Sejumlah pesisir di Indonesia berpotensi dilanda banjir rob pada 14-20 Mei. Hal ini dipicu oleh fase bulan purnama yang bersamaan dengan fenomena ”perigee”, atau jarak terdekat Bulan ke Bumi.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat di beberapa wilayah pesisir Indonesia perlu mewaspadai banjir rob yang berpotensi terjadi pada Sabtu (14/5/2022) hingga Jumat (20/5/2022). Risiko banjir rob ini dipicu oleh fase bulan purnama yang bersamaan dengan fenomena perigee, atau jarak terdekat Bulan ke Bumi.
Peringatan dini banjir rob ini disampaikan Kepala Pusat Meteorologi Maritim Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Eko Prasetyo, di Jakarta, Jumat (13/5/2022).
Menurut Eko, fase bulan purnam bersamaan dengan perigee ini berpotensi menyebabkan terjadinya peningkatan ketinggian pasang air laut maksimum yang lebih signifikan. ”Berdasarkan pantauan data water level dan prediksi pasang surut, banjir pesisir (rob) berpotensi terjadi di beberapa wilayah pesisir indonesia pada 14-20 Mei 2022,” ujarnya.
Beberapa daerah yang perlu waspada di antaranya Aceh, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Papua Barat bagian utara, dan Merauke di Papua.
”Potensi banjir pesisir (rob) diprediksi berlangsung dengan waktu yang berbeda di tiap wilayah,” katanya.
Menurut Eko, potensi banjir rob ini dikhawatirkan dapat mengganggu aktivitas keseharian masyarakat di sekitar pelabuhan dan pesisir, seperti aktivitas bongkar muat di pelabuhan, aktivitas di pemukiman pesisir, serta aktivitas tambak garam dan perikanan darat.
”Masyarakat diimbau untuk selalu waspada dan siaga mengantisipasi dampak dari pasang maksimum air laut serta memperhatikan update informasi cuaca maritim dari BMKG,” ujarnya.
Gelombang tinggi
Analisis Pusat Meteorologi Maritim BMKG juga menunjukkan, pola angin di wilayah Indonesia bagian utara dominan bergerak dari Barat Laut-Timur Laut dengan kecepatan angin berkisar 5-20 knot, sedangkan di wilayah Indonesia bagian selatan dominan bergerak dari Timur-Tenggara dengan kecepatan angin berkisar 5-30 knot. Kecepatan angin tertinggi terpantau di perairan Kepulauan Mentawai, perairan Bengkulu, perairan barat Lampung, Selat Sunda.
Masyarakat diimbau untuk selalu waspada dan siaga mengantisipasi dampak dari pasang maksimum air laut serta memperhatikan update informasi cuaca maritim dari BMKG.
Dengan pola angin ini, sejumlah wilayah Indonesia berpotensi dilanda gelombang tinggi. Area perairan dengan gelombang sangat tinggi, yaitu 4 hingga 6 meter, di antaranya perairan Bengkulu, barat Lampung, Samudra Hindia barat Bengkulu hingga Lampung, dan Samudra Hindia di sebelah selatan Banten.
Sementara gelombang tinggi 2,5 hingga 4 meter berpeluang terjadi di perairan utara Sabang, barat Aceh, barat Pulau Simeulue, hingga Kepulauan Mentawai, Samudra Hindia barat Aceh hingga Kepulauan Mentawai, Selat Sunda bagian barat dan selatan, perairan selatan banten hingga Sumbawa, Selat Bali hingga Lombok, dan Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara Barat.
Sesuai rekomendasi BMKG, risiko tinggi terhadap keselamatan pelayaran bagi perahu nelayan jika kecepatan angin lebih dari 15 knot dan tinggi gelombang di atas 1,25 meter, kapal tongkang jika kecepatan angin lebih dari 16 knot dan tinggi gelombang di atas 1,5 meter.
Untuk kapal feri jika kecepatan angin lebih dari 21 knot dan tinggi gelombang di atas 2,5 m dan kapal kargo atau kapal pesiar jika kecepatan angin lebih dari 27 knot dan tinggi gelombang di atas 4 meter.
Faktor alam
Meski ada kenaikan muka air laut, secara alami sebenarnya sungai dan drainase bisa menampung sebagian luapan air laut akibat pasang. Namun, karena kondisi sungai makin dangkal akibat sedimentasi dan sampah, hal itu membuat air rob tersebut meluap.
Pola pasang laut ini sebenarnya merupakan fenomena alam yang terjadi di kawasan pesisir. Namun dikategorikan menjadi bencana alam saat berhubungan dengan manusia dan aktivitasnya. Pola pasang laut yang alami ini menjadi makin bermasalah saat terjadi pemanasan global.
Menurut Diposaptono (2009), dalam penelitian ”Arah Adaptasi Kawasan Rawan Banjir Rob di Kawasan Pantura Surabaya”, Indonesia diperkirakan akan kehilangan wilayah daratan yang cukup signifikan seluas 90.260 kilometer persegi sebagai dampak kenaikan muka air laut.
Penanganan Teknis Banjir
Daerah pesisir yang rawan akan dampak kenaikan muka air laut di Pulau Jawa, antara lain, Jakarta (4,38 milimeter per tahun), Semarang (9,27 mm/tahun), dan Surabaya (5,47 mm/tahun).
Kenaikan muka air laut ini diperparah dengan topografi beberapa kota pesisir yang berada di dataran rendah, misalnya Semarang yang 65,2 persennya merupakan daerah pantai dengan kemiringan 25 persen. Kemudian Surabaya yang 80,7 persen wilayahnya ada di ketinggian 0-10 meter.
Penyebab banjir pasang air laut atau rob ini juga ada campur tangan manusia, yakni adanya alih fungsi lahan dan eksploitasi penggunaan air tanah. Karena peningkatan jumlah penduduk di perkotaan kawasan pesisir, area rawa yang tadinya berfungsi sebagai daerah tampungan air berubah menjadi kawasan permukiman atau industri.
Tak hanya di Jakarta, sebagian wilayah rawa di utara Kota Semarang juga telah beralih fungsi menjadi kawasan permukiman, antara lain di Bandarharjo. Semula Bandarharjo berupa rawa milik negara yang luas seluruhnya 53 meter (Kompas, 4 Mei 1997).
Saat itu areal yang telah dihuni sekitar 50 persennya. Namun perlahan, tanah di kawasan itu menurun dan saat pasang laut akan selalu tergenang air. Menurut penelitian ”Relokasi Penduduk Terdampak Banjir Sungai di Kota Semarang” (Yunarto, 2017), penurunan tanah di Kelurahan Bandarharjo berkisar 2-25 sentimeter (cm)/tahun. (Kompas.id, 15 Maret 2020).