Lonjakan kasus Covid-19 menghambat penanganan penyakit lain yang membutuhkan perawatan dan obat secara rutin, seperti HI/AIDS dan kusta. Terputusnya pengobatan bisa memicu terjadi resistensi obat.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lonjakan kasus Covid-19 menghambat penanganan penyakit lain yang membutuhkan perawatan dan obat secara rutin, seperti HIV-AIDS dan kusta. Selain risiko pasien terputus pengobatannya, upaya penemuan kasus baru secara dini terganggu sehingga dikhawatirkan memicu ledakan masalah di kemudian hari.
”Seperti terjadi di banyak negara, pandemi Covid-19 di Indonesia juga berdampak pada penanganan penyakit lain, seperti HIV/AIDS. Pasien yang seharusnya rutin menjalani pemeriksaan dan minum obat jadi terputus,” kata Zubairi Djoerban, Ketua Satuan Tugas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia yang juga anggota Panel Ahli HIV/AIDS-Penyakit Infeksi Menular Seksual, di Jakarta, Kamis (17/2/2022).
Menurut Zubairi, orang dengan HIV/AIDS (ODHA) harus mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) secara rutin tiap hari sepanjang hidup. Obat ini diperlukan untuk menekan replikasi virus di dalam tubuh sehingga bisa menjaga kekebalan tubuh. Sepanjang mereka mengonsumsi obat (ARV) secara rutin dan penyakit penyerta lain terkontrol, pasien HIV-AIDS tidak lebih berisiko dibandingkan dengan populasi lain.
Seperti terjadi di banyak negara, pandemi Covid-19 di Indonesia juga berdampak pada penanganan penyakit lain, seperti HIV/AIDS. Pasien yang seharusnya rutin menjalani pemeriksaan dan minum obat jadi terputus.
Mereka yang terhenti mengonsumsi ARV berisiko mengalami resistensi obat yang bisa menyebabkan kegagalan pengobatan. Karena itu, sangat penting memastikan untuk meminum obat secara rutin.
Selain rutin mengonsumsi obat, lanjut Zubairi, ODHA sebaiknya segera mengikuti vaksinasi Covid-19. ”Pasien HIV yang saya tangani sudah divaksin semua dan rata-rata juga sudah booster (vaksin penguat). Ini sangat penting untuk mencegah keparahan saat terinfeksi Covid-19,” ucapnya.
Sejauh ini orang dengan HIV/AIDS yang meninggal karena Covid-19 umumnya putus konsumsi obat ARV dan berhenti perawatan penyakit penyerta, seperti tuberkulosis atau TBC. ”Pasien HIV saya yang terpapar Covid-19 rata-rata bisa selamat,” ujarnya.
Namun, di tengah lonjakan kasus Covid-19 saat ini, Zubairi menyarankan agar orang yang terinfeksi HIV menghubungi dokter spesialis penyakit dalam masing-masing menggunakan pelayanan jarak jauh dan kemudian obat-obatnya bisa dikirim.
”Pasien saya yang non-BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan) rata-rata menggunakan telemedicine. Ini sangat membantu. Akan tetapi, ini sulit diterapkan untuk pasien BPJS Kesehatan karena prosedurnya tiap bulan masih harus datang ke rumah sakit untuk ambil obat,” ujarnya.
Laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berdasarkan permodelan epidemi HIV dengan aplikasi Asian Epidemic Modeling dan Spectrum diperkirakan ada sekitar 543.100 orang dengan HIV yang tersebar di Indonesia pada 2021.
Data Kemenkes juga menunjukkan, sejauh ini baru ada 75 persen ODHA yang mengetahui status HIV dan baru 39,6 persen orang dengan HIV yang mendapatkan obat ARV serta baru 32,4 persen yang mendapatkan ARV sudah mengalami penurunan viral load (jumlah virus).
Zubairi mengatakan, salah satu tantangan penanganan HIV-AIDS di Indonesia ialah keterlambatan pemeriksaan dan pelaporannya, terutama saat terjadi pandemi Covid-19. Padahal, penanganan HIV makin dini dan kian baik.
”Kasus HIV cenderung terus meningkat, tapi pelaporannya cenderung lama, bisa enam bulan. Seharusnya kita bisa belajar dari Covid-19, ada penambahan kasus harian yang dilaporkan. Untuk HIV, kalau bisa tiap bulan sudah bagus,” ujarnya.
