Cemaran PM 2,5 di Indonesia Tertinggi Ke-17 di Dunia
Laporan Kualitas Udara Dunia 2021 menunjukkan, Indonesia menempati peringat ke-17 dari 117 negara dengan cemaran PM 2,5 tertinggi di dunia, sedangkan Jakarta menempati peringkat ke-12 ibu kota negara paling tercemar.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menempati peringat ke-17 dari 117 negara dengan cemaran PM 2,5 tertinggi di dunia, sedangkan Jakarta menempati peringkat ke-12 ibu kota negara paling tercemar. Laporan Kualitas Udara Dunia 2021 ini juga menemukan bahwa hanya 3 persen kota dan tidak ada satu negara pun yang memenuhi pedoman kualitas udara tahunan PM 2,5 Organisasi Kesehatan Dunia terbaru.
Laporan tahunan ini dirilis IQAir, perusahaan teknologi berbasis di Swiss, yang secara rutin mengukur kualitas udara global, Selasa (22/3/2022). Laporan kali ini menganalisis hasil pengukuran polusi udara PM 2,5 dari stasiun pemantauan udara di 6.475 kota di 117 negara dan wilayah.
Dari semua stasiun pemantauan kualitas udara dalam laporan ini, 44 persen dioperasikan oleh lembaga pemerintah, sedangkan sisanya merupakan stasiun pemantauan yang dikelola oleh ilmuwan, organisasi nirlaba, dan perusahaan. Laporan tahunan ini sudah sesuai dengan pedoman kualitas udara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang diperbarui, terutama soal PM 2,5. Pedoman baru WHO ini dirilis September 2021 dan menurunkan ambang pedoman PM 2,5 tahunan dari 10 mikrogram per meter kubik menjadi 5 mikrogram per meter kubik.
”Ini adalah fakta yang mengejutkan bahwa tidak ada kota atau negara besar yang menyediakan udara yang aman dan sehat bagi warganya sesuai dengan pedoman kualitas udara terbaru dari WHO,” kata Frank Hammes, CEO IQAir.
Polusi partikel halus atau PM 2,5 merupakan polutan udara paling berbahaya dan menjadi faktor utama yang berkontribusi terhadap berbagai efek kesehatan, seperti asma, stroke, serta penyakit jantung dan paru-paru. Laporan WHO pada 2021, polusi udara menjadi salah satu ancaman lingkungan terbesar bagi kesehatan manusia yang menyebabkan 7 juta kematian dini per tahun.
Pencemaran udara PM 2,5 dihasilkan, di antaranya, melalui pembakaran bahan bakar, termasuk batubara, minyak dan gas, hingga kebakaran hutan dan lahan.
Terburuk di Asia Tenggara
Dalam laporan ini, negara-negara di Asia termasuk yang paling buruk kualitas udaranya. Bangladesh memiliki konsentrasi PM 2,5 tertinggi dengan 76,9 mikrogram per meter kubik, disusul Chad di Afrika dengan konsentrasi 75,9 mikrogram per meter kubik. Sedangkan Pakistan di urutan ketiga dengan 66,8 mikrogram per meter kubik.
Sedangkan untuk level kota, New Delhi, ibu kota India, memiliki kualitas udara terburuk dengan konsentrasi 85 mikrogram per meter kubik. Dhaka, ibukota Bangladesh, berada di urutan kedua dengan konsentrasi 78,1 mikrogram per meter kubik dan N’Djamena, ibu kota Chad, di urutan ketiga dengan konsentrasi 77,6 mikrogram per meter kubik.
Untuk Asia Tenggara, Indonesia yang berada di urutan ke-17 dari 117 negara dengan konsentrasi PM 2,5 tertinggi dengan konsentrasi 34,3 mikrogram per meter kubik. Sedangkan Jakarta, yang berada di urutan ke-12 dari 107 kota yang dianalisis memiliki konsentrasi PM 2,5 39,2 mikrogram per meter kubik.
Pengendalian pencemaran udara di Jakarta dari kendaraan bermotor pribadi masih serupa dengan tahun-tahun sebelumnya, yakni via pembatasan ganjil genap.
Pencemaran udara di Jakarta ini lebih buruk daripada Hanoi, Vietnam, di urutan ke-15 yang memiliki konsentrasi PM 2,5 sebesar 36,2 mikrogram per meter kubik dan Beijing, China, di urutan ke-16 sebesar 34,4 mikrogram per meter kubik. Sedangkan Singapura berada di urutan ke-66 dengan konsentrasi 13,8 mikrogram per meter kubik dan Bangkok, Thailand, di urutan ke-40 dengan konsentrasi 20 mikrogram per meter kubik.
Perbaikan di Jakarta
Menyikapi laporan ini, Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), mengatakan, buruknya kualitas udara di Indonesia, khususnya Jakarta, disebabkan implementasi pengetatan aturan untuk sumber pencemar udara belum dilakukan.
”Pengendalian pencemaran udara di Jakarta dari kendaraan bermotor pribadi masih serupa dengan tahun-tahun sebelumnya, yakni via pembatasan ganjil genap. Sedangkan sumber pencemar udara di Banten dan Jawa Barat, yang bisa berpengaruh di Jakarta, seperti kawasan industri dan PLTU, masih menggunakan aturan batas emisi yang sama dengan sebelum pandemi di tahun 2020,” katanya.
Menurut Fajri, untuk Jakarta, sebenarnya sudah ada langkah maju dengan penyusunan Grand Design Kualitas Udara Jakarta 2030, yang pembahasannya mulai dilakukan pada akhir 2021. Upaya ini dilakukan setelah Koalisi Ibu Kota memenangi gugatan warga negara terkait pencemaran udara di Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada September 2021.
”Saya melihat ini (Grand Design Kualitas Udara Jakarta 2030) sebagai upaya Pemprov DKI Jakarta menaati perintah pengadilan. Namun, pemerintah pusat yang masih jadi penghambat karena mereka masih banding atas kemenangan warga,” katanya.
Selain Gubernur DKI Jakarta, dalam gugatan warga negara ini ada enam pejabat lain yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan, yaitu Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Banten, serta Gubernur Jawa Barat. Majelis hakim menghukum para tergugat agar melakukan sejumlah langkah untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta.
Sesuai putusan pengadilan, Presiden diminta menetapkan baku mutu udara ambien nasional yang cukup untuk melindungi kesehatan manusia, lingkungan, dan ekosistem, termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dihukum agar menyupervisi Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat dalam menginventarisasi emisi lintas batas ketiga provinsi.