikan masukan langsung kepada presiden.
Dana riset
Terkait anggaran riset yang terbatas, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menyebut, dana riset yang memadai untuk mendorong riset dan inovasi adalah 2 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Bahkan, sejumlah negara dengan inovasi tinggi seperti Korea Selatan telah menganggarkan dana riset sebesar 4,3 persen PDB pada 2016.
Dana riset di Indonesia pada 2017 masih mencapai 0,25 persen PDB. Meski sejumlah pihak menginginkan dipatoknya anggaran riset di RUU Sisnas Iptek sebesar 2 persen PDB, tetapi Dimyati mengingatkan adanya ketentuan untuk tidak mematok besaran anggaran dalam undang-undang.
Karena itu, sejumlah usulan pun muncul, seperti memasukkan dana riset dalam anggaran pendidikan sebesar 20 persen APBN, adanya dana abadi riset, dan pengaturan dana riset dari swasta ke lembaga riset pemerintah atau sebaliknya secara lebih fleksibel. Dalam RUU Sisnas Iptek, para peneliti pun berharap lebih terlindungi.
Kepala Pusat Pembinaan Pendidikan dan Pelatihan Peneliti LIPI Dwi Eny Djoko Setyono mengingatkan, tanpa kepastian aturan dan perlindungan yang memadai, akan makin sedikit orang yang berminat menjadi peneliti. Padahal, Indonesia sedang menggenjot jumlah peneliti hingga 100 kali lipat dari jumlah saat ini pada 2045.