Afasia, Saat Kata-kata Tak Mudah Dipahami dan Diucapkan
Afasia adalah gangguan berkomunikasi akibat kerusakan otak. Gangguan ini mudah ditemukan pada penderita stroke. Meski bisa diterapi, gangguan ini bisa membuat penderitanya frustrasi.
Gangguan afasia yang dialami aktor Bruce Willis (67) membuatnya harus mundur dari dunia film yang telah digelutinya selama 40 tahun terakhir. Gangguan itu dikhawatirkan akan memengaruhi kemampuan kognitif sang aktor yang membuatnya sulit memahami dan berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis.
Pengunduran diri Bruce Willis yang telah membintangi lebih dari 100 film itu disampaikan keluarganya melalui pesan tertulis yang diunggah ke Instagram, Rabu (30/3/2022). Memang tidak ada keterangan resmi penyebab gangguan yang dialami aktor laga itu, tetapi beberapa waktu terakhir Willis mengalami gangguan ingatan jangka pendek.
Afasia adalah hilang atau menurunnya kemampuan seseorang untuk berkomunikasi, baik berbicara, membaca, maupun memahami bahasa lisan dan tulisan. Akibatnya, penderita susah untuk mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya karena kesulitan mengingat dan menyusun kalimat. Konsekuensinya, penderita tidak mudah berkomunikasi secara efektif dengan orang lain.
Penderita afasia tetaplah manusia dewasa yang kecerdasannya tidak hilang, hanya terganggu kemampuannya berkomunikasi dan berbahasa.
Gangguan ini dipicu kerusakan otak yang mengontrol ekspresi dan pemahaman bahasa. Kondisi itu, seperti dikutip dari situs John Hopkins Medicine, lembaga riset dan layanan kesehatan di Amerika Serikat, paling banyak ditemukan pada orang yang mengalami serangan stroke. Selain itu, kerusakan otak juga bisa dipicu oleh cedera kepala, infeksi, tumor otak, dan penyakit degeneratif yang memicu rusaknya otak secara permanen.
Data Institut Nasional untuk Ketulian dan Gangguan Komunikasi Lainnya (NIDCD) AS menyebut 1 dari 250 orang di negara itu pada 2015 mengalami afasia. Jumlah penderita laki-laki dan perempuan sebanding. Gangguan ini banyak ditemukan pada mereka yang memasuki usia lansia atau 60 tahun ke atas. Makin bertambah usia, makin besar jumlah penderitanya.
Prevalensi penderita afasia di Indonesia tidak ada data pasti. Naylil M Rohma dari Program Studi Magister Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan rekan dalam Proceedings of the 4th UGM Public Health Symposium, November 2018, menyebut keterbatasan data penderita afisia akibat stroke itu terjadi karena rekam medis rumah sakit masih mengklasifikasikan penyakit berdasarkan diagnosis medis utamanya. Akibatnya, jumlah penderita afasia sulit dideteksi.
Baca juga: Menjaga Kesehatan Otak Selama Pandemi
Namun, Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebut 10,9 per mil (per seribu) penduduk berumur 15 tahun ke atas mengalami stroke atau diprediksi Kementerian Kesehatan sebesar 2,1 juta orang. Padahal, Asosiasi Afasia Nasional (NAA), organisasi sipil yang memberikan edukasi dan layanan afasia di AS, mencatat 25-40 persen penderita stroke mengalami afasia. Dengan asumsi itu, diperkirakan ada 525.000-840.000 penderita afasia di Indonesia.
Kerusakan otak
Kerusakan otak yang memicu afasia itu umumnya pada otak kiri, yaitu bagian otak yang dominan dalam memproses kemampuan manusia berbahasa. Pada penderita stroke, kerusakan itu dipicu pecahnya pembuluh darah di otak sehingga otak kekurangan darah dan oksigen. Akibatnya, sel otak di bagian yang mengontrol bahasa itu rusak atau mati.
Namun, dikutip dari Luita Aribowo, ahli neurolinguistik dari Departemen Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga, Surabaya, dalam tulisannya di jurnal Deskripsi Bahasa, 1 Maret 2018, kerusakan pada otak kiri yang memicu afasia itu beragam. Demikian pula dampak atau tingkat keparahan afasia yang ditimbulkannya.
