Benarkah Telegram Sarana Komunikasi Kelompok Teroris?
Oleh
ROBERT ADHI KSP
·5 menit baca
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengumumkan pemblokiran aplikasi percakapan Telegram karena bermuatan konten negatif, di antaranya propaganda radikalisme, paham kebencian, ajakan merakit bom dan melakukan serangan teror. Sedikitnya ada 17.000 halaman yang mengandung terorisme dan radikalisme.
Rudiantara, seperti diwartakan harian Kompas, Sabtu, 15 Juli 2017, sedang mempersiapkan proses penutupan aplikasi Telegram secara menyeluruh di Indonesia jika Telegram tidak membuat prosedur standar operasi penanganan konten-konten yang melanggar hukum dan perundang-undangan di Indonesia.
Rudiantara menegaskan, pemblokiran ini langkah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bukan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia.
Awal Juli lalu, Telegram mengumumkan, aplikasi percakapan ini mampu menampung 10.000 anggota, mampu mengirim pesan lebih cepat dibandingkan aplikasi serupa mana pun, serta dapat mengirim foto, video, dan dokumen berbagai jenis (doc, zip, mp3, dan sebagainya) sampai 1,5 GB.
Jumlah pengguna aktif Telegram di seluruh dunia saat ini mencapai 100 juta, yang mengirim 15 miliar pesan setiap hari. Pengguna baru Telegram yang mendaftar setiap hari sekitar 350.000. Telegram dapat diakses dari perangkat apa pun, mulai dari Android, iOS, WindowsPhone, hingga platform versi web, macOS, sampai PC, Mac, dan Linux. (Kompas.id, 3 Juli 2017).
Digunakan kelompok teroris
Pertanyaannya, benarkah Telegram kini digunakan oleh kelompok militan untuk berkomunikasi? Pada Mei 2017, The Huffington Post menulis, seiring dengan langkah media sosial Facebook dan Twitter yang meningkatkan upaya untuk menutup akun-akun pro-NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah), Telegram malah mengisi kekosongan tersebut. Sejak tahun 2015, para analis mengatakan terjadi eksodus kalangan ekstremis ke aplikasi dengan privasi dan kebebasan yang lebih baik.
”Kami telah melihat kecenderungan yang benderang atas berkembangnya penggunaan Telegram oleh hampir semua kelompok teroris di seluruh dunia,” kata Gabriel Weimaan, profesor di Universitas Haifa, Israel, dan penulis masalah-masalah ekstremisme di jagat maya.
Telegram kini sudah menjadi salah satu sarana utama kelompok militan NIIS untuk menyebarkan informasi dan mempersatukan para pendukungnya.
Terlihat kecenderungan yang benderang atas berkembangnya penggunaan Telegram oleh hampir semua kelompok teroris di seluruh dunia.
Beberapa jam setelah serangan teror mematikan di kota Manchester, Inggris Raya, terjadi serangkaian aktivitas di aplikasi favorit kelompok militan, sebuah layanan pesan terenskripsi yang disebut Telegram. Bahkan, sebelum pihak berwenang menjelaskan ihwal serangan Manchester, para pendukung NIIS membanjiri saluran pribadi dan publik aplikasi tersebut dengan ”pesan perayaan”. Telegram menjadi penghubung bagi propaganda NIIS dan sumber bagi kelompok militan itu untuk menyatakan bertanggung jawab.
Meningkatnya penggunaaan Telegram sebagai bagian dari strategi komunikasi NIIS dan kelompok teroris lainnya beberapa tahun ini telah menunjukkan bagaimana ekstremisme mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dalam menghadapi upaya pemerintah menutup kehadiran mereka di dunia maya. NIIS telah lama menggunakan platform media sosial untuk menyebarluaskan propaganda dan merekrut pengikut mereka.
Weimaan menjelaskan, umumnya kelompok teror awalnya mengadopsi platform-platform baru di dunia maya yang dapat mereka eksploitasi. Telegram bekerja seperti WhatsApp (yang kini dimiliki Facebook), menggunakan enskripsi end-to-end untuk melindungi informasi bersama.
