Mengapa Penetapan 1 Rajab 1443 Hijriah Berbeda?
Awal bulan Rajab 1443 Hijriah kali ini dimulai umat Islam Indonesia berbeda, Rabu (2/2/2022) dan Kamis (3/2/2022). Perbedaan penentuan awal bulan ini juga berpotensi terjadi pada awal Ramadhan 1443 Hijriah mendatang.
Tahun ini, tanggal 1 Rajab 1443 Hijriah ditetapkan secara berbeda oleh sejumlah organisasi masyarakat Islam maupun pemerintah. Sebagian menetapkan 1 Rajab jatuh pada Rabu (2/2/2022) dan sebagian yang lain pada esoknya, Kamis (3/2/2022). Perbedaan serupa dikhawatirkan akan terjadi dalam penetapan 1 Ramadhan 1443 H mendatang.
Menjelang datangnya 1 Rajab 1443 Hijriah pada pekan lalu, warga net ramai saling mengingatkan untuk melaksanakan ibadah puasa sunat di bulan Rajab. Namun saat 1 Rajab datang, warga sempat kebingungan akibat penetapan 1 Rajab yang berbeda dengan yang ada di kalender.
Rajab adalah bulan ketujuh dalam kalender Islam, setelah bulan Jumadil Akhir dan sebelum bulan Syakban. Dalam almanak Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, maupun Kementerian Agama (Kemenag) sama-sama menetapkan 1 Rajab 1443 jatuh pada Rabu, 2 Februari 2022.
Mereka yang akan menjalankan puasa Rajab akan sahur pada Rabu dini hari, yang artinya harus mulai bersiap sejak Selasa (1/2/2022) malam. Namun pada Selasa malam, beredar kabar bahwa NU menetapkan 1 Rajab jatuh pada Kamis (3/2/2022).
Meski ada tiga syarat yang ditetapkan, biasanya hanya digunakan dua syarat, yaitu ketinggian dan elongasi atau ketinggian dan umur hilal.
Pengumuman itu disampaikan setelah hilal atau Bulan (moon) sabit tipis yang menandai awal bulan (month) Rajab tidak bisa diamati pada Selasa petang. Pengamatan hilal itu dilakukan oleh pengamat dari Lembaga Falakiyah NU (LFNU) di 22 lokasi di seluruh Indonesia. Karena tidak bisa diamati, panjang bulan Jumadil Akhir di-istikmal-kan atau digenapkan jadi 30 hari.
Sebagian warga baru mengetahui kabar itu saat akan sahur pada Rabu dini hari. Akibatnya, sebagian masyarakat urung menjalankan sahur dan menundanya pada Kamis dini hari demi mengikuti pengumuman tersebut. Namun, sebagian warga yang tak sempat memantau media sosial, akhirnya tetap mulai berpuasa pada Rabu.
Data hilal awal bulan Rajab yang diterbitkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyebut ijtimak atau konjungsi atau kesegarisan Matahari-Bulan-Bumi yang menandai awal Rajab terjadi pada Selasa (1/2/2022) 12.45.59 WIB.
Itu berarti, pada Selasa petang saat Matahari terbenam di seluruh wilayah Indonesia, tinggi hilal berkisar antara 1,75 derajat hingga 3,26 derajat. Ketinggian hilal terendah itu terjadi di Melonguane, Sulawesi Utara, dan hilal tertinggi terdapat di Palabuhanratu Jawa Barat.
Sementara elongasi atau jarak sudut antara Matahari dan Bulan terentang antara 4,55 derajat (Merauke, Papua) hingga 5,32 derajat (Sabang, Aceh). Umur Bulan sejak konjungsi hingga Matahari terbenam antara 3,19 jam (Jayapura, Papua) hingga 6,05 jam (Calang, Aceh).
Dalam penentuan awal bulan kalender, Muhammadiyah menggunakan hisab (perhitungan) wujudul hilal atau terbentuknya hilal maupuan kriteria Kalender Islam Global Turki 2016. Dengan kedua kriteria itu, 1 Rajab jatuh pada Rabu (2/2/2022).
Untuk penyusunan kalender, Kemenag dan NU sama-sama memedomani metode hisab imkan rukyat atau kemungkinan terlihatnya hilal dengan kriteria MABIMS atau Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Dalam kriteria tersebut disebut masuk bulan baru kalender jika ketinggian hilal saat Matahari terbenam setelah konjungsi minimal mencapai ketinggian 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur 8 jam.