Jika bagian otak yang rusak adalah area Broca, penderita mengalami afasia ekspresif, afasia Broca, atau afasia tidak fasih. Area Broca adalah bagian otak yang disebut lobus frontalis kiri belakang bawah. Dinamakan area Broca karena bagian ini ditemukan neurolog Perancis, Pierre Paul Broca, setelah meneliti penderita stroke yang hanya bisa mengucapkan tan-tan.
Area Broca ini terletak di depan korteks motorik yang mengatur gerak otot-otot yang menghasilkan bunyi, mulai dari otot muka, rahang, lidah, palatum molle (bagian dari orofaring yang mengandung mukosa), hingga laring. Dikutip dari situs Mayo Clinic, lembaga riset dan layanan kesehatan lainnya di AS, penderita afasia Broca mampu memahami perkataan orang lain, tetapi sulit mengucapkannya.
Penderita afasia Broca harus berjuang keras untuk bisa berbicara atau berkata-kata. Keterbatasan itu membuat mereka umumnya bicara dalam kalimat sangat pendek dan menghilangkan kata-kata tertentu, seperti ”mau makan” atau ”jalan taman”. Orang sekitar umumnya masih paham dengan apa yang ingin disampaikan penderita.
Meski demikian, penderita afasia Broca umumnya menyadari kesulitannya berkomunikasi sehingga mereka kerap frustrasi. Terlebih, kerusakan otak kiri itu umumnya disertai dengan kelumpuhan atau kelemahan pada anggota tubuh sebelah kanan.
Kerusakan otak bisa juga terjadi pada bagian lobus temporalis kiri belakang atas atau disebut area Wernicke, area yang ditemukan neurolog Jerman, Carl Wernicke. Gangguan pada area ini disebut afasia Wernicke, afasia komprehensif, atau afasia fasih. Penderita afasia ini sulit memahami atau mengerti omongan orang lain.
Penderita afasia Wernicke umumnya masih mampu dan lancar berbicara, bahkan dalam kalimat panjang dan kompleks. Namun, mereka tidak menyadari terdapat kata-kata yang janggal, salah, tidak perlu, atau tidak terkait dengan kalimat utuhnya. Tak jarang muncul kata-kata baru yang membuat bingung lawan bicaranya. Repotnya, mereka juga tidak menyadari bahwa orang lain pun tidak memahami apa yang sedang mereka ucapkan.
Tipe lainnya adalah afasia global yang membuat penderitanya memiliki gangguan parah dalam ekspresi dan pemahaman. Penderita afasia ini sulit memahami, mengucapkan kata, dan membentuk kalimat. Kerusakan otak mereka terjadi secara luas sehingga komunikasi antara penderita dan lawan bicaranya tidak nyambung. Kondisi ini menekan bukan hanya bagi penderita, melainkan juga pendamping atau keluarganya.
Beban psikologi
Meski afasia memengaruhi kemampuan penderitanya berkomunikasi, dalam situs Badan Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris, semacam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di Indonesia, gangguan berbahasa ini tidak merusak kecerdasan penderitanya.
Namun, gangguan ini bisa muncul berbarengan dengan gangguan lain, seperti gangguan penglihatan, lemahnya anggota badan, keterbatasan mobilitas, dan kemampuan kognitif. Gangguan berpikir itu membuat penderita afasia bermasalah dengan memorinya dan mudah kebingungan. Tak jarang, afasia muncul bertahap hingga berkembang menjadi demensia atau pikun.
Baca juga: Kontrol Faktor Risiko untuk Cegah Stroke
Munculnya gangguan berbahasa itu biasanya diikuti dengan perubahan emosi dan psikososial. Terbatasnya kemampuan berkomunikasi itu membuat penderita afasia cenderung diremehkan dan diisolasi secara sosial oleh orang-orang yang dulu dekat dengan mereka, bahkan orang di sekitarnya. Situasi itu makin menurunkan kualitas hidup penderita pascaserangan stroke.
