Indonesia Melewati Puncak Omicron, Menuju Transisi
Indonesia dinilai sudah melewati puncak gelombang Omicron, sekalipun masih harus waspada karena jumlah kasus dan kematian masih tinggi. Pelonggaran mobilitas harus diikuti dengan penerapan protokol kesehatan.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia dinilai sudah melewati puncak gelombang Omicron, sekalipun masih harus waspada karena jumlah kasus dan kematian masih tinggi. Pelonggaran mobilitas untuk pemulihan ekonomi tetap harus diikuti dengan penerapan protokol kesehatan.
”Setelah melewati puncak Omicron pada 20 Februari lalu, saat ini kasus positif Covid-19 menunjukkan penurunan. Sebagaimana karakteristik gelombang Omicon di sebagian besar negara lain, kasusnya cepat naik, namun juga turun dalam waktu relatif singkat. Hal ini juga dialami Indonesia,” kata Juru Bicara Satuan Tugas Covid-19 Wiku Adisasmito, dalam keterangan pers secara daring, Selasa (8/3/2022).
Menurut Wiku, dalam kurun waktu satu bulan, kasus Covid-19 mingguan di Indonesia meningkat hingga hampir 400.000 kasus. Namun, hanya dalam dua minggu, kasus bisa turun setengahnya. ”Sekalipun demikian, jumlah kasus saat ini masih relatif tinggi, dibandingkan sebelumnya yang pernah mencapai 1.000 kasus per minggu,” kata Wiku.
Setelah melewati puncak Omicron pada 20 Februari lalu, saat ini kasus positif Covid-19 menunjukkan penurunan.
Penurunan kasus juga diikuti dengan turunnya angka okupansi (tingkat keterisian) tempat tidur di rumah sakit rujukan Covid-19 nasional selama 10 hari terakhir. ”Dari sebelumnya 38,79 persen menjadi 28,2 persen,” ujarnya.
Laporan Kementerian Kesehatan menunjukkan, kasus Covid-19 di Indonesia bertambah 30.148 dalam sehari, tetapi kasus aktif turun 25.381 sehingga tinggal 422.892 kasus. Sementara korban jiwa bertambah 401 orang, merupakan rekor tertinggi selama terjadinya gelombang Omicron.
Wiku mengatakan, sekalipun kasus turun, tren kematian mingguan masih naik. Pada periode 21-27 Februari 2020, ada 1.708 kematian karena Covid-19 dan angkanya meningkat menjadi 2.099 kematian. ”Ada 300-an kematian meningkat dibandingkan minggu sebelumnya,” katanya.
Untuk mengurangi risiko kematian, menurut Wiku, perlu penanganan cepat. Mereka yang terkonfirmasi positif, sekalipun bergejala ringan, perlu segera diperiksa untuk mencegah pemburukan dan kematian.
Fase transisi
Menurut Wiku, kondisi pandemi saat ini dan ke depan akan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah terkait vaksinasi maupun penerapan protokol kesehatan, riwayat infeksi alami di masyarakat, dan perkembangan virus. ”Di tengah ketidakpastian ini, Indonesia harus melanjutkan pemulihan sektor lain seperti pendidikan dan ekonomi,” ujarnya.
Oleh karena itu, pemerintah mulai menjalankan fase transisi dan adaptasi baru dengan melonggarkan kegiatan dan mobilitas, baik bagi pelaku perjalanan luar negeri maupun dalam negeri.
Bagi pelaku perjalanan luar negeri yang sudah divaksinasi dosis kedua atau ketiga cukup karantina satu hari. Aturan itu tertera dalam Surat Edaran Nomor 12 Tahun 2022 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Luar Negeri Pada Masa Pandemi Covid-19.
Sekalipun demikian, pelaku perjalanan luar negeri ini wajib menunjukkan hasil negatif Covid-19 berdasarkan tes reaksi rantai polimerase (PCR) dalam kurun 2 x 24 jam dari negara asal. Pada saat kedatangan, dilakukan tes ulang PCR bagi PPLN, sebelum menjalani karantina dan dites lagi pada hari ketiga.
Sementara pelaku perjalanan dalam negeri, tambah Wiku, tidak perlu hasil negatif untuk bepergian bagi yang sudah vaksin dosis kedua atau ketiga. Namun, bagi yang baru vaksinasi dosis pertama atau yang tidak bisa divaksinasi karena alasan kesehatan, wajib melampirkan hasil pemeriksaan negatif sebelum keberangkatan. Untuk yang belum bisa divaksinasi wajib menyerahkan surat keterangan dokter.
Menurut Wiku, sekalipun ada pelonggaran mobilitas, pencegahan di komunitas harus diperkuat. ”Perlu komitmen daerah dan individu untuk berkontribusi mengendalikan kasus, dengan cara menerapkan prokes dan vaksinasi, maupun booster,” katanya.
Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Tjandra Yoga Aditama juga mengingatkan, sekalipun tren kasus menurun, rumah sakit dan sistem kesehatan harus selalu siap untuk antisipasi jika ada peningkatan kasus. Selain itu, vaksinasi primer perlu terus ditingkatkan sampai 70 persen dari total penduduk, bukan hanya 70 persen dari sasaran yang ditetapkan
Selain itu, menurut Tjandra, pemberian vaksin penguat harus ditingkatkan maksimal. Cakupan vaksinasi dosis penguat atau ketiga saat ini yang masih 5-6 persen dinilai terlalu rendah.
Tjandra juga menyoroti angka kematian nasional yang masih tinggi. Untuk itu, surveilans kasus probable dan terkonfirmasi serta yang bergejala harus terus dilakukan sehingga kalau ada peningkatan kasus, terdeteksi sejak awal. ”Survei genomik juga perlu ditingkatkan untuk deteksi dini kalau ada varian baru, dapat juga dengan surveilans limbah,” ungkapnya.