”Meski ada tiga syarat yang ditetapkan, biasanya hanya digunakan dua syarat, yaitu ketinggian dan elongasi atau ketinggian dan umur hilal,” kata pendiri Observatorium dan Planetarium Imah Noong yang juga Wakil Ketua LFNU 2015-2021 Hendro Setyanto.
Karena sudah memenuhi syarat yang ada, kalender Kemenag maupun NU sama-sama menetapkan 1 Rajab juga jatuh pada Rabu (2/2/2022). Namun untuk keperluan ibadah, Kemenag dan NU sama-sama menggunakan metode rukyatul hilal atau melihat hilal untuk menentukan awal bulan hijriah.
Artinya, ketetapan awal bulan pada kalender dengan ketetapan awal bulan untuk keperluan ibadan bisa berbeda, seperti yang terjadi pada penentuan 1 Rajab kali ini. Menurut Hendro, hasil rukyat yang dilakukan NU pada Selasa (1/2/2022) petang atau 29 Jumadil Akhir tidak ada yang melihat hilal sehingga panjang bulan Jumadil Akhir dibulatkan menjadi 30 hari dan 1 Rajab jatuh pada Kamis (3/2/2022).
Hasil itu yang kemudian dikabarkan kepada masyarakat, khususnya warga NU. Saat ini media sosial menjadi alat yang ampuh untuk menyebarkan informasi dengan cepat, termasuk ketetapan awal Rajab NU ini. Namun karena tidak semua mengakses media sosial, banyak masyarakat yang telanjur berpuasa Rajab pada Rabu (2/2/2022).
Sementara itu, pemerintah secara resmi tidak melakukan sidang isbat (penetapan) awal Rajab. Sesuai ketentuan, sidang isbat dilakukan hanya untuk tiga bulan Hijriah, yaitu Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah, karena menyangkut ibadah wajib atau haram di bulan tersebut.
Ibadah puasa Rajab hanya bersifat sunat yang artinya mereka yang meninggalkan tidak berdosa. Karena itu, kalender Kemenag tetap menetapkan 1 Rajab 1443 jatuh pada Selasa (2/2/2022) meski tidak ada laporan melihat hilal pada Senin petang.
Perbedaan yang terjadi ini akan berdampak pada panjang bulan Rajab 1443 H. Kalender Kemenang dan Muhammadiyah akan menetapkan panjang bulan Rajab kali ini 30 hari, sedangkan NU hanya 29 hari.
Kontroversi
Ketinggian hilal 2 derajat dalam kriteria MABIMS sebenarnya sering digunakan dalam patokan diterima atau tidaknya kesaksian pengamatan hilal. Namun, menurut Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin, sudut elongasi atau jarak sudut antara Matahari dan Bulan juga perlu diperhatikan.
Besar kecilnya elongasi akan menentukan tebal tipisnya hilal. Dengan elongasi hilal awal Rajab di Indonesia yang antara 4,55-5,32 derajat, hilal yang muncul akan terlalu tipis. Akibatnya, hilal menjadi makin sulit diamati meski sebenarnya sudah masuk kriteria MABIMS. Masalahnya, kriteria MABIMS ini sudah lama diperdebatkan akurasinya oleh astronom.
Dikutip dari Kompas, 22 Mei 2020, kriteria MABIMS yang menyaratkan posisi hilal minimal untuk bisa diamati adalah tinggi 2 derajat, elongasi 3 derajat, dan umur 8 jam atau disebut juga syarat 2-3-8 itu adalah jauh lebih rendah di bawah rekor pengamatan hilal dunia yang diakui.
Syarat 2-3-8 ini disusun berdasar kesaksian melihat hilal Syawal 1404H/29 Juni 1984 dari Jakarta, Palabuhanratu (Jawa Barat), dan Parepare (Sulawesi Selatan). Saat itu, tinggi hilal saat Matahari terbenam hanya 2 derajat. Selanjutnya, data ini dijadikan yurisprudensi penentuan tinggi hilal yang bisa diamati, termasuk ditetapkan menjadi kriteria MABIMS.
