Kota-kota Pesisir Asia Tenggelam Lebih Cepat daripada Kenaikan Permukaan Laut
Kota pesisir Asia lainnya tenggelam lebih cepat daripada laju kenaikan permukaan laut. Jakarta dan Semarang termasuk yang mengalami penurunan tanah paling drastis.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Jakarta, Manila, dan beberapa kota pesisir Asia lainnya tenggelam lebih cepat daripada laju kenaikan permukaan laut karena penurunan tanah. Dalam kajian terbaru di 99 kota pesisir di dunia ini, Jakarta dan Semarang termasuk yang mengalami penurunan tanah paling drastis, yaitu mencapai 3 sentimeter per tahun.
Hasil penelitian terbaru ini menyerukan tindakan regulasi yang ketat untuk mengurangi ekstraksi air tanah, yang diidentifikasi sebagai penyebab utama penurunan tanah. Penelitian ini dipublikasikan di Geophysical Research Letters edisi April 2022.
Dalam kajian ini, para peneliti menganalisis kerentanan 99 kota pesisir di seluruh dunia, 33 di antaranya memiliki area atau bagian yang mengalami penurunan lebih dari 1 sentimeter per tahun. Peneliti Pei-Chin Wu, Matt Wei, dan Steven D’Hondt dari Graduate School of Oceanography di University of Rhode Island menggunakan Interferometric Synthetic Aperture Radar berbasis satelit untuk mengidentifikasi ”daerah yang cepat surut”.
"Di sebagian besar kota, sebagian tanahnya turun lebih cepat daripada naiknya permukaan laut," kata studi tersebut.
”Jika penurunan muka tanah terus berlanjut pada tingkat saat ini, kota-kota ini akan menghadapi banjir lebih cepat daripada yang diproyeksikan oleh model kenaikan permukaan laut. Penurunan tanah paling cepat terjadi di Asia Selatan, Tenggara, dan Timur. Namun, penurunan tanah yang cepat juga terjadi di Amerika Utara, Eropa, Afrika, dan Australia.”
Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), sejak 1993, kenaikan permukaan laut telah terjadi dengan kecepatan sekitar 2 milimeter (mm) per tahun. Namun, antara tahun 1982 dan 2010, Jakarta mengalami penurunan tanah sebanyak 28 sentimeter (cm). Sementara sejak 2015 hingga 2020 penurunan tanah turun di Jakarta yang mencapai 3 cm per tahun atau 10 kali lipat dibandingkan laju kenaikan muka air laut.
Semarang, ibu kota Provinsi Jawa Tengah, juga mengalami penurunan tanah 3 cm per tahun. Penurunan muka air tanah sebesar ini juga terjadi di Tianjin, China.
Manila, ibu kota Filipina, mengalami penurunan tanah lebih dari 2 cm per tahun antara 2015 dan 2020, hampir tujuh kali lebih cepat daripada rata-rata kenaikan permukaan laut. Fenomena penurunan tanah lebih cepat daripada kenaikan permukaan laut lebih menonjol di kota-kota Asia daripada di tempat lain. Misalnya, di Shanghai, tingkat penurunan tanah antara tahun 1990 dan 2001 adalah 1,6 sentimeter per tahun.
”Di sebagian besar kota, sebagian tanahnya turun lebih cepat daripada naiknya permukaan laut,” kata studi tersebut.
”Jika penurunan muka tanah terus berlanjut pada tingkat saat ini, kota-kota ini akan menghadapi banjir lebih cepat daripada yang diproyeksikan oleh model kenaikan permukaan laut. Penurunan tanah paling cepat terjadi di Asia Selatan, Tenggara, dan Timur. Namun, penurunan tanah yang cepat juga terjadi di Amerika Utara, Eropa, Afrika, dan Australia.”
Studi tersebut menunjukkan, ekstraksi air tanah yang berlebihan kemungkinan besar menjadi alasan tenggelamnya beberapa daerah di kota-kota pesisir ini. Hal ini berpotensi memengaruhi hidup 59 juta orang.
Studi sebelumnya telah menyebutkan, peningkatan populasi yang cepat, perluasan produksi industri dan pertanian, serta tidak adanya pengolahan air dan kualitas air yang buruk dari air permukaan yang tersedia karena polusi adalah salah satu alasan utama untuk meningkatkan ketergantungan pada air tanah.
Jika penurunan tanah di Jakarta sudah banyak diperhatikan, situasi di daerah seperti Pekalongan masih sangat minim perhatian, padahal intensitasnya lebih parah. Di kota ini banjir rob meluas, bahkan sudah masuk ke perkotaan dan menyebabkan banjir rutin.
Wei mengatakan kepada SciDev.Net pada Selasa (26/4/2022), penurunan tanah telah berkurang di sejumlah kota, seperti Manila. ”Menurut satu penelitian, Manila telah surut 3 cm per tahun dari 2003 hingga 2010. Jadi, pengamatan kami 2 sentimeter per tahun antara 2015 dan 2020 lebih lambat,” kata Wei.
Menurut Wei, mencari sumber air tanah alternatif harus dilakukan oleh kota-kota ini. Selain itu, harus ada regulasi yang tegas mengatur mengenai pengambilan air tanah.
Peneliti Ahli Utama Bidang Teknologi Penginderaan Jauh Badan Riset Inovasi Nasional, Rokhis Khomarudin, dalam diskusi sebelumnya mengatakan, penurunan muka tanah terjadi di kota-kota di pantai utara Jawa, bahkan yang terparah bukan di DKI Jakarta.Berdasarkan pemantauan citra satelit, penurunan di Jakarta 0,1 - 8 cm per tahun, Cirebon 0,3-4 cm per tahun, Pekalongan 2,1-11 cm per tahun, Semarang 0,9–6 cm per tahun, dan Surabaya 0,3–4,3 cm per tahun (Kompas, 17 September 2021).
Selain pengambilan air tanah, menurut Rokhis, penurunan tanah di Pekalongan juga dipicu oleh hilangnya beting gesik karena dipakai tambak. Jika penurunan tanah di Jakarta sudah banyak diperhatikan, situasi di daerah seperti Pekalongan masih sangat minim perhatian, padahal intensitasnya lebih parah. Di kota ini banjir rob meluas, bahkan sudah masuk ke perkotaan dan menyebabkan banjir rutin.