Musdalifah Dachrud dalam disertasinya ”Pengalaman Kesepian pada Penderita Afasia Pascastroke” di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada tahun 2014 menemukan penderita afasia sering mengalami beban ganda akibat keterbatasan komunikasi dan kelumpuhan fisiknya. Akibatnya, penderita banyak terhambat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Penderita juga terpisah atau terisolasi dari berbagai aspek penting dalam hidup, termasuk dengan manusia, alam, Tuhan, bahkan dengan dirinya sendiri. Keterisolasian itu membuat mereka mengalami kesepian.
Ketidakberdayaan dalam mengontrol tubuhnya sendiri itu, ketidaksejalanan antara dorongan psikis dan respons tubuhnya, sering menimbulkan kesepian fisik hingga muncul jengkel, marah, dan sedih. Rasa rendah diri, malu, dan cemburu membuat mereka juga mengalami kesepian sosial.
Kurangnya perhatian orang sekitar, yang juga bingung tentang cara berkomunikasi dengan penderita afasia, membuat penderita mengalami kesepian emosional. Bahkan, ketidakmampuan mereka mentransendensikan dirinya membuat mereka mengalami kesepian eksistensial. Berbagai kesepian itu sering kali berkembang menjadi gangguan cemas dan depresi akibat pola hidup yang berubah mendadak.
”Mereka merasa sepi dan sedih akibat kerinduan untuk berhubungan dengan orang lain,” ungkap Musdalifah seperti dikutip dari situs UGM, 10 November 2014.
Untuk mengatasi itu, penderita afasia perlu mentransformasikan diri mereka dengan mengubah pandangan tentang diri, hidup, dan gangguan yang dialami agar bisa menemukan dirinya yang baru.
Selain itu, penderita perlu ditanamkan rasa optimistis bahwa kondisi mereka bisa pulih. Tentu dengan dukungan sosial yang kuat serta terapi yang tepat.
Afasia bisa disembuhkan. Sebagian kecil kasus, seperti ditulis di John Hopkins Medicine, bisa sembuh total tanpa pengobatan. Namun, sebagian besar kasus menjadi gangguan yang menetap. Terapi wicara dan bahasa, terapi komunikasi nonverbal melalui komputer atau gambar, serta terapi kelompok antara pasien dan kelurga bisa dipilih guna membantu kesembuhan penderita.
Pilihan terapi itu akan sangat bergantung pada kondisi setiap penderita. Pada beberapa orang, terapi wicara dan bahasa membutuhkan waktu lama dan melelahkan. Sebagian penderita mungkin lebih cocok dengan terapi intensif dalam waktu singkat, tetapi penderita lain bisa jadi lebih sesuai dengan terapi lebih pendek dan kurang intensif.
Jenis terapi ditentukan setelah dokter mengobati dan mendeteksi bagian otak yang mengalami kerusakan. Pengobatan yang dilakukan dokter pun tidak seragam, tergantung usia, riwayat medis, penyebab dan tingkat gangguan, keterbatasan fisik yang dialami, toleransi terhadap obat, dan tentu motivasi penderita untuk sembuh.
Namun, di luar pengobatan dan terapi yang dilakukan, dukungan keluarga menjadi faktor penting untuk membantu kesembuhan penderita afasia. Keluargalah yang ada di samping penderita selama 24 jam. Karena itu, keluarga juga perlu dilatih agar mampu berkomunikasi dengan penderita afasia dan mempersiapkan mental mereka untuk menghadapi situasi yang tidak mudah dan melelahkan.
Keluarga bisa mengajak penderita afasia bercakap-cakap secara rutin dengan bahasa sederhana dan kalimat pendek. Jika penderita kurang paham, ulangi dengan menyebut kata kunci atau menuliskannya agar jelas. Sesekali, ajak penderita afasia keluar rumah, menghirup udara segar, atau sekadar bertemu rekan sebaya atau kelompok pendukungnya.
Bagaimanapun penderita afasia tetaplah manusia dewasa yang kecerdasannya tidak hilang, hanya terganggu kemampuannya berkomunikasi dan berbahasa. Karena itu, tetap perlakukanlah mereka sebagaimana layaknya manusia dewasa yang bermartabat, butuh untuk mengekspresikan diri, dan ingin dihargai.