Keraguan astronom dengan kriteria MABIMS atau disebut juga kriteria 2-3-8 itu sudah berlangsung lama. Namun, persoalan ini tenggelam oleh perdebatan di masyarakat tentang metode hisab (perhitungan) atau rukyat (pengamatan) dalam penentuan awal bulan Hijriah. Padahal, kedua metode itu tidak akan menimbulkan perbedaan jika kriteria awal bulannya sama.
Majelis Ulama Indonesia pada 2015 memberikan mandat kepada astronom Indonesia dan perwakilan ormas Islam untuk menyusun kriteria baru kenampakan atau visilitas hilal. Kriteria baru itu mengadopsi kriteria hilal Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (sekarang melebur dalam BRIN), yaitu tinggi minimal hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat.
Meski hilal hanya teramati di wilayah barat Indonesia atau posisi hilal di timur Indonesia masih sangat rendah, tetapi jika di hilal bagian barat Indonesia sudah cukup tinggi dan teramati, maka waktu ketetapan penentuan awal bulan berlaku untuk satu negara.
Kriteria ini telah disepakati forum MABIMS di Malaysia, 2016 menjadi kriteria MABIMS baru. Kriteria ini pun telah diusulkan sebagai Rekomendasi Jakarta 2017 sebagai salah satu kriteria penyusunan kalender Islam global untuk melengkapi kriteria Istanbul Turki 2016. Meski demikian, kalender Kemenag hingga kini masih menggunakan kriteria 2-3-8.
Rekomendasi Jakarta dianggap sebagai titik temu antara kriteria wujudul hilal yang tak membutuhkan observasi dan kriteria imkan rukyat yang mewajibkan observasi. Kriteria ini diharapkan bisa menjembatani dua kelompok besar dalam masyarakat dalam menentukan awal bulan Hijriah, yaitu hisab dan rukyat.
Selain itu, kriteria ini makin mendekati kriteria visibilitas hilal yang digunakan astronom internasional, tetapi juga tidak terlalu berbeda jauh dengan yang digunakan ormas Islam dan Pemerintah Indonesia saat ini.
Kini, tinggal menunggu keberanian pemerintah mengambil putusan, apakah akan tetap menggunakan kriteria 2-3-8 yang kontroversial atau memakai kriteria MABIMS baru. Memang tidak mudah mengakomodasi kepentingan semua ormas, tetapi tetap harus ada putusan yang diambil dan dipegang teguh.
Potensi kerancuan
Dengan beragamnya kriteria penentuan awal bulan Hijriah yang ada, perbedaan awal bulan Hijriah seperti yang terjadi pada awal Rajab 1443 ini masih akan terjadi di masa depan. Potensi perbedaan paling dekat akan terjadi pada penentuan awal Ramadhan 1443 Hijriah yang akan datang kurang dari dua bulan.
Data Ephemeris Hisab-Rukyat 2022 yang dikeluarkan Kemenag menyebut, konjungsi awal Ramadhan 1443 H/2022 terjadi pada Jumat, 1 April 2022 pukul 13.24 WIB. Posisi hilal yang diukur dari 34 ibu kota provinsi menunjukkan hilal memiliki ketinggian antara 1,11-2,14 derajat, elongasi berkisar 2,95-3,46 derajat, dan umur bulan antara 2 jam 26 menit hingga 5 jam 34 menit.
Dengan data tersebut, 1 Ramadhan 1443 H diperkirakan akan jatuh pada Sabtu, 2 April 1443, atau Jumat (1/4/2022) malam ibadah shalat Tarawih sudah dimulai.
Waktu perkiraan awal Ramadhan ini sama dengan yang ditetapkan NU berdasar hisab imkan rukyat. Namun, ketetapan pemerintah maupun NU untuk 1 Ramadhan masih menunggu hasil rukyat yang akan dilakukan pada Jumat (1/4/2022) petang. Sementara Muhammadiyah dengan hisab wujudul hilal atau kriteria kalender Islam global Turki 2016 juga telah menetapkan 1 Ramadhan pada Sabtu (2/4/2022).
Namun, Thomas menilai posisi hilal awal Ramadhan itu rentan menimbulkan perbedaan karena posisi hilal yang rendah dan sangat tipis. Posisi hilal awal Ramadhan nanti, baik tinggi, elongasi, maupun umur hilal, masih lebih rendah dari hilal awal Rajab ini. Karena itu, dipastikan hilal akan sangat sulit diamati.
