Bulan, Kuburan Teknologi dan Sampel DNA Manusia
Bulan tak hanya dataran gersang yang dipenuhi kawah. Sejumlah artefak teknologi peninggalan manusia kini menghuni Bulan. Ke depan, Bulan juga akan jadi kuburan bagi abu kremasi dan sampel genetika manusia.
Sejak manusia mulai mengeksplorasi Bulan, satelit alam Bumi itu tak lagi hanya berupa dataran gersang dan berkawah akibat tumbukan dengan asteroid atau komet. Kini, Bulan juga menjadi kuburan bagi sejumlah teknologi buatan manusia. Bahkan jika tidak terkendala, Bulan juga akan menjadi kuburan bagi abu kremasi dan sampel asam deoksiribonukelat (DNA) sejumlah manusia Bumi.
Sebuah roket bekas seberat 4 metrik ton menumpuk permukaan Bulan pada Jumat (4/3/2022) pukul 19.25 WIB. Roket bekas ini menumpuk Bulan di sisi jauh atau bagian belakang Bulan yang tidak terlihat dari Bumi. Karena itu, tidak ada teleskop landas Bumi yang bisa mengabadikan jatuhnya roket tersebut.
Scientific American, 1 Maret 2022, menyebut roket itu akan menghunjam Bulan dengan kecepatan 9.300 kilometer (km) per jam atau setara 2,6 km per detik. Roket akan jatuh di dekat Kawah Hertzsprung yang berdiameter 570 km. Tumbukan roket dengan permukaan Bulan itu akan menciptakan kawah dengan diameter tidak terlalu besar.
Karena tidak bisa diamati dengan teleskop dari Bumi, andalan satu-satunya adalah meminta bantuan dari wahana pengorbit yang sedang bertugas di Bulan. Namun pada saat tumbukan, tidak ada wahana pengorbit yang sedang melintas di dekat lokasi jatuhnya roket.
Meski demikian, wahana Lunar Reconnaissance Orbiter (LRO) milik Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional (NASA) Amerika Serikat sudah berjanji untuk mencari kawah yang dihasilkan dari tumbukan sampah antariksa tersebut. Namun seperti dikutip dari Space, 4 Maret 2022, pencarian lokasi jatuhnya roket itu bisa memakan waktu beberapa minggu hingga berbulan-bulan.
Potensi roket bekas itu akan menumbuk Bulan sudah terdeteksi sejak awal Januari 2022. Saat itu, seperti ditulis Kompas.id, 27 Januari 2022, Bill Gray, pengembang perangkat lunak pelacak obyek dekat Bumi yang juga dibenarkan oleh astrofisikawan Universitas Harvard, AS, Jonathan McDowell menyebut roket itu adalah Falcon 9 milik SpaceX.
Roket Falcon 9 itu meluncur dari Bandar Antariksa Tanjung Canaveral, Florida, AS, pada 11 Februari 2015 untuk mengirimkan satelit Observatorium Iklim Antariksa (DSCOVR) ke orbit yang berjarak 1,5 juta km dari Bumi. Setelah melaksanakan tugasnya, roket tingkat kedua Falcon 9 kehabisan bahan bakar dan jatuh di antara Bumi dan Bulan dengan orbit yang sulit diduga.
Meski demikian, studi lebih lanjut yang dilakukan Gray, MCDowell, dan pengamatan independen lainnya mengoreksi temuan awal itu. Roket yang jatuh itu bukan Falcon 9, melainkan Long March 3C milik China. Roket ini digunakan dalam misi Chang’e 5-T1 dan meluncur pada 2014 dengan tujuan untuk membawa pulang sampel tanah Bulan ke Bumi pada Desember 2020.
Otoritas China pun menyangkal temuan itu. Semula, pernyataan ini didukung oleh Angkatan Luar Angkasa, angkatan keenam militer AS yang menyebut bekas roket Long March 3C itu sudah masuk kembali ke atmosfer Bumi pada 2015.
Namun, salah satu pejabat Angkatan Luar Angkasa kemudian menyebut bahwa roket itu tidak benar-benar masuk kembali ke Bumi. Data sebelumnya yang menyebut Long March 3C masuk kembali ke atmosfer Bumi itu hanya berupa data ekstrapolasi, bukan penjejakan secara nyata seperti yang dilakukan Gray.
Kepemilikan resmi roket bekas itu baru akan diketahui setelah ada foto atau video LRO yang berhasil menangkap citra roket yang jatuh. Kepentingan foto atau video itu bukan hanya untuk mencari pemilik asli roket bekas tersebut, tetapi juga mempelajari kawah baru yang terbentuk guna mengetahui komposisi dan struktur tanah di sisi jauh Bulan.
