Akibat Polusi Suara, Penyu Bisa Kehilangan Kemampuan Pendengaran
Hasil riset terbaru menambah deretan jenis fauna laut yang bisa terdampak polusi suara akibat kebisingan. Penyu ternyata sangat terganggu dengan polusi yang dihasilkan dari aktivitas manusia.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Seekor penyu sedang mencari makan di ekosistem terumbu karang di Dermaga Kampung Arborek, Raja Ampat, Papua Barat, Jumat (28/5/2021). Riset terbaru menunjukkan fauna dilindungi ini bisa terganggu oleh polusi suara atau kebisingan bawah laut di kolom air.
Riset terbaru menunjukkan bahwa penyu dapat mengalami kehilangan pendengaran untuk sementara akibat polusi suara atau kebisingan di kolom air. Fenomena ini sebelumnya sudah ditemukan pada hewan laut lain, seperti lumba-lumba dan ikan, dan tidak dipahami dampaknya pada reptil, termasuk penyu. Suara dengan volume tinggi ini merupakan polusi kebisingan di laut yang bisa disebabkan di antaranya oleh suara kapal yang melintas dan konstruksi lepas pantai.
Temuan awal tersebut dipaparkan dalam riset yang dipimpin Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI) di Massachusetts, Amerika Serikat. Peneliti memaparkan hal ini saat Pertemuan Ilmu-ilmu Kelautan (Ocean Sciences Meeting/OSM) 2022 yang berlangsung pada 24 Februari-4 Maret.
”Studi kami adalah yang pertama mendukung bahwa hewan-hewan ini rentan kehilangan pendengaran saat terpapar suara yang intens,” kata Andria Salas, peneliti posdoktoral WHOI sekaligus salah satu penulis studi ini dalam siaran pers WHOI, 2 Maret 2022.
Penyu diprediksi mengandalkan indera pendengaran bawah air untuk mengenali kondisi lingkungan, seperti navigasi atau deteksi kemungkinan pemangsa, dan beberapa spesies telah terbukti menggunakan komunikasi akustik bawah air. Studi sebelumnya fokus pada efek kebisingan yang berlebihan pada berbagai hewan, dari cumi-cumi, ikan, hingga paus, serta di lingkungan air tawar dan air asin. Namun, riset pada pada reptil, seperti penyu, masih sedikit.
Penyu tetap cukup tenang (atau tidak menunjukkan respons perilaku) meskipun suaranya cukup keras untuk menyebabkan gangguan pendengaran sementara.
Hasil penelitian ini memberikan bukti pertama gangguan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan di bawah air pada spesies penyu. Hasilnya menunjukkan bahwa penyu mungkin lebih sensitif terhadap suara daripada yang dipahami sebelumnya.
Salas dan kolaboratornya, termasuk ilmuwan asosiasi WHOI, Aran Mooney, terkejut dengan bagaimana pendengaran penyu dipengaruhi oleh tingkat kebisingan yang relatif rendah. Paparan kebisingan menginduksi pergeseran ambang sementara (TTS), yang merupakan penurunan sensitivitas pendengaran hewan akibat kebisingan. Tidak adanya studi TTS pada spesies penyu telah menyebabkan kesenjangan data untuk penyu yang terancam punah dan jenis-jenis penyu maupun kura-kura lain pada umumnya.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Seekor penyu terlihat di dasar laut di dekat Pulau Arborek, Distrik Meosmansar, Raja Ampat, Papua Barat, Sabtu (29/5/2021)
”Jika ini terjadi di alam, penyu akan kurang mampu mendeteksi suara di lingkungan mereka pada rentang waktu ini, termasuk suara yang digunakan untuk komunikasi atau memperingatkan mereka dari pemangsa,” kata Salas.
”Lebih dari setengah spesies penyu dan kura-kura terancam dan polusi suara merupakan pemicu stres tambahan yang perlu dipertimbangkan saat kami berupaya melindungi hewan-hewan ini,” kata Salas.
Mooney terkejut dengan hasil riset ini yang menemukan bahwa kebisingan dapat menyebabkan gangguan pendengaran di bawah air pada penyu. Ia pun terkejut dengan temuan bahwa gangguan pendengaran ini berada pada tingkat yang jauh lebih rendah daripada yang diperkirakan.
”Begitu banyak kejutan di sekitar. Juga, penyu tetap cukup tenang (atau tidak menunjukkan respons perilaku) meskipun suaranya cukup keras untuk menyebabkan gangguan pendengaran sementara,” kata Mooney.
Ia mengatakan, gangguan pendengaran sementara ini sebenarnya merupakan fenomena fisiologis normal pada hewan. Temuan ini menunjukkan bahwa reptil beserta ikan, mamalia, dan burung bisa terdampak polusi udara.
”Tapi yang penting dalam kasus ini yaitu bisa menjadi prediktor dampak kebisingan yang lebih besar dan lebih merusak seperti gangguan pendengaran permanen atau kerusakan pendengaran,” kata Mooney.
Dalam penelitian, tim melakukan eksperimen pada dua spesies penyu air tawar yang tidak terancam punah. Mereka menggunakan perangkat invasif minimal, dimasukkan tepat di bawah kulit di atas telinga penyu untuk mendeteksi voltase neurologis sangat kecil yang diciptakan oleh sistem pendengaran penyu ketika mereka mendengar suara.
Metode ini mengukur pendengar an dengan cepat, hanya dalam beberapa menit, dan mirip dengan cara pendengaran pada bayi manusia diukur secara non-invasif. Sebelum memapar penyu dengan white noise yang keras (mirip dengan suara radio statis), mereka terlebih dahulu menentukan ambang bawah pendengaran bawah air penyu dan nada (frekuensi) mana yang paling mereka dengar.
Setelah memapar penyu pada kebisingan dan kemudian menghilangkannya dari kebisingan, para peneliti terus mengukur pendengaran penyu selama sekitar satu jam untuk melihat bagaimana mereka memulihkan pendengaran jangka pendek mereka di bawah air. Pemeriksaan juga dilakukan dua hari kemudian untuk melihat apakah pemulihan telah selesai.
Sementara penyu selalu memulihkan pendengarannya, gangguan pendengaran bisa berlangsung selama sekitar 20 menit hingga lebih dari satu jam. Namun, terkadang pendengaran belum pulih pada akhir jam pengujian. Hal ini menunjukkan bahwa mereka membutuhkan lebih banyak waktu untuk pulih sepenuhnya dari paparan kebisingan. Satu penyu dapat mengalami penurunan pendengaran selama beberapa hari.