Pencemaran plastik dan krisis iklim telah menjadi ancaman terbesar bagi kehidupan. Selain memiliki keterkaitan sumber, solusi untuk mengatasi kedua masalah ini juga saling berkaitan.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
Plastik telah mencemari hampir di semua penjuru Bumi, mulai dari perairan, udara, hingga tanah. Penelitian terbaru menunjukkan, plastik juga mencemari tubuh manusia.
Makalah yang ditulis para peneliti dari Vrije Universiteit Amsterdam di jurnal Environment International menunjukkan, partikel plastik skala mikroskopis telah ditemukan di 17 dari 22 sampel atau 77 persen darah peserta penelitian.
Dalam sampel ini, rata-rata ditemukan 1,6 mikrogram bahan plastik yang diukur untuk setiap mililiter darah, dengan konsentrasi tertinggi lebih dari 7 mikrogram. Setengah dari sampel mengandung PET, plastik yang biasa digunakan dalam botol minuman, sementara sepertiga mengandung polistirena, bahan yang digunakan untuk mengemas makanan dan produk lainnya. Seperempat sampel darah mengandung polietilen, yang biasanya dipakai untuk membuat kantong plastik.
Temuan ini melengkapi berbagai fakta yang kian mengkhawatirkan tentang plastik, material yang paling kerap digunakan–sekaligus dibuang–oleh manusia. Sebelumnya, para ilmuwan telah mendeteksi mikroplastik di dekat puncak Gunung Everest (Napper, dkk., 2020) di kedalaman 10.927 meter Palung Mariana (Vescovo, 2019), hingga di udara yang kita hirup (Akhbarizadeh, dkk., 2021). Sejumlah penelitian juga telah menemukan partikel plastik di dalam pencernaan ikan (Cordova, dkk., 2020) dan garam (Tahir, dkk., 2019) di Indonesia.
Studi yang ditulis Junjie Zhang dan tim di jurnal Environmental Science & Technology Letters pada 2021 menunjukkan, kotoran bayi usia 1 tahun memiliki tingkat mikroplastik yang lebih tinggi daripada kotoran orang dewasa.
Bahkan, studi ini menunjukkan, partikel plastik dapat ditemukan pada kotoran bayi yang baru lahir, yang menunjukkan bahwa paparan mereka telah terjadi bahkan sebelum kelahiran. Ini sejalan dengan penelitian AntonioRagusa dkk di jurnal Environment International (2021) yang untuk pertama kalinya membuktikan partikel plastik berada di dalam janin dan membran plasenta tempat janin berada.
Partikel plastik yang berukuruan 10 mikron (0,01 mm) atau kurang ini cukup kecil untuk dibawa dalam aliran darah. Konsekuensinya, cemaran plastik yang tak mudah terurai ini berpotensi menjelajah seluruh tubuh kita, dan bisa jadi bakal terendapkan di organ-organ penting. ”Ini seperti memiliki bayi cyborg: tidak lagi hanya terdiri atas sel manusia, tetapi juga campuran entitas biologis dan anorganik,” tulis Ragusa, Direktur Kebidanan dan Ginekologi di Rumah Sakit San Giovanni Calibita Fatebenefratelli, Roma.
Ini seperti memiliki bayi cyborg: tidak lagi hanya terdiri atas sel manusia, tetapi juga campuran entitas biologis dan anorganik.
Penelitian tentang efek kesehatan dari paparan plastik di dalam tubuh masih berlangsung, tetapi sumber bahaya utama kemungkinan berasal dari kelompok besar bahan kimia pengganggu endokrin, atau EDC, yang biasa ditemukan dalam plastik. Bahan kimia ini meniru hormon dalam tubuh kita yang membantu mengatur proses penting, seperti tidur dan kesuburan. Beberapa penelitian menunjukkan EDC dapat meningkatkan risiko infertilitas, gangguan metabolisme seperti diabetes, dan bahkan kanker tertentu (Varshavsky, 2018). Sementara pada pada janin, efeknya termasuk mengurangi pertumbuhan (Ragusa, 2021).
Bertaut dengan iklim
Berbagai data sains semakin meyakinkan bahwa pencemaran plastik telah menjadi ancaman terbesar bagi kehidupan, selain krisis iklim. Kedua malapetaka ini terutama bersumber dari bahan yang sama: eksploitasi berlebih bahan bakar fosil.
Pembakaran bahan bakar fosil-termasuk berbagai produk turunannya-merupakan sumber utama gas rumah kaca yang memicu pemanasan global. Sementara itu, plastik, produk sampingan dari industri bahan bakar fosil.
Namun, selain tautan asal-usul, kedua masalah ini secara fundamental juga terhubung. Penelitian Helen V.Ford dkk di Science of The Total Environment (2022) menunjukkan, plastik berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca dari awal hingga akhir siklus hidupnya, selain cemaran plastik yang mengganggu organisme laut untuk menyerap karbon. Di sisi lain, cuaca yang lebih ekstrem bakal memperburuk penyebaran plastik di lingkungan.
Berbagai upaya global telah dilakukan untuk mengatasi kedua krisis ini. Setiap tahun berlangsung Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Sementara itu, untuk mengatasi masalah plastik ini, yang terbaru, perwakilan 175 negara yang bertemu dalam Majelis Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEA-5.2) di Nairobi pada 2 Maret 2022 bersepakat mengakhiri polusi plastik dan merumuskan perjanjian yang mengikat pada 2024.
Faktanya, kini, baik emisi maupun produksi plastik terus tumbuh. Misalnya, pada 1988 ilmuwan NASA, Jim Hansen, mengatakan kepada Senat Amerika Serikat bahwa ’efek rumah kaca telah terdeteksi, dan sedang mengubah iklim kita’. Pada tahun itu, emisi karbon dari pembakaran fosil manusia adalah 20 gigaton. Pada tahun 2021 menjadi 36 gigaton.
Sementara itu, produksi plastik melonjak dari 2 juta ton pada 1950 menjadi 348 juta ton pada tahun 2017, dan diperkirakan berlipat ganda pada tahun 2040 (UNEP, 2022).
Padahal, penggunaan plastik terbesar adalah untuk kemasan sekali pakai dan hanya 16 persen yang didaur ulang (McKinsey, 2016). Maka, seiring dengan peningkatan produksinya, sampah plastik pun menggunung.
Tidak ada solusi tunggal. Seperti banyak krisis lingkungan dan kemanusiaan antargenerasi, ini membutuhkan perombakan sistem, inovasi, dan transformasi. Namun, tujuannya tunggal: mengurangi penggunaan plastik dan jejak karbon.