Baca juga: Jepang Kembangkan Satelit dari Kayu untuk Kurangi Sampah Antariksa
Bukan pertama
Jatuhnya roket bekas di permukaan Bulan pada pekan lalu itu diyakini banyak ilmuwan tidak akan berpengaruh besar, baik pada Bulan, apalagi bagi kehidupan Bumi. Namun, jatuhnya roket bekas ini akan memunculkan kawah baru dan menambah daftar artefak buatan manusia atau situs arkeologi bekas aktivitas manusia di Bulan yang kini jumlahnya mencapai lebih dari 100 situs.
Peneliti arkeologi dan studi antariksa di Universitas Flinders, Adelaide, Australia, Alice Gorman dalam tulisannya di The Conversation, 28 Januari 2022, menyebut teknologi manusia yang pertama melakukan kontak dengan Bulan adalah Luna 2 milik Uni Soviet pada 13 September 1959.
Luna 2 adalah prestasi besar manusia karena dikirimkan hanya selang dua tahun setelah satelit pertama meluncur ke luar angkasa, yaitu Sputnik 1. Misi Luna 2 itu terdiri atas roket, wahana dan tiga buah peledak.
Saat menumbuk Bulan, salah satu peledak akan melepaskan gas natrium dan membentuk awan gas yang terlihat dari Bumi. Gas ini akan menjadi bukti bahwa Soviet benar-benar sudah mendarat di Bulan, bukan hoaks. Sementara dua peledak lain akan mengeluarkan 144 panel segi lima yang akan membentuk tanggal serta lambang Uni Soviet di permukaan Bulan.
Namun, dikutip dari situs NASA pada 12 September 2019 dalam rangka peringatan 60 tahun Luna 2, roket ini akhirnya gagal mendarat dengan mulus di permukaan Bulan. Roket menabrak Bulan di antara Mare Imbrium dan Mare Serenitatis. Mare yang artinya laut adalah daerah di Bulan yang datar dan rendah serta terlihat lebih gelap jika dilihat dari Bumi.
Kecelakaan lain yang meninggalkan jejak di Bulan adalah jatuhnya wahana pendarat milik Israel, Beresheet pada 2019. Kesalahan program membuat wahana ini jatuh dan menumbuk Bulan. Namun, jatuhnya wahana ini menimbulkan kontroversi karena membawa tardigrada kering, hewan dengan panjang sekitar 1 milimeter, yang dapat hidup kembali jika bertemu air.
Sejumlah artefak lain dihasilkan dari wahana pengorbit Bulan yang jatuh ke permukaan Bulan saat masa operasinya habis, seperti satelit relai Okina milik Jepang pada 2009.
Namun, sejumlah wahana sengaja ditabrakkan ke Bulan ketika waktu tugasnya selesai. Satelit pengorbit kembar Ebb dan Flow milik NASA yang digunakan dalam misi pemetaan medan gravitasi Bulan untuk menentukan struktur dalam Bulan sengaja ditabrakkan ke permukaan kutub selatan Bulan pada 17 Desember 2012 untuk menghindari risiko merusak situs pendaratan Apollo.
Tabrakan sejumlah wahana dengan Bulan yang disengaja itu sering kali digunakan untuk mengumpulkan data seismik Bulan maupun energi tumbukan yang dihasilkan. Pola ini pernah dilakukan saat roket tingkat ketiga Saturnus milik NASA yang berhasil membawa manusia ke Bulan dan modul yang membawa antariksawan dari tanah Bulan ke wahana yang akan balik ke Bumi, dijatuhkan ke Bulan.
Meski demikian, sebagian besar situs teknologi manusia di Bulan itu berada di sisi dekat atau bagian depan Bulan yang menghadap Bumi. Kuncian gaya gravitasi Bumi membuat manusia di Bumi hanya bisa melihat satu sisi Bulan seperti yang kita lihat selama ini.
Hingga kini, hanya ada dua artefak manusia yang jatuh di sisi jauh atau bagian belakang Bulan yang masing-masing memiliki nasib berbeda. Salah satu wahana itu adalah Ranger 4 milik NASA yang jatuh ke Bulan pada 26 April 1962 setelah mengalami kegagalan komputer.
Sementara wahana lain yang menjadi artefak di sisi belakang Bulan adalah wahana pendarat Chang’e 4 dan wahana penjejak Yutu 2 milik China. Chang’e 4 berhasil mendarat mulus di permukaan Bulan pada 3 Januari 2019 dan mengentarkan Yutu 2 mengeksplorasi daratan Bulan. Hingga kini, baik Chang’e 4 maupun Yutu 2 masih beroperasi meski masing-masing secara berurutan diprediksi hanya mampu bekerja selama 1 tahun dan 3 bulan.