Badan Keamanan Rusia FSB seperti dikutip BBC mengakui, Telegram telah digunakan pelaku bom bunuh diri di St Petersburg yang menewaskan 15 orang, April 2017 lalu. Pemerintah Rusia mengancam memblokir aplikasi itu karena pemilik dan pengelola Telegram menolak mengizinkan pemerintah mengakses data pengguna. Kelompok radikal di Perancis dan Timur Tengah juga menggunakan Telegram untuk berkomunikasi.
Perusahaan yang mengoperasikan Telegram mengklaim memiliki lebih dari 100 juta pengguna dan menawarkan fitur-fitur seperti menghapus sendiri pesan sampai menyediakan ruang privasi yang lebih besar. Pengguna dapat berkomunikasi secara langsung dalam kelompok pribadi ataupun melalui saluran (kanal).
Aplikasi Telegram dimulai tahun 2013 sebagai sarana untuk menyediakan layanan pesan yang lebih aman. Penciptanya, Pavel Durov yang berkebangsaan Rusia, menyebutkan, aplikasi ini untuk mencegah layanan keamanan Rusia mengakses komunikasi antarpengguna. Durov mirip Mark Zuckerbeg, pencipta Facebook. Durov mulai menonjol pada 2006 setelah menciptakan VKontake, platform media sosial yang lebih populer di Rusia dibandingkan Facebook.
Ketika kebebasan berinternet di Rusia dibatasi dan Durov ditekan, ia memutuskan kabur dari Rusia pada 2014 dan menjual sahamnya di perusahaan tersebut dengan nilai ratusan juta dollar AS. Durov kini warga negara St Kitts dan Nevis, negara kecil di Kepulauan Karibia yang mendukung privasi online.
Dalam sejumlah wawancara, Durov membantah pendapat yang menyatakan penggunaan Telegram oleh ekstremis dan mengatakan sebagian penggunanya menggunakan aplikasi itu dengan alasan yang sah. Durov menolak permintaan untuk memberikan akses bagi pejabat keamanan untuk melacak percakapan di aplikasi tersebut. Meskipun Telegram dimatikan, Durov yakin itu tidak akan menghentikan teroris untuk berkomunikasi satu sama lain.
Meski Durov menolak campur tangan pemerintah dan pembatasan kebebasan di jagat maya, sebenarnya Telegram sudah berupaya menutup 78 kanal pro-NIIS, menyusul serangan Paris November 2015. Sejak itu, Telegram menutup ratusan kanal pro-NIIS lainnya.
Namun, faktanya, Telegram memang gagal mencegah aktivitas kelompok pro-NIIS di aplikasi tersebut dibandingkan Twitter yang berhasil menutup lebih dari 360.000 akun yang mempromosikan terorisme sejak pertengahan 2015 silam.
Pada saat perusahaan media sosial tertinggal menangani masalah ekstremisme di jagat maya, kelompok teroris malah semakin piawai mengubah strategi komunikasi mereka. Teroris kini cepat belajar dan mampu beradaptasi dengan platform baru.
Pergeseran kelompok militan ke Telegram merupakan bagian dari gerakan NIIS menuju aplikasi dengan jaringan pribadi yang lebih luas. Weimaan menyebutkan, pada saat perusahaan media sosial tertinggal menangani masalah ekstremisme di jagat maya, kelompok teroris malah semakin piawai mengubah strategi komunikasi mereka. Teroris kini cepat belajar dan mampu beradaptasi dengan platform baru.
Bulan Juni 2017 lalu, 28 pemimpin Uni Eropa sepakat untuk menekan secara hukum raksasa-raksasa internet seperti Google, Twitter, dan Facebook untuk menghilangkan konten-konten yang diposting kelompok radikal secepatnya dan meminta mereka mendeteksi terorisme di jagat maya.
Melihat fakta-fakta ini, langkah Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara memblokir Telegram memang harus dilihat dari sisi positif, yaitu upaya pemerintah mencegah radikalisme berkembang di negeri ini serta menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan bukan memberangus kebebasan berekspresi.