Pasien HIV sembuh
Perkembangan terbaru, seorang pasien di Amerika Serikat dilaporkan sebagai orang ketiga di dunia dan wanita pertama yang sembuh dari HIV. Seperti dilaporkan Reuters pada Rabu (16/2), pasien ini dirawat karena leukemia ketika dia menerima transplantasi sel induk dari seseorang yang memiliki ketahanan alami terhadap virus penyebab AIDS. Wanita itu kini bebas dari HIV selama 14 bulan tanpa terapi antiretroviral.
Kasus ini dipresentasikan pada Konferensi Retrovirus dan Infeksi Oportunisitik di Denver, merupakan kasus pertama yang melibatkan terapi darah tali pusat. Sel-sel yang ditransplantasikan yang dipilih ini memiliki mutasi genetik tertentu yang berarti mereka tidak dapat terinfeksi HIV.
Dua kasus sebelumnya terjadi pada laki-laki penerima sel induk dewasa yang lebih sering dipakai dalam transplantasi sumsum tulang. ”Sekarang ini merupakan laporan ketiga dari penyembuhan di rangkaian ini, dan yang pertama pada perempuan yang hidup dengan HIV,” kata Sharon Lewin, Presiden Terpilih dari International AIDS Society.
Zubairi mengatakan, metode transplantasi yang digunakan, yang melibatkan darah tali pusat, amat mahal dan berisiko bagi kebanyakan orang dengan HIV. Metode ini sulit diterapkan untuk pasien HIV lain yang tidak memiliki leukemia akut.
Saat ini, sebagian pasien HIV di dunia dan di Indonesia terkontrol dengan baik. ”Selama dia meminum obat ARV, sebenarnya tidak lagi sakit dan menularkan. Bisa berkeluarga, tidak menularkan ke istri atau suaminya, dan bisa punya anak yang tidak membawa virus ini,” ucapnya.
Zubairi mengatakan, ada pasiennya selama 27 tahun rutin mengonsumsi obat ARV dan tetap sehat. ”Jadi, tata laksana di Indonesia baik dan benar. Ada catatan, tidak boleh putus obat. Sekalipun jumlah virusnya menurun, tidak boleh putus berobat. Bahkan, kalau selang-seling, minum obat sebulan lalu berhenti sebulan, virusnya akan muncul lagi dan cenderung resisten, tidak mempan dengan obat-obat yang diminum,” katanya.
Masalah kusta
Selain HIV-AIDS, pandemi Covid-19 menghambat penanganan dan penemuan kasus baru kusta di sejumlah daerah. Padahal, seperti HIV, pasien kusta juga membutuhkan obat yang rutin.
”Obat untuk kusta dipaket untuk sebulan. Jadi, tiap bulan pasien harus mengambil obat, tapi selama pandemi banyak yang putus pengobatannya. Informasi yang saya peroleh, misalnya, di Biak (Papua), angka telat ambil obat bisa sampai 30 persen,” kata peneliti kusta dari Balai Penelitian dan Pengembangan (Litbangkes) Papua, Kementerian Kesehatan, Hana Krismawati.
Papua hingga kini merupakan salah satu kantong kusta dengan prevalensi tertinggi di Indonesia. Namun, seiring kenaikan kasus Covid-19, banyak petugas terinfeksi virus korona tipe baru tersebut sehingga puskesmas tutup. Akibatnya, layanan pengobatan kusta terlambat.
Sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), paket obat yang disebut Multi Drugs Treatment (MDT), yang terdiri atas tiga antibiotik harus diminum oleh pasien kusta secara rutin selama 6 bulan untuk jenis kusta kering dan 12 bulan untuk jenis kusta basah.
Namun, menurut Hana, terputusnya pengobatan bisa memperlambat penyembuhan dan kemungkinan sisa kuman juga bisa ditularkan kepada orang lain. Hal ini juga bisa menyebabkan resistensi obat. Selain hambatan pengobatan, upaya penemuan kasus baru kusta juga terhambat.
Data Kementerian Kesehatan menyebutkan, prevalensi kusta di Indonesia tahun 2020 sebesar 13.180 kasus. Sementara angka kasus barunya 11.173 kasus. Angka ini turun dari 2019 yaitu 17.439 kasus. Penurunan terutama terjadi karena penemuan kasus menurun.