Mengapa Kita Cenderung Sarapan dengan Menu yang Sama Setiap Hari?
Sarapan adalah waktu makan terpenting yang memberi energi dan semangat positif untuk beraktivitas seharian. Persoalan budaya, biologis, dan psikologis membuat kita cenderung sarapan dengan menu sama hampir tiap hari.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Warga menikmati sarapan pagi di warteg Mamoka Bahari di Pondok Kelapa, Duren Sawit, Jakarta Timur, Selasa (27/7/2021).
Apa menu sarapan Anda pagi ini?
Bagi yang tinggal di Jakarta, mungkin akan sarapan dengan nasi uduk atau bubur ayam. Mereka yang ada di Bandung, Jawa Barat, umumnya sarapan gorengan, lontong kari atau kupat tahu. Anda yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur akan mudah menemui pecel dengan segala variasinya sebagai menu sarapan.
Bagi yang berada di Indonesia timur, nasi kuning dengan ikan cakalang sangat menggoda. Adapun warga Sumatera akan mudah menemui lontong sayur. Sementara bagi yang sempat memasak, nasi goreng, mi goreng, atau roti dengan beragam selai menjadi pilihan.
Banyak orang menganggap sarapan adalah waktu makan terpenting. Sarapan akan memberi energi yang cukup untuk memulai berbagai aktivitas dalam sehari, baik belajar atau bekerja. Meski demikian, banyak orang meninggalkan sarapan, baik karena enggan, buru-buru karena takut terlambat, atau bosan dengan menu yang sama hampir tiap hari.
Kesederhanaan adalah ciri utama makanan sarapan, di mana pun Anda berada. Makanan sarapan juga umumnya mudah disiapkan dan dimakan. Tujuan utama sarapan adalah meningkatkan asupan kalori guna memberi daya setelah tubuh dan otak beristirahat semalaman.
Seseorang cenderung akan sarapan dengan menu yang dia sukai hampir setiap hari. Meski terus berulang, mereka umumnya senang melakukannya. Perilaku berbeda ditunjukkan saat seseorang makan siang atau makan malam. Mereka umumnya lebih memilih menu yang bervariasi serta mengharapkan pengalaman menyenangkan dari makanan yang mereka konsumsi.
Pilihan kita terhadap menu makanan dipengaruhi oleh faktor psikologis, biologis, dan budaya. Semangat atau antusias kita untuk makan pun berubah sepanjang hari yang dipengaruhi oleh irama sirkadian alias jam biologis tubuh kita. Irama sirkadian ini mengatur aktivitas tubuh sepanjang hari, mulai dari kapan bangun tidur, beraktivitas, jadwal makan, hingga waktu tidur kembali.
Studi yang dilakukan Romain Cadario dari Universitas Erasmus, Belanda, dan Carey K Morewedge dari Universitas Boston, Amerika Serikat, yang dipublikasikan di jurnal Appetite, 1 Januari 2022, terhadap hampir 4.000 responden di AS dan Perancis menunjukkan, 68 persen responden makan menu sarapan yang sama setidaknya dua kali seminggu. Sementara responden yang makan malam dengan menu sama hanya 9 persen.
Namun, orang Perancis lebih kerap sarapan dengan menu yang sama dibandingkan dengan orang AS, yaitu 73 persen banding 52 persen. Sementara untuk makan malam, orang AS lebih sering makan makanan yang sama, sebanyak 16 persen, dibandingkan dengan orang Perancis yang hanya 6 persen.
Kompas
Infografik Penting atau Tidakkah Sarapan?
Persoalan budaya menjadi penentu seberapa sering kita makan dengan menu yang sama. Praktik kerja kapitalis di AS dan Perancis dinilai peneliti membuat masyarakatnya memiliki waktu lebih sedikit untuk memilih, menyiapkan, dan mengonsumsi sarapan mereka dibandingkan dengan makan siang atau makan malam.
Irama sirkadian tubuh juga dianggap menentukan seberapa besar variasi menu sarapan kita. Secara biologis, manusia berada dalam fase kewaspadaan tinggi saat pagi hari. Karena itu, mereka cukup merasa puas dengan menu makanan yang tidak membutuhkan pemikiran terlalu banyak. Namun, seiring berjalannya hari, saat energi mereka menurun, mereka akan menginginkan makanan yang lebih bisa mendorong suasana hati dan semangat mereka.
Faktor psikologis itu akhirnya membuat seseorang cenderung memilih menu sarapan yang praktis dan sederhana serta melakukannya berulang-ulang, tetapi tetap merasa senang.
Tak hanya itu, faktor psikologis juga berperan. Seperti ditulis Mindy Weisberger di Livescience, Selasa (22/2/2022), persoalan psikologis bisa membantu memetakan irama sirkadian tubuh yang bisa mendorong orang cenderung ke pilihan makanan tertentu.
Di pagi hari, saat akan mengawali aktivitas harian, orang lebih cenderung mengejar tujuan utilitarian yang menekankan kepraktisan dalam membuat pilihan. Di saat itu, mereka lebih mengesampingkan tujuan hedonis yang mengutamakan kesenangan. Tujuan hedonis ini umumnya baru muncul saat memilih makan siang atau makan malam yang kaya akan variasi rasa dan tekstur.
Faktor psikologis itu akhirnya membuat seseorang cenderung memilih menu sarapan yang praktis dan sederhana serta melakukannya berulang-ulang, tetapi tetap merasa senang.
KOMPAS/Dimas WaradItya Nugraha
Pelari sarapan bersama di Aula Kantor Bupati Sumbawa Barat.
Meski masalah budaya, biologis, dan psikologis membuat manusia memilih tujuan utilitarian dalam penentuan menu sarapan, Morewedge dalam tulisannya di Time, 13 Desember 2021, menyebut, ”Kita dapat mengejar kesenangan dan mencari variasi jika kita menetapkan pikiran kita untuk melakukan hal itu.”
Karena itu, baik pada responden maupun dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari pun, akhir pekan biasanya menjadi waktu yang menyenangkan untuk memilih variasi menu sarapan. Kita biasa pergi ke tempat lebih jauh demi mencari menu sarapan yang berbeda atau memasak makanan yang lebih variatif untuk sarapan.
Jika seseorang mengharapkan menu sarapan yang lebih menyenangkan, mereka akan secara sadar mencari atau menyiapkan makanan yang lebih bervariasi. Sedikit tambahan usaha dinilai Cadario tidak masalah karena sarapan yang menyenangkan akan membuat hari-hari yang kita jalani menjadi lebih menggembirakan pula.