REMBANG, KOMPAS — Setelah melihat langsung ke lapangan dan menyerap berbagai informasi yang ada di lapangan, sejumlah akademisi dari sejumlah perguruan tinggi dan beragam bidang ilmu mengeluarkan pernyataan sikap untuk Kendeng lestari.
Pernyataan sikap tersebut disusun setelah sekitar 20 akademisi tersebut melakukan kunjungan lapangan sebagai proses ”Kuliah Bersama Rakyat” dan Konferensi Penyelamatan Pegunungan Kendeng di Pondok Pesantren Roudlatul Tholibin milik KH Ahmad Mustofa Bisri, yang biasa disapa Gus Mus, di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Acara berlangsung pada Selasa-Rabu (3-4/10) di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, dan Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Selama dua hari pertemuan, aktivitas diisi dengan kunjungan ke lapangan, antara lain ke Goa Ronggo Boyo di Brati, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati. Kunjungan lapangan lainnya dilakukan untuk melihat aktivitas penambangan di sekitar Timbrangan, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan pada Rabu tersebut, para akademisi mendesak Presiden Joko Widodo untuk menghentikan semua penambangan karst dan semua aktivitas serupa. Poin pertama pernyataan tersebut berbunyi, ”Mendesak Presiden untuk tegas menghentikan seluruh pernambangan oleh pabrik semen dan aktivitas penambangan lain di Pegunungan Kendeng.”
Herlambang P Wiratraman dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga mengatakan, dalam dua hari dirinya dan para akademisi lainnya dihadapkan pada realitas yang begitu jelas, fakta adanya operasi tambang yang terus-menerus terjadi.
”Kami melihat dampak sosial ekonomi masyarakat yang mulai tercerabut dari kehidupan pertaniannya,” ujarnya.
Dia mengatakan, apa yang terjadi di lapangan, terutama operasi tambang, tidak menghargai rekomendasi nomor 2b dari Kajian Lingkungan Hidup Strategis I (KLHS 1) yang berbunyi: ”Operasi penambangan direkomendasikan untuk dihentikan sementara hingga adanya penetapan status Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih dan sekitarnya sebagai kawasan lindung dan/atau Kawasan Benteng Alam Karst (KBAK).”
”Realitas itu tidak menghargai kerja dan keberadaan tim KLHS, padahal itu institusi yang ditunjuk Presiden,” ujar Herlambang.
Dia mengatakan, ”Presiden seharusnya tahu dan bersikap tegas atas apa yang terjadi di lapangan dan menghentikan itu, tapi sama sekali tidak ada upaya menghentikan di tingkat nasional. Pemerintah seakan membiarkan eksploitasi dan operasi tambang terjadi di lapangan.”
Keberlanjutan ekologi
Poin kedua, mendesak Presiden untuk menyelamatkan Pegunungan Kendeng demi keberlanjutan ekologi, sosial-ekonomi generasi anak cucu yang tak tergantikan di masa mendatang. Poin ketiga, mendesak Presiden Bersama penyelenggara negara berani belajar dari Pegunungan Kendeng untuk mencegah sekaligus menata ulang kebijakan sumber daya alam agar penghancuran tidak berulang di tempat lain.
Dalam konferensi sebelumnya, Eko Cahyono dari Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor mengatakan, ”Urusan Kendeng bukan sekadar urusan sungai bawah tanah atau urusan fisik. Di sana ada manusia yang selama ini tidak diperhitungkan. Persoalan seakan selesai dengan ganti rugi. Ketika ditanya, kehidupan mereka hancur, banyak pihak ke luar kota untuk mengais rezeki. Kalau berpikir lebih jauh lagi, ini bukan besok atau lusa, melainkan generasi ke depan akan mendapati krisis air dan banjir.”
Tentang pertemuan dua hari tersebut, Suraya Affif dari Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia mengatakan, ”Akademisi perlu melihat lapangan, apa yang sebenarnya membuat orang concern (peduli). Ini proses belajar bersama rakyat. Kita tidak bisa hanya belajar dari teks tanpa melihat langsung ke lapangan.”
Cari jalan keluar
Sekretaris Korporat PT Semen Indonesia Agung Wiharto mengatakan, perlu dipikirkan jalan keluar untuk permasalahan ini karena konsekuensi hukumnya ada. Menurut dia, tidak bisa kegiatan usaha dihentikan tiba-tiba hanya karena desakan beberapa orang atau desakan lebih besar lagi.
”Dari pandangan bisnis, itu tidak fair. Mereka tidak nambang dengan tiba-tiba kalau tidak ada izin. Kalau yang menambang tidak berizin, itu kalau perlu dihukum. Kalau semua ketentuan hukum sudah dipenuhi, itu harus jadi sebuah kepastian berusaha,” ujar Agung.
Dia melanjutkan, ”Dalam konstruksi lebih besar lagi, apa yang boleh dan tidak itu harus lebih strict. Kita akan hormati. Bagi yang sudah ada bagaimana? Izin sampai habis berdasarkan peraturan, beri waktu sekian tahun mungkin ada kewajiban atau ganti rugi juga. Semua ada aturan. Tidak asal ada tekanan terus bisa dihentikan. Aturan harus dipertegas, KBAK semua dilihatm dipetakan.”