Negara Kaya Vaksin ”Booster” Kedua, Indonesia Didorong Kejar Pemerataan
Negara maju mulai menyuntikkan vaksin Covid-19 penguat kedua atau dosis keempat. Sebagai Presidensi G20, Indonesia diminta memelopori keadilan cakupan vaksin, baik secara global maupun dalam negeri.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah negara maju mulai menyuntikkan vaksin Covid-19 penguat yang kedua atau dosis keempat. Sebagai Presidensi G20, Indonesia diminta memelopori keadilan distribusi vaksin, baik secara global maupun pemerataan cakupan di dalam negeri.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS menyetujui penggunaan suntikan penguat atau booster vaksin Covid-19 kedua atau suntikan keempat pada Rabu (30/3/2021). Ini ditandai dengan pemberian booster kedua kepada Presiden AS Joe Biden pada hari yang sama.
Dalam keterangan tertulis, CDC menyebutkan, booster kedua ini ditujukan untuk orang dewasa di atas usia 50 tahun dan individu tertentu yang mengalami gangguan sistem kekebalan, termasuk pasien transplantasi jantung. Suntikan penguat tambahan ini harus diberikan setidaknya empat bulan setelah booster awal.
Sebelumnya, Israel menjadi negara pertama yang telah menyuntikkan vaksin penguat kedua di awal tahun ini. Suntikan penguat kedua di Israel ditujukan untuk orang tua, individu yang berisiko, dan staf medis.
Penasihat Senior Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Bidang Jender dan Pemuda Diah Saminarsih, Kamis (31/3/2022), mengingatkan, saat ini ketimpangan vaksin masih terjadi secara global. ”Dari sudut pandang WHO, kami percaya untuk menyelesaikan pandemi harus adil dulu vaksinnya. Kalau capaian vaksin di setiap negara masih timpang, ini akan membuat varian baru keluar lagi dan pandemi sulit diakhiri,” ujarnya.
Diah juga mengingatkan, saat awal munculnya varian Omicron, cakupan vaksin di negara-negara Afrika masih di bawah 10 persen, sementara saat itu negara maju sudah mulai booster pertama. Ketika itu, Direktur Jenderal WHO telah mengirim surat terbuka kepada negara-negara G20 agar memprioritaskan keadilan vaksin.
”Terbukti ketidakadilan vaksin memicu munculnya varian baru Omicron di Afrika Selatan. Hingga saat ini cakupan vaksin di Afrika masih 20 persen, sementara negara maju sudah booster kedua. Sebagai Presidensi G20, Indonesia seharusnya bisa mengingatkan dan mendorong negara-negara maju untuk mengikuti seruan WHO soal keadilan vaksin,” ujarnya.
Diah menambahkan, dengan menyuarakan keadilan cakupan vaksin global, Indonesia juga bisa memberi contoh dengan mempraktikkan keadilan vaksin di dalam negeri. Hingga saat ini, cakupan vaksin pertama dan kedua masih belum merata.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, booster keempat jangan dulu menjadi program di Indonesia. ”Jika ini diterapkan di Indonesia, akan terpecah perhatiannya. Kapasitas vaksin dan vaksinator kita masih terbatas. Sebaiknya saat ini prioritaskan dulu vaksinasi lengkap pertama dan kedua, dan booster pertama yang sedang berjalan,” ujarnya.
Dicky mengatakan, cakupan booster pertama di Indonesia yang baru sekitar 10 persen masih kecil. ”Untuk perlindungan populasi, minimal booster pertama ini cakupannya 50 persen. Ini dulu segera ditingkatkan,” ujarnya.
Rujukan ilmiah
Dicky menyampaikan, saat ini, memang telah ada beberapa laporan ilmiah yang menunjukkan bahwa booster kedua memiliki fungsi protektif, khususnya untuk warga lanjut usia dan mereka yang memiliki komorbid.
CDC menyebutkan, suntikan penguat kedua diizinkan karena bukti yang muncul menunjukkan efektivitas suntikan penguat pertama terhadap Covid-19 dan variannya mulai berkurang tiga hingga enam bulan setelah suntikan.
Kapasitas vaksin dan vaksinator kita masih terbatas. Sebaiknya saat ini prioritaskan dulu vaksinasi lengkap pertama dan kedua, dan booster pertama yang sedang berjalan.
Sementara itu, penelitian di Israel menunjukkan suntikan keempat vaksin Pfizer–BioNTech secara signifikan mengurangi kematian pada populasi yang lebih tua di Israel selama gelombang Omicron. Penelitian yang ditulis Ronen Arbel dari Clalit Health Services, Israel ini diunggah di Nature Portfolio, edisi pracetak jurnal Nature dan belum mendapat review sejawat pada 24 Maret 2022.
Menurut Arbel dan tim, orang Israel yang mendapat suntikan vaksin keempat memiliki penurunan risiko kematian karena Covid-19 sebesar 78 persen. Ini dihitung dengan mempelajari tingkat kematian karena Covid-19 di antara orang Israel berusia 60 tahun atau lebih selama periode 40 hari gelombang Omicron. Dari lima kematian, hanya satu di antara mereka yang belum mendapatkan suntikan vaksin keempat.