Sagittarius A*, Lubang Hitam Supermasif di Pusat Galaksi Bimasakti
Untuk pertama kalinya, citra lubang hitam supermasif Sagittarius A* di pusat galaksi Bimasakti diperoleh. Sebagian misteri Bimasakti pun mulai terungkap.
Bimasakti menjadi rumah besar kedua manusia Bumi setelah tata surya. Meski rumah sendiri, pengetahuan manusia tentang galaksi ini sangat terbatas. Karena itu, diperolehnya citra lubang hitam supermasif di pusat Bimasakti untuk pertama kalinya akan menandai babak baru eksplorasi manusia di inti rumah besarnya.
Citra pertama lubang hitam supermasif Sagittarius A*—dibaca Sagittarius A star atau bintang Sagittarius A dan disingkat Sgr A*—diumumkan sejumlah astronom yang mewakili lebih dari 300 peneliti dari 80 lembaga riset di seluruh dunia pada Kamis (12/5/2022). Hasil riset kolaborasi itu diumumkan secara bersama dari sejumlah negara.
Foto pertama Sgr A* yang diperoleh menunjukkan adanya lingkaran cahaya oranye mengelilingi bagian tengah yang tampak kosong. Gravitasi lubang hitam yang dahsyat membuat cahaya pun tidak mungkin lolos dari tarikannya. Karena itu, citra yang diperoleh, sejatinya menunjukkan bayangan lubang hitam, yaitu bagian tengah yang terlihat kosong.
Sementara lingkaran cahaya oranye yang terlihat adalah piringan akresi yang mengelilingi lubang hitam. Piringan ini berisi foton (materi dasar cahaya), gas, dan debu yang saling bergesekan hingga menghasilkan panas sangat tinggi dan bercahaya. Materi di piringan yang terlalu dekat lubang hitam akan tertarik dan tidak bisa keluar lagi dari lubang hitam, sedangkan materi yang tidak terjebak lubang hitam akan mengelilingi obyek supermasif tersebut.
Citra Sgr A* ini diperoleh melalui jejaring teleskop radio global Event Horizon Telescope (EHT). Teleskop radio dari sejumlah negara dan benua, seperti Cile, Spanyol, Amerika Serikat, hingga Antarktika diselaraskan secara khusus hingga membentuk teleskop radio raksasa seukuran Bumi dan mampu mendapat citra lubang hitam.
”Upaya mendapatkan citra lubang hitam ini tidaklah mudah. Butuh beberapa tahun untuk memperbaiki citra dan mengonfirmasi sejumlah detail yang dimiliki Sgr A*,” kata Feryal Ozel dari Universitas Arizona, AS, kepada Space, Kamis (12/5/2022).
Cakrawala peristiwa atau event horizon adalah batas di sekitar lubang hitam yang membuat sebuah benda akan tertarik atau tidak ke dalam lubang hitam. Batas ini umumnya dijadikan marka untuk mengukur diameter lubang hitam.
Baca juga: Lubang Hitam di Pusat Bimasakti Dikelilingi Ribuan ”Blanet” Seukuran Bumi
Lubang hitam Sgr A* memiliki diameter sudut sebesar 51,8 mikrodetik busur atau setara 23,5 juta kilometer (km). Untuk mengamati obyek sekecil itu sama dengan melihat donat di permukaan Bulan dari Bumi. Selain itu, dibandingkan ukuran galaksi Bimasakti yang berdiameter 100.000 tahun cahaya atau sekitar 950.000 triliun km dan tebal 1.000 tahun cahaya, maka ukuran Sgr A* itu kecil.
Upaya mendapatkan citra lubang hitam ini tidaklah mudah. Butuh beberapa tahun untuk memperbaiki citra dan mengonfirmasi sejumlah detail yang dimiliki Sgr A*.
Sementara piringan akresi Sgr A* terentang dari jarak 5 tahun cahaya sampai 30 tahun cahaya dari pusat lubang hitam. Gesekan materi di piringan akresi ini sangat intens hingga membuat suhu piringan Sgr A* mencapai 10 juta derajat celsius.
Bukti panjang
Citra lubang hitam di pusat Bimasakti ini diperoleh setelah 90 tahun sejak Karl Jansky menemukan sinyal radio kuat di arah rasi Sagittarius dari pusat Bimasakti pada tahun 1930-an. Sumber sinyal radio kuat di pusat galaksi yang dinamai Sgr A* berhasil diidentifikasi oleh Bruce Balick dan Robert L Brown pada Februari 1974.
Namun saat itu, belum diketahui benda apa yang menjadi sumber sinyal radio kuat itu. Baru pada 1980-an, astronom mulai menduga sumber sinyal radio itu adalah lubang hitam dengan ukuran yang belum bisa ditentukan.
Pada tahun 1994, Reinhard Genzel berhasil menghitung massa obyek padat di pusat Bimasakti itu mencapai 3 juta massa Matahari. Sejak itu, astronom yakin sumber radio kuat di pusat Bimasakti itu lubang hitam dan mengabaikan kemungkinan lain, seperti bintang masif yang bergerombol.
Selanjutnya pada 2008, Genzel dan Andrea Ghez menghitung ulang massa sumber sinyal radio kuat itu menjadi 4,3 juta massa Matahari. Atas kerja mereka, Genel dan Ghez dianugerahi Nobel Fisika pada 2020. Bukti kuat obyek masif itu adalah lubang hitam diperoleh pada 2018 saat astronom berhasil mengamati gerak emisi di dekat lubang hitam dengan laju 30 persen kecepatan cahaya.
