Jalur Pergerakan Sama, Hiu Paus Rentan Tertabrak Kapal Kargo
Saat ini tidak ada peraturan internasional untuk melindungi hiu paus dari tabrakan kapal. Hasil riset ini diharapkan bisa memberi masukan bagi pengelolaan jalur pelayaran.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
Populasi hiu paus tercatat menurun dari waktu ke waktu tanpa diketahui pasti penyebabnya. Hasil studi para peneliti berikut mengungkap kemungkinan penyebab ancaman kematian jenis ikan terbesar itu.
Studi yang dilakukan ahli biologi kelautan dari Asosiasi Biologi Kelautan (MBA) dan University of Southampton di Inggris menemukan bahwa jalur pelayaran ”kapal-kapal raksasa” tumpang tindih dengan jalur pergerakan hiu paus. Hal itu bisa membawa risiko kecelakaan pada hiu paus seperti tertabrak atau terluka oleh baling-baling kapal.
Bagi satwa laut, luka seperti itu bisa menimbulkan permasalahan serius seperti infeksi, kehilangan organ, hingga kematian. Karena hiu paus menghabiskan banyak waktu di dekat permukaan dan berkumpul di wilayah pesisir, para ahli berteori bahwa tabrakan dengan kapal dapat menyebabkan jumlah kematian hiu paus yang substansial.
Beberapa tag yang merekam kedalaman serta lokasi menunjukkan hiu paus bergerak ke jalur pelayaran dan kemudian tenggelam perlahan ke laut, di dasar laut ratusan meter di bawahnya.
Para ilmuwan dari 50 lembaga penelitian dan universitas internasional melacak pergerakan hiu paus dan kapal di seluruh dunia untuk mengidentifikasi area yang berisiko dan kemungkinan menjadi lokasi terjadinya tabrakan. Dengan menggunakan teknologi pelacakan oleh satelit, tim memantau pergerakan hampir 350 hiu paus yang diajukan ke Global Shark Movement Project (Proyek Gerakan Hiu Global), yang dipimpin oleh para peneliti dari MBA.
Tim ilmuwan tersebut memetakan lokasi utama hiu yang tumpang tindih dengan armada kapal kargo, tanker, penumpang, dan kapal penangkap ikan. Tujuannya untuk mengungkapkan bahwa lebih dari 90 persen pergerakan hiu paus berada dalam jalur pelayaran kapal-kapal tersebut.
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa transmisi tag (penanda) yang dipasang pada hiu paus (biasanya diletakkan di bagian sirip punggung) lebih sering berakhir di jalur pelayaran yang sibuk daripada yang diperkirakan. Tim menyimpulkan bahwa hilangnya transmisi kemungkinan karena hiu paus tersambar atau dibunuh, dan kemudian tenggelam ke dasar laut.
”Industri perkapalan maritim yang memungkinkan kita memperoleh berbagai produk sehari-hari dari seluruh dunia dapat menyebabkan penurunan populasi ikan hiu paus, yang merupakan spesies yang sangat penting di lautan kita,” kata Freya Womersley dari Southampton University dalam siaran pers kampus itu, Selasa (10/5/2022).
Ia memimpin penelitian sebagai bagian dari Proyek Gerakan Hiu Global. Hasil riset Womersley dan kawan-kawan itu dipublikasikan pada jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences sehari sebelumnya.
Hiu paus (Rhincodon typus) merupakan raksasa laut yang bergerak lambat yang dapat tumbuh hingga 20 meter panjangnya dan memakan satwa kecil atau mikroskopis yang disebut zooplankton. Hiu paus membantu mengatur tingkat plankton laut dan memainkan peran penting dalam jaring makanan laut dan ekosistem laut yang sehat.
Di Indonesia, megafauna yang dilindungi itu bisa dijumpai di Teluk Cenderawasih Papua, Teluk Triton Kaimana, Teluk Saleh NTB, Botubarani Gorontalo, serta beberapa kali dilaporkan terdampar di pesisir Jawa Timur, Palu, Sulawesi Tenggara, dan Sumatera Barat.
Perlu pengaturan
”Luar biasa, beberapa tag yang merekam kedalaman serta lokasi menunjukkan hiu paus bergerak ke jalur pelayaran dan kemudian tenggelam perlahan ke laut, di dasar laut sedalam ratusan meter yang merupakan ’senjata api’ dari serangan kapal yang mematikan,” kata Profesor David Sims, peneliti senior di MBA dan University of Southampton dan pendiri Proyek Gerakan Hiu Global.
”Sangat menyedihkan memikirkan bahwa banyak kematian satwa luar biasa ini telah terjadi secara global karena kapal. Kita tak menyadarinya sehingga tidak mengambil tindakan pencegahan,” kata Sims menambahkan.
Saat ini tidak ada peraturan internasional untuk melindungi hiu paus dari tabrakan kapal. Tim peneliti mengatakan, spesies ini menghadapi masa depan yang tidak pasti jika tidak segera diambil tindakan. Mereka berharap temuan mereka dapat menjadi dasar untuk pengambilan keputusan bagi regulator agar melindungi hiu paus dari penurunan populasi lebih lanjut di masa depan.
”Secara kolektif, kita perlu meluangkan waktu dan energi untuk mengembangkan strategi guna melindungi spesies yang terancam punah ini dari aktivitas pengiriman komersial sekarang, sebelum terlambat, sehingga ikan terbesar di Bumi ini dapat bertahan dari ancaman yang diprediksi akan meningkat di masa depan, seperti perubahan iklim laut,” ujar Womersley.