logo Kompas.id
Ilmu Pengetahuan & TeknologiPerambahan Hutan Kronis
Iklan

Perambahan Hutan Kronis

Oleh
· 3 menit baca

JAKARTA, KOMPAS — Perambahan kawasan hutan di Indonesia telah berlangsung sejak lama dan hingga kini belum teratasi dengan baik. Perluasan perkebunan hingga keperluan lahan untuk infrastruktur menyebabkan hutan yang berfungsi pelestarian alam tak luput dari sasaran. Kondisi itu terjadi dari Sumatera hingga Papua. Baik taman nasional maupun suaka margasatwa yang sebelumnya sulit terjangkau dan memiliki akses terbatas kini dikelilingi kebun sawit dan permukiman."Hal ini merupakan masalah kronis, akut, dan berat. Ini kumulatif yang selalu dibiarkan," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar, Selasa (14/2), di Jakarta.Ia mengungkapkan hal itu terkait perambahan yang terjadi di hutan-hutan Indonesia. Selain perambahan hutan konservasi, sebagian hutan produksi terbatas yang ditujukan untuk kebun akasia dan kebun karet atau hutan sagu juga malah digunakan sebagai kebun sawit.Data Direktorat Pencegahan dan Pengamanan Hutan (PPH) KLHK menunjukkan, lahan seluas 764.554 hektar dirambah. Sebagian besar lahan itu adalah hutan konservasi dan beralih fungsi jadi kebun, perkampungan, akses jalan, hingga lapangan golf. "Ini data sementara. Kami masih terus mengumpulkan," kata Direktur PPH KLHK Istanto. Data Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru atau dikenal sebagai Peta Moratorium (versi X) dari Direktorat Jenderal Tata Lingkungan dan Planologi Kehutanan KLHK menunjukkan, 361.153 ha area hutan berubah jadi perkebunan sawit dan 204.124 ha jadi lahan pertanian. Itu dipastikan tidak mengantongi izin pelepasan area hutan, berada di hutan konservasi, hutan produksi, ataupun hutan lindung. Siti Nurbaya menggambarkan, kondisi kronis perambahan itu terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau. Dari habitat gajah sumatera serta berbagai fauna dan flora endemis seluas 83.000 ha, 60.000 ha di antaranya berubah jadi kebun kelapa sawit."Di situ ada lebih 50 pabrik kelapa sawit (lanskap Tesso Nilo). Di situ ada juga kepemilikan lahan mulai dari cukong 25-3.000 ha sampai sekitar 2.000 keluarga yang punya lahan di bawah 5 ha," ujarnya. Dengan kompleksitas masalahnya, sejak setahun lalu KLHK menjadikan penyelesaian Tesso Nilo sebagai model revitalisasi. Konsep itu akan dipakai KLHK untuk menyelesaikan perambahan di lokasi-lokasi lain.Solusi komprehensifPihaknya melibatkan akademisi, organisasi masyarakat, dan lintas direktorat jenderal untuk menuntaskan masalah. Meski proses penyelesaian agak lama, langkah itu diharapkan memberi solusi komprehensif.Ia mencontohkan, pada lanskap Tesso Nilo ada dua konsesi perusahaan hutan tanaman industri yang dicabut izin pengelolaannya karena kasus kebakaran. Total lahan seluas 90.000 ha itu disiapkan untuk jadi perhutanan sosial sebagai solusi bagi masyarakat setempat."Nanti setelah diberi perhutanan sosial, mereka (pengelola lahan seluas sekitar 5 hektar di Tesso Nilo) tak boleh menanam sawit lagi. Untuk sementara kami beri masa transisi setengah daur bagi sawitnya," kata Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Hadi Daryanto.Menurut M Kosar, Dinamisator Jaringan Pemantau Independen Kehutanan, akar perambahan hutan disebabkan belum terpenuhinya hak-hak masyarakat yang berada di sekitar hutan. Itu di luar sejarah penunjukan kawasan hutan oleh pemerintah serta belum tuntasnya tata batas dan peruntukan kawasan hutan.Maka dari itu, ia mendorong pemerintah untuk menyelesaikan hak-hak masyarakat adat atas hutannya seperti putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012. Pemerintah juga diharapkan memudahkan proses perhutanan sosial, seperti hutan desa dan hutan kemasyarakatan."Kalau ruang (partisipasi masyarakat) itu ada atau diciptakan, warga yang berada di sekitar hutan dengan sendirinya akan menjaga dan mengamankan hutan tersebut," ucapnya.Kosar menambahkan, perambahan hutan dipicu kelemahan pengawasan pemerintah dan aparat penegak hukum. Contohnya, kewajiban industri kayu untuk menerima atau mengolah kayu yang jelas asal-usulnya atau terverifikasi. Namun, ada industri kayu yang menerima kayu ilegal, bahkan ada industri kayu yang izinnya tak lengkap. (ICH)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000