Glorifikasi Tubuh demi Eksistensi Diri
Semua orang, perempuan dan laki-laki, berhak terlihat rupawan. Namun upaya menjadi cantik dan tampan itu seharusnya diimbangi dengan peningkatan kemampuan berpikir, pengembangan potensi diri, dan spiritualitas yang baik.
Semua orang berhak menjadi rupawan. Demi terlihat cantik dan tampan, banyak orang rela melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan, bahkan membahayakan jiwanya. Namun, fokus pada investasi fisik itu seharusnya tak membuat orang lupa untuk juga memperkaya jiwa dan pikirannya.
Manusia adalah makhluk yang mencintai keindahan, suka dengan segala sesuatu yang indah, menarik, dan sempurna. Pemandangan, makanan, karya seni, aneka peranti, tubuh, atau apa pun yang mengandung keelokan. Kesukaan pada segala yang cantik itu adalah bawaan genetik yang membuat orang yang melihatnya merasa nyaman, senang, serta tidak terancam.
”Sebanyak 60 persen otak manusia lebih sensitif pada area yang mengendalikan visual, yaitu lobus oksipitalis,” kata psikolog yang banyak menangani persoalan terkait kecantikan dan Kepala Bidang Kajian Psikologi Sosial, Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha, Bandung Efnie Indrianie, Kamis (3/3/2022).
Kondisi biologis itu membentuk budaya masyarakat yang menyukai dan menghargai keindahan. Mereka yang cantik atau tampan, wajah bersinar, kulit cerah, berpakaian bagus, atau wangi akan lebih mudah diterima dan dihargai dalam pergaulan sosial. Mereka juga lebih mudah dimaafkan secara sosial jika bersalah dan tidak terlalu dicurigai saat masuk tempat atau kelompok baru.
Baca juga: Semua Perempuan Berhak Cantik
Pandangan masyarakat tentang kecantikan itu membuat banyak orang berlomba untuk terlihat cantik agar keberadaan atau eksistensi mereka dilihat dan dihargai. Sebagian orang menunjukkan karya sebagai bukti eksistensi diri. Namun, bagi orang yang bakat dasarnya tak terasah, penampilan fisik umumnya dipilih agar bisa diperhatikan dan diterima orang lain.
Untuk mewujudkan eksistensi yang menjadi kebutuhan dasar manusia itu, sebagian orang rela menghabiskan waktu berjam-jam di salon kecantikan atau pusat kebugaran, mengeluarkan puluhan jutaan rupiah untuk membeli produk kecantikan atau melakukan perawatan hingga melakukan hal-hal yang menyakitkan dan berisiko membahayakan nyawa, mulai dari diet ketat hingga operasi bedah plastik untuk mengubah morfologi tubuh.
Dorongan demi terlihat rupawan itu membuat mereka mengembangkan mekanisme coping atau mengubah persepsi otak tentang rasa sakit. ”Rasa sakit yang muncul akan dianggap tidak apa-apa karena merupakan bagian dari proses agar terlihat cantik dan tampan,” tambahnya.
Sementara itu, peneliti psikologi sosial budaya yang juga Guru Besar Psikologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Augustinus Supratiknya mengatakan, kegigihan sebagian orang untuk senantiasa terlihat cantik atau tampan tidak bisa dilepaskan dari semangat zaman yang menghargai atau mengglorifikasi tubuh.
”Tubuh identik dengan harga diri dan di zaman sekarang harga diri itu ditentukan oleh persepsi subyektif tentang tubuh yang indah, sehat, dan bugar,” katanya.
Cara pandang tentang harga diri yang dilekatkan pada keindahan tubuh itu banyak dikendalikan oleh industri dan pemilik modal yang didukung oleh pengembangan sains dan teknologi, baik industri farmasi, kosmetika, pangan hingga penyedia teknologi kedokteran, maupun alat kebugaran.
Standar
Masifnya penyebaran informasi soal kecantikan melalui berbagai media makin membentuk persepsi masyarakat tentang standar kecantikan. Informasi itu tertanam dalam pikiran bawah sadar masyarakat dan menjadi pendorong kuat yang membuat mereka tidak puas dengan kondisi fisiknya.
Menurut Efnie, beberapa tahun lalu, standar kecantikan masih mengacu pada kecantikan Barat dengan kulit putih, hidung mancung, dan kornea mata nonhitam. Akibatnya, produk pemutih kulit, lensa kontak, atau operasi pemancungan hidung menjadi pilihan masyarakat Indonesia.
Baca juga: Produk Kecantikan dan Perawatan Lokal Makin Dipercaya
Kini seiring menyebarnya budaya pop Korea atau K-Pop, kecantikan ala Korealah yang jadi ukuran. Hidung tidak perlu terlalu mancung asalkan garis hidung tegas, pipi tirus atau dagu yang lancip. Istilah pemutih kulit juga makin jarang digunakan, tetapi berganti pencerah kulit.
”Mereka yang memiliki dana besar bisa mengakses layanan medis profesional yang berkualitas. Namun, yang tidak memiliki dana mencukupi akan mengakses layanan kecantikan yang tidak memenuhi standar medis,” katanya.
Rasa sakit yang muncul akan dianggap tidak apa-apa karena merupakan bagian dari proses agar terlihat cantik dan tampan.
