Frekuensi Puting Beliung Meningkat 3,5 Kali dalam Satu Dekade
Frekuensi puting beliung di Indonesia meningkat hingga 3,5 kali dalam 10 tahun terakhir. Hal ini menjadi tantangan serius dalam manajemen kebencanaan hidrometerologi, mengingat puting beliung sulit diprediksi.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Frekuensi puting beliung di Indonesia meningkat hingga 3,5 kali dalam 10 tahun terakhir. Peningkatan ini menjadi tantangan serius dalam manajemen kebencanaan hidrometerologi mengingat pusaran udara di atmosfer dalam skala lokal ini sulit untuk diprediksi.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada Kamis (24/2/2022), puting beliung melanda wilayah Indonesia sebanyak 441 sepanjang 2011. Setahun kemudian jumlahnya menjadi 543 kali dan pada 2016 menjadi 663 kali. Sedangkan di tahun 2021, puting beliung terjadi sebanyak 1.577 kali atau 3,5 kali dibandingkan 10 tahun sebelumnya.
Sepanjang tahun 2022, bencana puting beliung juga telah berulangkali terjadi. Terbaru, puting beliung melanda tujuh kelurahan di Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (22/2/2022). Pelaksana tugas Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari menyebutkan, bencana ini menyebabkan 510 rumah rusak. Kerusakan juga terjadi pada 2 fasilitas pendidikan, 2 masjid, serta pabrik dan balai dusun.
Sedangkan wilayah terdampak meliputi Kelurahan Sambirejo, Ngampo, Cempluk, Jelok, Jonge, Kuwangen Lor, dan Kuwangen Kidul. "Jumlah keluarga terdampak berjumlah 1.709 keluarga. Tidak ada korban jiwa akibat insiden yang terjadi pada pukul 08.00 pagi tersebut," kata dia.
Peneliti iklim Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Siswanto mengatakan, puting beliung merupakan salah satu bencana hidrometeorologi yang masih sulit diprediksi. "Selama ini model-model atmosfer maupun teknologi penginderaan jauh baru bisa menangkap fenomena awan kumulonimbus yang areanya kilometer hingga puluhan kilometer. Awan ini diketahui menjadi sumber bagi munculnya puting beliung. Itu pun akurasinya belum tinggi," kata Siswanto, yang juga Subkoordinator Produksi Iklim dan Kualitas Udara BMKG.
Fenomena puting beliung ini, menurut Siswanto, cenderung bersifat lokal dan singkat, berbeda dengan siklon tropis yang proses terbentuknya bisa berhari-hari dan rute pergerakannya bisa diprediksi.
Meski demikian, menurut Siswanto, peningkatan frekuensi siklon tropis maupun puting beliung diduga terkait dengan pemanasan global. "Penghangatan permukaan Bumi akan memudahkan pembentukan siklon tropis, tornado, atau pusaran udara skala lebih kecil berupa puting beliung," kata Siswanto.
Fenomena pusaran udara di atmosfer ini, tambah Siswanto, mensyaratkan pemanasan udara permukaan dan kelembaban udara yang cukup. Selain itu, juga membutuhkan adanya sirkulasi angin yang mendukung timbulnya pusaran, yaitu beda kecepatan angin secara horizontal maupun vertikal.
Selama ini model-model atmosfer maupun teknologi penginderaan jauh baru bisa menangkap fenomena awan kumulonimbus yang areanya kilometer hingga puluhan kilometer. Awan ini diketahui menjadi sumber bagi munculnya puting beliung. Itu pun akurasinya belum tinggi
Jawa paling rentan
Penelitian tentang kejadian puting beliung atau angin ribut yang dilakukan Emilya Nurjani dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan tim menunjukkan peningkatan frekuensi bencana ini mulai tercatat pada 2008 ke 2009. Kajian yang dipublikasikan di jurnal Geomedia (2013) ini meneliti tren angin ribut dalam rentang 1990 hingga 2011.
Disebutkan, pada tahun 1990 hingga 1997, sebagian besar data bernilai nol kejadian karena pada tahun-tahun tersebut belum banyak obyek bencana yang mengalami kerusakan sehingga kejadian bencana angin ribut belum begitu diperhatikan oleh masyarakat maupun pihak terkait. Selain itu, pada periode ini juga masih terjadi keterbatasan pencatatan.
Pada tahun 1997 hingga 2007, mulai muncul catatan kejadian bencana angin ribut ini dengan tren terus meningkat dari tahun ke tahun. Pencatatan terus meningkat karena kerugian yang ditimbulkan akibat bencana tersebut terus meluas dan meningkat jumlahnya.
Tahun 2008 hingga tahun 2009 terjadi kenaikan jumlah kejadian lebih dari 100 persen, yaitu dari 166 kejadian menjadi 340 kejadian dalam setahun. Kenaikan frekuensi kejadian terus terjadi hingga 2010 hingga 405 kejadian.
Kajian ini juga menemukan, Pulau Jawa merupakan yang paling sering dilanda bencana angin ribut atau puting beliung, terutama Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan dari periode kejadiannya, puting beliung paling sering terjadi pada bulan Oktober hingga Maret.
Siswanto mengatakan, puting beliung sebenarnya dapat terjadi di semua bulan selama ada awan kumulonimbus. "Namun, yang paling banyak terjadi memang pada peralihan musim, di mana pemanasan di atas wilayah Indonesia umumnya maksimum karena gerak semu matahari, sementara dinamika angin berada dalam kondisi berubah-ubah selama pergantian dominasi arah angin monsun," kata dia.