Baca juga: Mewaspadai Jatuhan Sampah Antariksa
Sampel DNA
Ke depan, tak hanya teknologi manusia yang terkubur atau ditinggalkan di permukaan Bulan. Penguburan sampel abu kremasi dan bagian asam deoksiribonukleat (DNA) yang dimasukkan dalam kapsul mungil akan menjadi bagian baru dari artefak peninggalan manusia di Bulan.
Selain sebagai penghormatan, penguburan ini dianggap lebih memudahkan bagi keluarga atau orang yang ditinggalkan untuk mengingat orang yang mereka cintai. Saat rindu orang yang sudah meninggal, mereka cukup menatap Bulan di langit malam dari lokasi manapun mereka berada.
Penguburan di Bulan itu sudah dilakukan sejak 1999 terhadap bagian abu kremasi dan sampel DNA Eugene Merle Shoemaker, astrogeolog yang juga salah satu penemu komet Shoemaker Levy 9 yang menabrak Jupiter pada 1994. Dia meninggal dalam kecelakaan lalu lintas di Australia pada 1997.
Ahli geologi keplanetan itu bercita-cita bisa ke Bulan. Atas dorongan rekannya, NASA akhirnya mau membawa kapsul yang berisi abu kremasi Eugene yang ditumpangkan pada wahana Lunar Prospector dan diluncurkan pada 6 Januari 1998. Setelah wahana bekerja 19 bulan, Lunar Prospector akhirnya dijatuhkan di sebuah kawah dekat kutub selatan Bulan pada 31 Juli 1999 yang sekaligus mengubur abu kremasi Eugene disana.
Penguburan di Bulan itu sudah dilakukan sejak 1999 terhadap bagian abu kremasi dan sampel DNA Eugene Merle Shoemaker, astrogeolog yang juga salah satu penemu komet Shoemaker Levy 9 yang menabrak Jupiter pada 1994.
Kini, ada sejumlah perusahaan yang menawarkan jasa penguburan di Bulan, seperti Celestis Inc yang meluncurkan abu kremasi Eugene dalam misi Luna 01 dan Elysium Space. Kedua perusahaan ini menawarkan misi penguburan abu kremasi dan sampel DNA dalam kapsul kecil di Bulan yang akan ditumpangkan dalam misi Peregrine milik NASA.
Misi Peregrine ini menjadi misi inisiatif layanan pengiriman muatan komersial ke Bulan. Dalam misi ini, NASA mempercayakan peluncuran dan pembuatan wahana pendaratnya di Bulan, Peregrine Mission 1, pada perusahaan Astrobotic di Pittsburgh, AS. Celestis Inc dan Elysium Space akan menumpangkan kapsul mereka pada wahana pendarat tersebut.
Celestis, seperti dikutip dari Space, 17 November 2020, akan menempatkan enam kontainer yang masing-masing berisi 10-13 kapsul. Tarif yang dikenakan per kapsulnya mulai dari 12.500 dollar AS atau sekitar Rp 175 juta. Sementara jumlah kontainer yang akan ditempatkan Elysium belum diketahui, tetapi harga yang ditawarkan untuk penguburan 9.950 dollar AS atau Rp 140 juta untuk 50 orang pertama dan 11.950 dollar AS atau Rp 167 juta untuk urutan berikutnya.
Sejumlah tokoh yang akan dimakamkan sampel abu kremasi atau DNA-nya itu antara lain penulis fiksi ilmiah legendaris Arthur C Clarke yang meninggal pada 2008 dan ahli geologi yang menentukan lokasi pendaratan manusia di Bulan Mareta West dan meninggal pada 1998.
Namun, tak melulu tokoh publik yang akan dikirim sampel DNA-nya ke Bulan. Banyak masyarakat biasa juga memintai jasa penguburan tersebut, seperti beberapa anak dan remaja, guru matematika asal Inggris, pekerja eksekutif maskapai penerbangan, guru kimia AS, karyawan perusahaan baja, hingga insinyur luar angkasa. Dalam misi Peregrine itu, kapsul mereka direncanakan di tempatkan di Lacus Mortis di timur laut Bulan.
Semula, misi Peregrine bersama kapsul-kapsul berisi abu kremasi atau sampel DNA itu akan diluncurkan menggunakan roket Vulcan Centaur milik United Launch Alliance pada Juli 2021. Namun karena ada kendala, peluncurannya ditargetkan dilakukan pada tahun 2022 meski belum diketahui pasti waktunya.
Baca juga: China Mulai Bangun Stasiun Luar Angkasa Baru
Bagaimanapun, Bulan saat ini tidak sekosong sebelum tahun 1959. Sejumlah benda mati buatan manusia kini menghuni Bulan. Di masa depan, Bulan diprediksi semakin ramai setelah misi Artemis NASA untuk mendaratkan kembali manusia di Bulan terwujud sesudah tahun 2025 dan saat Bulan dijadikan lokasi transit perjalanan manusia ke Mars tahun 2030-an.