Jika tidak ada laporan pengamatan hilal, termasuk karena kendala cuaca, panjang bulan Syakban versi pemerintah maupun NU akan dibulatkan menjadi 30 hari hingga 1 Ramadhan akan ditetapkan jatuh pada Minggu (3/4/2022). Kondisi inilah yang akan membuat awal Ramadhan 1443 berpotensi berbeda, walau Idul Fitri kemungkinan akan sama, yaitu pada Senin, 2 Mei 2022.
Ketidakpastian
Sistem penetapan awal bulan Hijriah berdasarkan pengamatan langsung atau observasi hilal, khususnya untuk tiga bulan yang terkait ibadah wajib, yaitu Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah, terkadang memang memberikan hasil berbeda dengan data kalender. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian dan kalender Hijriah sulit digunakan untuk kepentingan administrasi sipil seperti kalender Masehi.
Saat ini, sudah tidak ada negara Islam yang menjadikan kalender Hijriah untuk kepentingan administrasi sipil walau kalender Hijriah tetap digunakan untuk kepentingan ibadah atau keagamaan. Terakhir, Arab Saudi berpindah dari kalender Hijirah ke kalender Masehi untuk kepentingan administrasi sipil pada 2016.
Data kalender disusun sesuai data hisab atau perhitungan berdasarkan pergerakan Matahari, Bulan, dan Bumi. Karena gerak benda-benda langit itu memiliki keteraturan, data hisab ini bisa disusun jauh hari sebelumnya, bahkan beberapa tahun sebelumnya.
Sementara pengamatan hilal, keberhasilannya akan sangat ditentukan kondisi saat pengamatan berlangsung. Jika langit berawan, mendung atau hujan, hampir dipastikan hilal tidak akan teramati. Namun, metode pengamatan hilal langsung ini dipedomani sebagian besar ormas Islam Indonesia dan dianut negara-negara lain sesuai perintah agama yang mereka yakini.
Secara sains, pengamatan hilal merupakan upaya pembuktian langsung dari hasil perhitungan hilal. Ini sejalan dengan prinsip ilmiah, yaitu teori atau perhitungan apa pun bisa dilakukan, tetapi kebenaran maupun ketepatannya tetap harus didasarkan langsung pada pengamatan lapangan.
Selain itu, pengamatan hilal juga tidak mudah karena harus bisa menangkap cahaya tipis hilal dalam kondisi langit yang masih cukup terang, yaitu sesaat setelah Matahari terbenam. Ketinggian lokasi pengamatan, banyaknya uap air di atmosfer, polusi udara, hingga kemampuan pengamat membedakan cahaya hilal dengan cahaya lain akan menentukan berhasil tidaknya hilal diamati.
Baca juga : Menggugat Kriteria Hilal
Jika pun hilal teramati, harus menjalani sejumlah proses sebelum akhirnya ditetapkan melalui sidang isbat (penetapan) yang akan dilakukan pemerintah. Sidang isbat biasanya baru dimulai selesai sekitar pukul 19.00 WIB menunggu laporan pengamatan hilal dari daerah-daerah. Kondisi ini juga menimbulkan ketidakpastian, khususnya bagi umat Islam di wilayah timur (WIT) dan tengah (Wita), serta umat Islam di wilayah barat (WIB) bagian timur.
Menurut Hendro, ketidakpastian ini adalah konsekuensi dari metode rukyat dan kesatuan wilayah hukum. Dalam konteks ini, pemberlakuan hasil rukyat ditentukan dalam satu lingkup negara. Artinya, meski hilal hanya teramati di wilayah barat Indonesia atau posisi hilal di timur Indonesia masih sangat rendah, tetapi jika di hilal bagian barat Indonesia sudah cukup tinggi dan teramati, maka waktu ketetapan penentuan awal bulan berlaku untuk satu negara.
Karakter lokal ini pula yang menjadi salah satu faktor sulit dalam penyatuan atau unifikasi kalender Hijriah. Bisa saja, di Arab Saudi atau Turki sudah dilaporkan melihat hilal karena posisi hilalnya lebih tinggi. Sementara Indonesia yang waktunya lebih dulu beberapa jam, hilal tidak bisa diamati karena posisinya yang terlalu rendah.
Untuk memberi kepastian dan bisa digunakan dalam administrasi sipil, Hendro mengusulkan agar kalender Islam global ditentukan berdasar satu metode hisab tunggal yang diakui semua negara-negara Islam. Selanjutnya untuk pengaturan ibadah ditentukan berdasarkan hasil rukyat yang berlaku di setiap negara.