Baca juga: Peraih Nobel Fisika dan Langkah Penting Menyingkap Lubang Hitam
Meski ada lubang hitam supermasif di pusat Bimasakti, tata surya dan Bumi aman dari ancaman ”ditelan” sang lubang hitam. Ini merupakan kesalahpahaman yang sering muncul bahwa lubang hitam akan memangsa apa pun yang ada di dekatnya. Lubang hitam memang menarik materi apa pun di sekitarnya, tetapi jarak materi itu harus lebih dekat dari cakrawala peristiwa.
Dari pusat Bimasakti, Matahari terletak pada jarak 27.000 tahun cahaya. Jarak ini masih sangat jauh dari lebar piringan akresi Sgr A* terluar sekalipun yang mencapai 30 tahun cahaya. Bahkan jika Matahari berubah menjadi lubang hitam dengan massa yang sama, Bumi tetap aman dan stabil di posisinya. Hanya, Bumi akan gelap dan dingin karena kehilangan sumber panas dan cahayanya.
Citra lubang hitam Sgr* ini juga makin mengukuhkan teori relativitas umum Albert Einstein yang memprediksi adanya lubang hitam dan cakrawala peristiwa. Teori itu sudah dibuktikan sejak citra lubang hitam pertama berhasil diperoleh pada 2019. Bayangan lubang hitam pertama itu berasal dari galaksi Messier 87 atau M87 yang juga diperoleh melalui jejaring teleskop radio EHT.
Dekat, tapi sulit
Kini, jejaring teleskop EHT telah memperoleh dua citra lubang hitam dengan karakter berbeda. Lubang hitam Sgr A* bermassa kecil dan M87 bermassa besar. Kedua lubang hitam supermasif itu sebenarnya diamati secara bersamaan. Namun, pengumpulan data Sgr A* yang sebenarnya jauh lebih dekat justru lebih sulit dilakukan.
Lubang hitam di M87 memiliki massa 65 miliar massa Matahari atau 1.500 kali lebih besar dari massa Sgr A*. M87 berjarak 55 juta tahun cahaya dari Bumi atau 2.000 kali lebih jauh dari jarak Sgr A*. Diameter lubang hitam M87 mencapai 40 miliar km atau 1.700 kali lebih lebar dari diameter Sgr A*.
"Namun, citra Sgr A* ini istimewa karena dia adalah lubang hitam supermasif di rumah kita," kata Heino Falcke, salah satu pelopor EHT dari Eropa kepada BBC.
Massa lubang hitam Sgr A* yang lebih kecil membuat pengamatan obyek ini menjadi tidak mudah meski jaraknya jauh lebih dekat. Massa yang kecil membuat aliran materi dan gas menuju Sgr A* jadi lebih lemah hingga cahaya di piringan akresinya tidak terlalu kuat. Jumlah materi di piringan akresi yang tersedot ke lubang hitam pun lebih sedikit.
Baca juga : Angin Lubang Hitam Supermasif Paling Tua Ditemukan
" Ibarat manusia, lubang hitam Sgr A* ini hanya makan sebutir nasi dalam rentang jutaan tahun," tambah astronom Universitas Harvard, AS, Michael Johnson.
Selain itu, diantara Bumi dengan Sgr A* terdapa banyak gas dan debu yang bisa menyebarkan gelombang radio submilimeter hingga mengaburkan citra yang diperoleh. Tak hanya itu, atmosfer Bumi pun banyak mengandung uap air yang juga menyerap gelombang radio submilimeter.
Massa lubang hitam supermasif M87 yang besar membuat kecerlangan piringan akresi atau cincin cahaya yang mengelilinginya mampu bertahan hingga beberapa hari. Sedangkan cahaya piringan akresi Sgr A* yang lebih redup hanya mampu bertahan memutari lubang hitam selama beberapa menit saja.
”Massa lubang hitam Sgr A* hanya seperseribu massa lubang hitam M87 sehingga struktur cincin cahayanya pun berubah dalam skala 1.000 kali lebih cepat dibanding yang terjadi di M87,” tambah Ziri Younsi dari Universitas College London, Inggris.
Kondisi itu juga membuat kecepatan putar piringan akresi Sgr A* sangat lemah hingga materi yang jatuh ke lubang hitam pun makin sedikit. Makin besar perputaran piringan akresi makin banyak materi yang akan jatuh ke lubang hitam dalam waktu singkat.
Tak hanya putaran piringan akresi, keceptan putar atau rotasi lubang hitam juga penting. Makin cepat lubang hitam berputar, seperti pada lubang hitam M87, maka bisa menghasilkan jet atau pancaran materi spektakuler dari kedua kutub lubang hitam dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. Namun, mekanisme itu tidak ditemukan pada Sgr A*.
Baca juga: Quasar Terjauh yang Mengandung Lubang Hitam Supermasif Ditemukan
Kini, lanjut Genzel, yang menjadi tantangan adalah menghitung kecepatan putar lubang hitam Sgr A*. Selain itu, upaya memperoleh citra Sgr A* yang lebih tajam juga diperlukan untuk bisa lebih memahami gejolak yang terjadi di piringan akresi serta bagaimana lubang hitam memengaruhi lingkungan di sekitarnya.
Meski riset dan teknologi terus berkembang maju, bagaimanapun, rumah besar manusia galaksi Bimasakti tetap memiliki banyak misteri.