JAKARTA, KOMPAS — Perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian sudah memasuki usia tidak produktif dan membutuhkan peremajaan. Penyaluran dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan atau BPDB Kelapa Sawit diperlukan bagi petani sebagai modal.
Ini mengemuka dalam Diskusi Optimalisasi Dana Perkebunan Kelapa Sawit untuk Mewujudkan Pengelolaan Sawit Berkelanjutan yang digelar Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kamis (30/3) di Jakarta.
Kepala Puslit Bambang Supriyanto mengatakan, sawit merupakan komoditas unggulan yang tak lepas dari isu lingkungan, sosial,konflik, dan produktivitas. Keberadaan Badan Layanan Umum bernama BPDP diharapkan berkontribusi untuk mengurai permasalahan ini.
Wiko Saputra dari Yayasan Auriga mengatakan, Undang-Undang Perkebunan mengamanatkan dana BPDP untuk peningkatan produksi dan peremajaan. Namun, hingga kini sekitar 80 persen dana itu digunakan untuk memberi subsidi biofuel dari sawit.
Ia meminta agar BPDP mengembalikan hasil dana pungutan dari pekebun yang mencapai Rp 10 triliun ini untuk peremajaan. Apabila tidak diremajakan, ekspansi sawit akan terus terjadi untuk mendapatkan kuantitas tonadlse sawit yang menguntungkan.
Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Pertanian, mengatakan, alokasi dana BPDP untuk biofuel agar menjaga kestabilan harga sawit yang saat ini sebagian besar ditentukan ekspor. ”Enam triliun untuk biodiesel ini konsekuensi saja untuk meningkatkan harga sawit,” katanya.