Mutasi Kecil Bisa Membuat Virus Zika Lebih Berbahaya
Studi terbaru menemukan virus zika dapat bermutasi menjadi lebih menular. Virus tersebut juga berpotensi menembus kekebalan yang sudah ada sebelumnya.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para peneliti di La Jolla Institute for Immunology, California, AS, telah menemukan bahwa virus zika dapat bermutasi menjadi lebih infektif dan berpotensi menembus kekebalan yang sudah ada sebelumnya. Mereka meminta agar keberadaan virus yang dibawa nyamuk ini terus dipantau.
Potensi terjadinya mutasi virus zika yang berbahaya ini dilaporkan para peneliti La Jolla Institute for Immunology (LJI) di jurnal Cell Report pada Selasa (12/4/2022). ”Dunia harus memantau kemunculan varian virus zika ini,” kata Profesor LJI Sujan Shresta yang memimpin studi bersama Profesor Pei-Yong Shi dari University of Texas Medical Branch dalam keterangan pers.
Virus zika dibawa oleh nyamuk dan gejala infeksi zika biasanya ringan pada orang dewasa. Namun, virus dapat menginfeksi janin yang sedang berkembang dan mengakibatkan cacat lahir, seperti mikrosefali.
Seperti zika, virus dengue adalah flavivirus yang dibawa oleh nyamuk. Kedua virus ini cukup mirip sehingga respons imun yang dipicu paparan dengue sebelumnya dapat menawarkan perlindungan terhadap zika.
”Di daerah di mana zika lazim, sebagian besar orang telah terpapar virus dengue dan memiliki sel T dan antibodi yang bereaksi silang,” kata Shresta. Namun, dua virus ini juga cepat bermutasi.
”Dengue dan zika adalah virus RNA, yang berarti mereka dapat mengubah genomnya,” kata Shresta. Ketika ada begitu banyak nyamuk dan begitu banyak inang manusia, virus ini terus bergerak maju mundur dan berevolusi.
Di daerah di mana zika lazim, sebagian besar orang telah terpapar virus dengue dan memiliki sel T dan antibodi yang bereaksi silang.
Untuk mempelajari evolusi zika yang bergerak dengan cepat, tim LJI bereksperimen dengan mempelajari siklus infeksi yang berulang antara sel nyamuk dan tikus. Pekerjaan ini memberi para ilmuwan pengetahuan tentang bagaimana virus zika berevolusi secara alami saat bertemu dengan lebih banyak inang.
Mutasi tunggal
Para peneliti menemukan bahwa virus zika relatif mudah memperoleh perubahan asam amino tunggal yang memungkinkannya membuat lebih banyak salinan dirinya sendiri dan membantu infeksi bertahan lebih mudah. Mutasi ini (disebut mutasi NS2B I39V/I39T) meningkatkan kemampuan virus untuk bereplikasi pada tikus dan nyamuk. Varian zika juga menunjukkan peningkatan replikasi dalam sel manusia.
”Mutasi tunggal ini cukup untuk meningkatkan virulensi virus zika,” kata penulis pertama studi Jose Angel Regla-Nava, mantan peneliti postdoctoral di LJI dan Associate Professor saat ini di University of Guadalajara, Meksiko. Tingkat replikasi tinggi pada nyamuk atau inang manusia bisa meningkatkan transmisi virus atau patogenisitas dan menyebabkan wabah baru.
Shresta menambahkan, ”Varian zika yang kami identifikasi telah berevolusi ke titik di mana kekebalan pelindung silang yang diberikan oleh infeksi dengue sebelumnya tidak lagi efektif pada tikus. Jika varian ini menjadi lazim, kita mungkin memiliki masalah yang sama di kehidupan nyata.”
Wabah zika di Brasil pada 2015-2016 dan negara lain di Amerika memicu lonjakan keguguran dan kasus bayi cacat lahir, disebut sindrom zika bawaan, termasuk kepala kecil yang tidak normal dan gangguan perkembangan saraf. Hal ini mendorong Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan wabah zika sebagai darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional.
Mengacu laporan Kementerian Kesehatan di infeksiemerging.kemkes.go.id, vektor virus zika adalah nyamuk Aedes aegypti yang juga merupakan vektor demam berdarah. Padahal, kasus DBD ditemukan di seluruh kabupaten/kota di Indonesia sehingga potensi terjadinya penularan virus zika di populasi juga tinggi.
Beberapa studi terdahulu juga menunjukkan bahwa ditemukan adanya infeksi virus zika melalui serologi atau isolasi virusnya, di antaranya tujuh orang dengan bukti serologis zika dilaporkan dari surveilans berbasis rumah sakit di Klaten selama 1977-1978 (Olson, et al., 1981). Penelitian serologis arbovirosis selanjutnya dilakukan di Lombok, 1979, yang menunjukkan 31 persen dari 71 sampel memiliki antibodi untuk Zika (Olson, et al., 1983).
Kasus Zika dilaporkan dari wisatawan Australia yang kembali dari Jakarta dengan gejala demam dan ruam (Kwong, et al., 2012). Selain itu, 1 kasus zika terdeteksi di antara 103 pasien dengan diagnosis demam berdarah klinis selama KLB demam berdarah di Jambi pada periode 2014 Desember-April 2015 (Perkasa, et al. 2015).
Berikutnya, seorang wisatawan Australia yang kembali dari Bali dikonfirmasi sebagai kasus zika (Leung, et al., 2015). Seorang wisatawan Perancis yang kembali dari Yogyakarta dan Bali dikonfirmasi sebagai kasus zika (2016). Seorang pekerja Indonesia dari Mojokerto dilaporkan mendapatkan sakit di Taiwan dan dikonfirmasi sebagai kasus zika (2016).