Baca juga : Utamakan Kepentingan Umat dalam Penentuan Kalender Islam
Konsekuensi dari konsep ini adalah awal pelaksanaan ibadah Ramadhan bisa saja tidak jatuh pada 1 Ramadhan, tetapi bisa dimulai pada 2 Ramadhan. Ini semata dilakukan untuk menyesuaikan waktu ibadah dengan waktu penampakan hilal secara langsung yang diyakini selama ini.
Pola ini sebenarnya sudah berjalan di masyarakat seperti saat Rajab 1443 ini. Di kalender 1 Rajab jatuh pada 2 Februari 2022, tetapi awal puasa Rajab baru dilakukan 3 Februari 2022. Dengan demikian, kalender Islam bisa digunakan untuk kepentingan sipil dan perencanaan lebih baik, tetapi konteks waktu ibadahnya pun tetap sesuai aturan agama.
Namun, apa pun konsep dan konteks kalender Hijriah yang akan digunakan, edukasi yang benar ke masyarakat perlu terus dilakukan. Saat ini, umat hanya menggunakan kalender Islam untuk kepentingan ibadah saja, sedangkan untuk kepentingan sipil menggunakan kalender Masehi.
Akibatnya, banyak umat tidak mengetahui kalender Islam dengan baik, terlebih lagi konsep-konsep dalam kalender Hijriah yang berbeda dengan kalender Masehi maupun kalender Jawa. Sebagai sebuah produk budaya, kalender akan hilang atau musnah jika tidak digunakan.
Unifikasi
Sementara itu untuk penyatuan kalender Islam global, Thomas menilai Rekomendasi Jakarta 2017 bisa menjadi satu titik temu antara metode hisab dan rukyat. Rekomendasi Jakarta sudah mengadopsi konsep kalender Islam global Turki, yaitu dengan menggunakan garis batas penanggalan internasional sebagai garis batas.
Namun, ada perbedaan mendasar antara konsep Rekomendasi Jakarta 2017 dan kalender Islam global Turki 2016. Rujukan wilayah kedua konsep ini berbeda, yaitu kalender Turki menyaratkan posisi hilal bisa dicapai di mana saja asalkan di Selandia Baru belum terbit fajar. Sementara Rekomendasi Jakarta menggunakan rujukan wilayah barat Asia Tenggara.
Rekomendasi Jakarta juga mengamanatkan adanya otoritas tunggal global yang mengatur sistem kalender Islam, yaitu Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). OKI adalah organisasi antarpemerintah sehingga hingga tahap impelementasi kalender tunggal Islam ini lebih mudah dijalankan.
Konsep kalender Turki juga memiliki kelemahan, khususnya jika harus disandingkan dengan data rukyat. Ketentuan syarat hilal dalam kalender Islam Turki pernah tercapai di bernua Amerika dan di Selandia Baru belum terbit fajar sehingga hari itu bisa dikatakan masuk awal bulan Hijriah. Namun, posisi hilal di Indonesia saat itu masih sangat rendah, hingga tidak mungkin diamati.
Baca juga : Mengapa Desember Jadi Bulan Ke-12 dalam Kalender Masehi?
Karena itu, Rekomendasi Jakarta diharapkan bisa menjembatani metode penentuan awal bulan Hijriah yang digunakan masyarakat, yaitu hisab dan rukyat. Dengan demikian, apa pun metode yang digunakan, penentuan awal bulan Hijriah tetap bisa berlangsung sama.
Umat Islam pun sudah lama mendambakan kesatuan kalender ini. Namun, upaya ini membutuhkan komitmen kuat dari semua ormas Islam dan pemerintah untuk mau menyepakati kriteria awal bulan yang digunakan serta meninggalkan ego golongan yang selama ini menjadi penghambat besar unifikasi kalender Islam di Indonesia.
Jika di kalender Islam Indonesia bisa disatukan, konsep ini akan lebih mudah ditawarkan ke tingkat regional, yaitu Asia Tenggara maupun ke tingkat global. Kalender Islam Global Turki pun hingga kini juga tidak banyak negara yang menggunakan. Langkah ini, pelan tapi pasti, diharapkan bisa menjadi cikal terbentuknya satu kalender Islam global yang bisa diterima semua negara dan umat Islam seluruh dunia.