Pemanis buatan bisa mengurangi kandungan gula. Namun, ada risikonya. Penelitian terbaru menunjukkan, beberapa pemanis buatan dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ilustrasi minuman manis.
JAKARTA, KOMPAS — Pemanis buatan bisa mengurangi kandungan gula tambahan dan kalori yang sesuai dengan tetap mempertahankan rasa manis. Namun, penelitian terbaru menunjukkan beberapa jenis pemanis buatan dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker.
Riset yang diterbitkan di jurnal PLOS Medicine pada Kamis (24/3/2022) mengungkap dampak buruk dari pemanis buatan. Charlotte Debras dan Mathilde Touvier dari French National Institute for Health and Medical Research (Inserm) dan Sorbonne Paris Nord University menjadi penulis kajian ini.
Produk makanan dan minuman yang mengandung pemanis buatan telah dikonsumsi oleh jutaan orang setiap hari. Namun, keamanan zat aditif ini telah menjadi bahan perdebatan. Untuk mengevaluasi potensi karsinogenisitas pemanis buatan, para peneliti menganalisis data dari 102.865 orang dewasa Perancis yang berpartisipasi dalam studi NutriNet-Santé.
Studi NutriNet-Santé adalah kohort berbasis web yang sedang berlangsung dan dimulai pada tahun 2009 oleh Nutritional Epidemiology Research Team (EREN). Peserta mendaftar secara sukarela dan melaporkan sendiri riwayat medis, sosiodemografi, diet, gaya hidup, dan data kesehatan.
Pemanis buatan yang ditemukan di banyak merek makanan dan minuman di seluruh dunia dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker.
Para peneliti kemudian mengumpulkan data mengenai asupan pemanis buatan dari catatan diet 24 jam. Setelah mengumpulkan informasi diagnosis kanker selama masa tindak lanjut, para peneliti melakukan analisis statistik untuk menyelidiki hubungan antara asupan pemanis buatan dan risiko kanker.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Abrham Jip menenggak minuman kaleng bersoda saat bersama warga kampung As dan Atat, Distrik Pulau Tiga, Asmat, Papua, memangkur sagu di hutan adat mereka, Kamis (14/10/2021).
Mereka juga memperhitungkan berbagai variabel, termasuk usia, jenis kelamin, pendidikan, aktivitas fisik, aktivitas merokok, indeks massa tubuh, tinggi badan, penambahan berat badan selama masa tindak lanjut, diabetes, dan riwayat kanker keluarga. Diperhitungkan pula asupan energi, alkohol, natrium, asam lemak jenuh, serat, gula, makanan gandum utuh, dan produk susu.
Para peneliti menemukan bahwa responden yang mengonsumsi pemanis buatan dalam jumlah yang lebih besar, terutama aspartam dan acesulfame-K, memiliki risiko lebih tinggi terkena kanker secara keseluruhan dibandingkan dengan yang lain. Rasio bahaya sebesar 1,13 dengan interval kepercayaan 95 persen. Risiko yang lebih tinggi diamati untuk kanker payudara dan kanker terkait obesitas.
Dalam keterangan tertulis, Debras menyebutkan, ”Temuan kami tidak mendukung penggunaan pemanis buatan sebagai alternatif yang aman untuk gula dalam makanan atau minuman dan memberikan informasi penting dan baru untuk mengatasi kontroversi tentang potensi efek merugikan kesehatan mereka.”
SEKAR GANDHAWANGI
Ilustrasi produk minuman. Pedagang menjual minuman berpemanis di Jakarta, Senin (9/3/2020).
”Hasil dari kohort NutriNet-Santé (n=102.865) menunjukkan bahwa pemanis buatan yang ditemukan di banyak merek makanan dan minuman di seluruh dunia dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker, sejalan dengan beberapa studi eksperimental in vivo/in vitro. Temuan ini memberikan informasi baru untuk evaluasi ulang bahan tambahan makanan ini oleh lembaga kesehatan,” ujar Debra.
Hingga saat ini, Institut Kanker Nasional AS dan Penelitian Kanker Inggris masih menyatakan bahwa pemanis tidak menyebabkan kanker. Zat aditif ini telah diizinkan untuk digunakan oleh Otoritas Keamanan Makanan Eropa.
Para peneliti menyebutkan, keterbatasan dalam kajian ini, antara lain, asupan makanan dilaporkan sendiri oleh responden. Selain itu, bias seleksi mungkin juga menjadi faktor karena peserta lebih cenderung perempuan, memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan menunjukkan perilaku sadar kesehatan. Mereka merekomendasikan adanya penelitian tambahan untuk mengonfirmasi temuan dan mengklarifikasi mekanisme yang mendasarinya.