Ada harga ada rupa. Layanan kecantikan dengan harga lebih rendah memiliki risiko besar. Kasus meninggalnya Rahayu (34) setelah suntik silikon di salah satu hotel bintang dua di Jakarta Barat pada akhir Februari lalu menambah panjang korban layanan kecantikan tak berstandar medis. Demi terlihat cantik, nyawa pun mereka pertaruhkan.
Supratiknya menilai masyarakat hanyalah korban. ”Secara tidak sadar, mereka ditarik dalam wacana bahwa kepercayaan dan harga diri mereka ditentukan oleh keindahan tubuh yang dimiliki,” katanya.
Glorifikasi tubuh itu juga kerap menimbulkan berbagai gangguan atau penyakit terkait dengan citra diri tubuh, seperti anoreksia nervosa yang membuat seseorang memiliki berat badan sangat rendah akibat pembatasan asupan makanan yang sangat ketat atau gangguan dismorfik tubuh (BDD) yang membuat seseorang cemas atau tidak puas dengan tubuhnya.
Selain wacana industri, standar kerupawanan dalam masyarakat juga sangat memengaruhi cara pandang dan persepsi seseorang tentang kecantikan. Penghargaan masyarakat atas keindahan yang berlebihan membuat mereka cenderung menolak orang yang berpakaian, berdandan, atau berpandangan berbeda. Seseorang yang memilih tampil dengan gayanya sendiri justru sering dianggap aneh.
Kondisi itu dinilai Supratiknya membuat banyak orang Indonesia, termasuk anak mudanya, kurang percaya diri dengan penampilannya, apalagi jika berbeda dengan sekitarnya. Sebaliknya, mereka yang merasa cantik atau tampan akan percaya diri berlebihan hingga rentan merendahkan atau merundung orang lain.
”Pengelompokan berdasar atribut wajah, kekayaan, atau kendaraan itu mudah ditemukan dalam lingkungan pendidikan kita,” katanya. Sistem pendidikan Indonesia nyatanya justru banyak melahirkan anak yang menggantungkan sumber kepercayaan dirinya pada hal-hal semu yang tampak dari luar dan bersifat material. Kepercayaan atas potensi, keunggulan, dan keunikan diri justru tak terbentuk.
Pandangan masyarakat ini membuat orang mudah tertipu dengan tampilan. Seseorang akan mudah percaya dengan orang yang rupawan meski dia sejatinya bajingan. Sebaliknya, mereka justru akan memandang rendah siapa pun hanya gara-gara kesederhanaan tampilan mereka meski sebenarnya mereka orang memiliki status ekonomi dan sosial yang baik.
Cantik nan sehat
Tidak ada yang salah dengan merawat diri, berdandan, membentuk badan, atau usaha apa pun agar terlihat cantik atau tampan. Semua yang dilakukan sah-sah saja sepanjang wajar dan tidak mengarah pada gangguan mental atau penyakit. Toh, merawat diri, baik pada perempuan atau laki-laki, juga merupakan upaya untuk mencintai diri sendiri.
”Kunci untuk terlihat cantik atau tampan dengan sehat adalah kemampuan memandang realitas,” tegas Efnie. Jika ingin terlihat menarik, lakukan olahraga rutin, perawatan muka sewajarnya demi menjaga kesehatan, serta menjaga pola konsumsi dengan baik. Tumbuhkan pula rasa syukur atas tubuh kita tanpa merasa perlu untuk mengubah morfologi tubuh, kecuali untuk alasan medis.
Untuk bisa puas dengan tubuh yang kita miliki di tengah gempuran industri dan tekanan masyarakat, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencintai diri sendiri. Untuk bisa mencintai diri, harus bisa berdamai dengan segala kenangan traumatis masa lalu.
Pengalaman Efnie mendampingi klien menunjukkan, mereka yang tidak puas dengan tubuhnya umumnya memiliki luka batin di masa lalu. Mereka sejatinya memiliki fisik yang menarik dan terdidik. Namun karena pernah menjadi korban perundungan, direndahkan, atau diabaikan oleh orang lain, termasuk orangtuanya semasa kecil membuat mereka sangat terobsesi untuk memperbaiki penampilannya hingga melakukan hal-hal yang ekstrem.
Jika jargon kecantikan yang sehat adalah melingkupi pikiran, tubuh, dan jiwa atau mind, body, and soul, maka penerimaan akan tubuh adalah bagian dari kesehatan spiritualitas. Dengan spiritualitas yang baik, mereka bisa mensyukuri apa yang dimiliki, mudah membantu orang lain, mampu mengembangkan potensinya, hingga menjaga tubuh dengan baik.
Sementara Supratiknya menilai, menumbuhkan rasa percaya diri pada anak penting. Apa pun kondisi fisiknya, setiap manusia adalah unik dan mereka tetap berhak menjadi diri mereka sendiri. Karena itu, apa pun tren mode dan kecantikan yang berkembang di masyarakat, seseorang tetap bisa berpenampilan sesuai gaya yang disukai atau yang membuatnya nyaman.
Nilai di masyarakat pun perlu diubah meski upaya ini tidak mudah. Sebab, kebaikan maupun kejahatan sejatinya tidak bisa dilekatkan pada tampilan fisik seseorang. Demikian pula kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh wujud luar mereka yang sering kali justru menipu.