Data satelit resolusi tinggi mengungkap adanya peningkatan dua kali lipat kehilangan karbon hutan tropis bruto di seluruh dunia pada awal abad ke-21.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
Para peneliti dari Departemen Teknik Sipil di University of Hong Kong dan Southern University of Science and Technology menemukan besaran kehilangan karbon tropis telah berlipat ganda selama dua dekade terakhir karena penggundulan hutan yang berlebihan di daerah tropis. Mereka memotret fenomena itu dengan menggunakan beberapa set data satelit resolusi tinggi.
Wilayah tropis merupakan tempat ekosistem penting di dunia. Sejumlah ekosistem di daerah ini menyimpan sejumlah besar karbon di vegetasi berkayu ataupun tanahnya. Namun, sejumlah kebutuhan ruang dengan menggusur tutupan hutan secara ekstensif membuat karbon yang tersimpan ini terlepas ke atmosfer.
Para peneliti menganalisis kehilangan karbon hutan kotor yang terkait dengan penebangan hutan di daerah tropis atau pada wilayah di antara 23,5 derajat Lintang Utara dan 23,5 derajat Lintang Selatan, tetapi tidak termasuk Australia utara selama abad ke-21. Hasil analisis tersebut mengungkapkan peningkatan dua kali lipat kehilangan karbon hutan tropis bruto di seluruh dunia dari 0,97 gigaton karbon per tahun pada 2001-2005 menjadi 1,99 gigaton karbon per tahun pada 2015–2019 karena hilangnya hutan secara cepat.
Hasil kami menunjukkan kegagalan terhadap komitmen dan menyoroti tantangan kolosal yang ditimbulkan oleh Deklarasi Pemimpin Glasgow 2021 tentang Hutan dan Penggunaan Lahan,
Studi ini telah diterbitkan dalam jurnal Nature Sustainability dalam artikel berjudul ”Doubling of Annual Forest Carbon Loss Over the Tropics During the Early Twenty-First Century”pada 28 Februari 2022.
Mengingat peran kunci daerah tropis dalam siklus karbon, studi ini menimbulkan implikasi serius. ”Temuan ini penting karena menunjukkan bahwa strategi yang ada untuk mengurangi hilangnya hutan dipertanyakan; kegagalan ini menggarisbawahi pentingnya pemantauan tren deforestasi untuk mengikuti salah satu janji baru yang dibuat—yaitu menghentikan dan membalikkan deforestasi—oleh KTT Perubahan Iklim PBB-Konferensi Para Pihak Ke-26 (COP 26) di Glasgow pada November 2021,” kata Prof Ji Chen dari Departemen Teknik Sipil University of Hong Kong (HKU) dalam siaran pers, 22 Maret 2022.
Hutan tropis merupakan komponen terestrial terbesar dari siklus karbon global. Hitan tropis menyimpan sekitar 250 gigaton karbon biomassa di vegetasi kayunya dan menyerap sekitar 70 gigaton karbon atmosfer per tahun melalui fotosintesis.
Hilangnya hutan yang cepat dan terus-menerus bisa sangat merusak karena menyebabkan hilangnya karbon yang tersimpan dalam biomassa dan tanah. Deforestasi juga menghambat penyerapan karbon atau proses menangkap dan menahan karbon dioksida.
Percepatan kehilangan karbon hutan, termasuk biomassa dan karbon organik tanah, terutama didorong oleh ekspansi pertanian. Ini berbeda dari perkiraan emisi pada perubahan penggunaan lahan saat ini dalam penilaian anggaran karbon global yang menunjukkan kecenderungan atau tren penurunan.
”Selain karbon, konversi hutan menjadi lahan pertanian juga menyebabkan konsekuensi lingkungan lainnya, seperti kepunahan keanekaragaman hayati dan degradasi lahan,” kata Yu Feng, kandidat PhD dalam program bersama HKU dan Southern University of Science and Technology (SUSTech).
Sebagian besar hilangnya karbon hutan tropis (82 persen) dipicu oleh ekspansi pertanian, misalnya perladangan berpindah, khususnya di Afrika. ”Sementara beberapa lahan pertanian mungkin muncul kembali sebagai hutan karena ditinggalkan atau perubahan kebijakan. Kami masih mengamati sekitar 70 persen dari lahan hutan bekas yang dikonversi menjadi pertanian pada 2001–2019 tetap demikian pada 2020. Ini menegaskan pengurangan karbon dan peran dominan pertanian di banyak daerah tropis yang sebelumnya hutan pada jangka panjang,” kata anggota tim peneliti Dr Zhenzhong Zeng, Associate Professor di SUSTech.
”Deklarasi Hutan New York 2014 berjanji mengurangi separuh deforestasi tropis pada 2020. Namun, hasil kami menunjukkan kegagalan terhadap komitmen dan menyoroti tantangan kolosal yang ditimbulkan oleh Deklarasi Pemimpin Glasgow 2021 tentang Hutan dan Penggunaan Lahan, yang berjanji untuk menghentikan hutan kerugian pada tahun 2030,” kata Chunmiao Zheng, Ketua Profesor di SUSTech dan anggota tim peneliti.
Di Indonesia, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, deforestasi pada 2019-2020, tercatat sekitar 115.000 hektar, lebih rendah 75 persen dari periode sebelumnya tahun 2018-2019. Capaian ini diklaim sebagai keberhasilan Indonesia dalam menjaga tren deforestasi selama dua periode terakhir.
Indonesia mengusung konsep Folu Net-siink 2030. Ini merupakan pendekatan dan strategi, di mana pada 2030 tingkat serapan emisi sektor FoLU (forestry and other land uses) ditargetkan sudah berimbang atau lebih tinggi daripada tingkat emisinya (netsink). Sektor FoLU ditargetkan dapat menurunkan hampir 60 persen dari total target penurunan emisi nasional.
”Adapun strategi nasional FoLU Net Sink 2030 menggunakan 4 strategi utama, yaitu menghindari deforestasi, konservasi dan pengelolaan hutan lestari, perlindungan dan restorasi lahan gambut, serta sink enhancement dengan mempercepat aforestasi, reforestasi lahan kritis, dan revegetasi perkotaan,” kata Sekjen KLHK Bambang Hendroyono dalam siaran pers KLHK, Kamis.