Tongkat Adaptif bagi Para Penyandang Disabilitas Netra
Tim dari Panti Pelayanan Sosial Disabilitas Netra Penganthi, Temanggung, membuat inovasi tongkat adaptif. Ini adalah inovasi tongkat penuntun yang memudahkan para penyandang disabilitas netra saat berjalan.
Kondisi fasilitas publik yang sering kali tidak ramah bagi penyandang disabilitas membuat penyandang disabilitas netra tidak mudah melakukan aktivitas bepergian dan berjalan kaki. Di tengah situasi itulah, ide membuat tongkat adaptif muncul.
Tongkat adaptif adalah alat yang dapat memudahkan para penyandang disabilitas netra saat berjalan. Tongkat ini diciptakan oleh Windu Darojat, salah seorang pembimbing sosial, bersama timnya di Panti Pelayanan Sosial Disabilitas Sensorik Netra Penganthi Temanggung.
Seperti diketahui, seorang penyandang disabilitas netra memang biasa menggunakan tongkat untuk membantunya saat berjalan. Akan tetapi, Windu yang terbiasa melihat dan mendampingi mereka mengetahui bahwa tongkat yang dibutuhkan bukan sekadar tongkat kayu biasa.
Baca juga : Inovasi Perguruan Tinggi Semakin Dimanfaatkan
Setelah membuat rancangan kasar idenya di tahun 2019 dan 2020, Windu mulai merakit dan membuat tongkat tersebut di tahun 2021. Tongkat itu dibuat dengan ide dasar bahwa alat bantu tersebut harus memiliki sensor yang bisa memberi tanda akan berbagai halangan yang ditemui penyandang disabilitas netra saat berjalan.
Tongkat pertama yang dibuat dilengkapi dengan sensor penanda adanya genangan air, sensor penanda adanya gas beracun, serta sensor jarak ultrasonik. Sensor jarak ultrasonik ini dirancang untuk memberikan tanda atau sinyal bahwa ada halangan berupa benda atau makhluk hidup berwujud padat di depan penyandang disabilitas netra. Sensor ini akan memberi tanda adanya halangan pada jarak maksimal 3 meter. Pada tongkat pertama, sensor bekerja dengan memberikan sinyal berupa suara ”beep” atau getar.
Pada bagian ujung tongkat juga diberi tambahan lampu yang akan berkedip mengeluarkan cahaya merah. Lampu ini terutama diperlukan untuk kebutuhan menyeberang jalan. Sekalipun tidak membantu memberi pencerahan pada pandangan mata penyandang disabilitas netra, sinar dari lampu ini akan memberi tanda yang membuat orang di sekitar akan berhati-hati serta memberi ruang dan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk menyeberang.
Sebagai pelengkap, pada rancangan pertama ini Windu juga membuat rompi khusus dengan sensor jarak yang dipasang di bagian dada. Di wilayah Kabupaten Temanggung, rompi ini kemudian cukup dikenali dan menjadi identitas atau penanda bahwa pemakainya adalah penyandang disabilitas.
Pembuatan tongkat pertama ini membutuhkan waktu sekitar sebulan. Namun, Windu kemudian berkeinginan untuk menyempurnakannya lagi. Sekalipun sensor yang dipasang masih berfungsi sama, tongkat yang dibuat pada Januari 2022 ini memiliki bentuk sinyal atau tanda yang lebih variatif. Selain efek getar dan suara ”beep”, sinyal pada tongkat kedua ini ada yang berupa suara manusia dalam bahasa Indonesia. Misalnya, peringatan dalam bahasa Indonesia akan terdengar dan memberi tahu bahwa pada jarak sekian meter ada halangan berwujud padat.
Merespons masukan dari berbagai pihak, Windu masih terus melakukan perbaikan hingga akhirnya membuat tongkat ketiga pada Maret 2022. Tongkat ini memiliki sensor dengan sinyal yang sama seperti tongkat kedua. Namun, berbeda dengan tongkat pertama dan kedua yang baterainya harus diisi ulang, tongkat ketiga ini sudah dilengkapi dengan panel surya untuk menyuplai kebutuhan dayanya.
”Karena sudah dilengkapi perangkat solar cell, maka saat tongkat ini dipakai jalan-jalan di bawah sinar matahari, tongkat itu akan sekaligus mengisi daya,” ujarnya.
Tongkat adaptif ini masih bisa terus diperbaiki, disempurnakan lagi, disesuaikan dengan beragam kebutuhan. Windu mengatakan, tahun depan, dia akan menambahkan sensor-sensor lain, misalnya sensor yang memberi tanda tingkat kekeruhan air sungai atau sumber air di alam yang sekaligus akan memberi tahu apakah air itu layak minum atau tidak. Selain itu, dia pun berencana menambahkan sensor arus listrik yang dapat memberi tahu adanya kebocoran arus listrik.
Ide menambahkan sensor arus listrik ini merupakan permintaan sekaligus kebutuhan dari salah seorang rekan di DKI Jakarta. ”Sensor arus listrik ini sangat dibutuhkan terutama untuk kebutuhan penyandang tunanetra saat terjadi banjir,” ujar Windu.
Namun, tidak semua masukan bisa ditindaklanjuti. Windu pernah menerima permintaan untuk menambahkan sensor kontur yang bisa memberi tahu kondisi jalan naik, turun, curam, atau kondisi jalan yang berlubang.
Ketika mencoba mewujudkannya, ia membutuhkan banyak komponen untuk pencitraan tiga dimensi. Selain pada tongkat, komponen yang dibutuhkan tersebut perlu dipasang pada rompi serta topi dengan kamera 360.
Karena sudah dilengkapi perangkat solar cell, maka saat tongkat ini dipakai jalan-jalan di bawah sinar matahari, tongkat itu akan sekaligus mengisi daya.
Sekalipun sudah sempat membuat rancangannya, inovasi itu akhirnya tidak jadi direalisasikan karena dinilai kurang nyaman untuk dipakai. Selain merepotkan karena harus memakai tiga perangkat sekaligus, yaitu topi, rompi, dan tongkat, banyaknya komponen yang dipasang pada rompi memberi kesan buruk pada penampilan.
”Dengan banyaknya komponen dan kabel yang berjuntai di bagian saku, rompi tersebut jadi menimbulkan kesan mencurigakan karena mirip dengan rompi yang dipakai pelaku bom bunuh diri,” ujarnya terbahak.
Baca juga : Inovasi Teknologi Berpeluang Tingkatkan Produksi Perikanan Budidaya
Diproduksi penyandang disabilitas
Tongkat adaptif ini dibuat dari komponen yang merupakan produk dalam negeri (85 persen) dan komponen impor (15 persen). Salah satu komponen ”wajib” impor tersebut adalah cip yang harus dibeli dan dipesan secara daring dari Hong Kong atau China. Sejauh ini, Windu belum mendapatkan produk serupa buatan Tanah Air.
Jenis cip yang dipakai adalah cip AT 8 M yang bisa dipakai dengan bahasa pemrograman Arduino. Sementara Arduino dipilih karena merupakan bahasa pemrograman yang paling sederhana.
Tongkat adaptif buatan Windu kini menjadi produk dengan hak paten atas nama Kementerian Sosial. Di tangan Kementerian Sosial, sekarang telah diproduksi 5.120 tongkat yang dibagi-bagikan sebagai bantuan sosial untuk penyandang disabilitas netra. Produksi tongkat adaptif ini dilakukan dengan melibatkan banyak penyandang disabilitas yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara.
Sekalipun hak paten dimiliki oleh Kementerian Sosial, Panti Pelayanan Sosial Disabilitas Sensorik Netra Penganthi Temanggung juga sering membuat produk ini untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan dari sejumlah daerah.
Kepala Panti Pelayanan Sosial Disabilitas Sensorik Netra Penganthi Temanggung Koeswono mengatakan, pada tahun 2020, tongkat adaptif ini termasuk dalam Top 99 Inovasi Pelayanan Publik dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Sekalipun sudah diakui manfaat dan kegunaanya, dia sebenarnya menyesalkan kenapa tim pembuatnya, termasuk Windu, tidak mendapatkan penghargaan berupa royalti.
Panti Pelayanan Sosial Disabilitas Sensorik Netra Penganthi Temanggung terus berupaya berinovasi membuat beragam produk, perangkat, yang dapat membantu memudahkan para penyandang disabilitas netra.