Menko Luhut Tunjukkan RI Peduli Lingkungan lewat Ritual Air, Cukupkah?

Masih ada kesenjangan antara kearifan lokal dan penerapan kebijakan pengelolaan sumber daya air di Indonesia.

KOMPAS/M PASCHALIA JUDITH J

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan memberikan sambutan di tengah upacara Sagara Kerthi yang berlangsung di kawasan Kura-kura, Denpasar, Bali, Sabtu (18/5/2024).

Lewat serangkaian upacara dan ritual adat yang berkaitan erat dengan air, pemerintah ingin mematahkan anggapan pihak asing yang menilai Indonesia tak peduli pada lingkungan. Apakah pemerintah cukup menunjukkan upacara dan ritual untuk membuktikan sikap peduli lingkungan kepada dunia?

Mengawali Forum Air Sedunia atau World Water Forum Ke-10 yang diadakan di Bali pada 18-25 Mei 2024, pemerintah mengajak para delegasi dari beragam negara mengikuti upacara Sagara Kerthi. Dalam upacara itu terdapat sejumlah tarian persembahan yang terdiri dari, Topeng Panasar, Sang Hyang Jaran, Sang Hyang Dedari, Baris Cerkuak, Rejang Putri Maya, dan Tari Topeng Sidikarya.

Upacara Sagara Kerthi itu berlangsung di kawasan Kura-kura, Denpasar, Bali, Sabtu (18/5/2024). Pejabat Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, serta Presiden Dewan Air Sedunia (World Water Council) Loic Fauchon mengikuti sejumlah rangkaian ritual.

Saat tarian Baris Cerkuak, Basuki tampak duduk lesehan di depan panggung berjajar dengan sejumlah fotografer dan memotret pergelaran tersebut. Matanya fokus membidik gambar.

Menurut Loic, upacara yang dia saksikan menyimbolkan secara mengakar betapa sucinya air sebagai sumber daya. ”Upacara ini memberikan inspirasi relasi dan kerja sama antara masyarakat dan pemangku kepentingan dalam menghargai alam semesta,” ujarnya saat sesi sambutan di sela ritual.

KOMPAS/M PASCHALIA JUDITH J

Presiden Dewan Air Sedunia (World Water Council) Loic Fauchon memberikan sambutan di tengah upacara Sagara Kerthi yang berlangsung di kawasan Kura-kura, Denpasar, Bali, Sabtu (18/5/2024).

Luhut memaparkan, upacara Segara Kerthi menunjukkan tradisi yang merayakan pentingnya sumber daya air dalam budaya Bali. Kearifan lokal dalam Segara Kerthi menyiratkan sikap yang menghargai sumber daya air, seperti laut, berasal dari agama Hindu.

Bagi masyarakat Bali, air menjadi sumber daya spiritual, budaya, serta kehidupan untuk manusia dan ekosistem sekitar. Ada istilah ”air suci” dalam rangkaian doa penganut agama Hindu.

Dalam kesempatan yang sama, Luhut menggarisbawahi anggapan miring pihak asing terhadap Indonesia. ”Beberapa pihak asing menyatakan kita tidak peduli pada lingkungan. Sekarang, ketika menghadiri upacara ini, Anda dapat melihat bagaimana kami memedulikan lingkungan dan perubahan iklim,” tuturnya.

Setelah rangkaian sambutan, upara dilanjutkan dengan sembayang. Masyarakat yang ikut berdoa duduk bersimpuh menghadap ke laut. Upacara ditutup dengan pelepasan satwa ke alam liar, antara lain 1.000 ekor tukik, 1.000 ekor burung, dan 5 ekor penyu.

KOMPAS/M PASCHALIA JUDITH J

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, serta Presiden Dewan Air Sedunia (World Water Council) Loic Fauchon bersiap melepaskan burung sebagai penutup upacara Sagara Kerthi yang berlangsung di kawasan Kura-kura, Denpasar, Bali, Sabtu (18/5/2024).

Sayangnya, pernyataan Luhut bertentangan dengan data yang mengemuka di dunia. Publikasi EcoCation berjudul Most Polluted Rivers in The World–Top 25 (2024) menyebutkan, Sungai Citarum di Indonesia menempati ranking ketiga sungai paling tercemar di dunia setelah Sungai Gangga di India dan Sungai Yellow di China.

Selain itu, Environmental Justice Atlas juga mengemukakan data konflik lingkungan di tingkat masyarakat di Indonesia. Misalnya, pertambangan kuarsa di Gelam, Kalimantan Barat, yang mengacam kehidupan pesisir. Laporan konflik lingkungan itu bersanding dengan 4.099 kasus yang ada di dunia.

Di skala nasional, Jaringan Advokasi Tambang mencatat, terdapat 218 izin usaha pertambangan di 34 pulau kecil di Indonesia per Desember 2023. Data itu mengemuka dalam publikasi berjudul ”Nestapa Pulau Kecil Indonesia: Alam Dijarah, Penduduknya Dimiskinkan, dan Dikriminalisasi”. Publikasi ini menggarisbawahi pertambangan di pulau kecil dapat memicu pencemaran air tanah, air permukaan, dan laut. Imbasnya, bencana ekologis pun mengancam kehidupan masyarakat pulau kecil.

Dalam dokumen berjudul ”The United Nations World Water Development Report 2024: Water for proseperity and peace”, Chair of UN-Water Alvaro Lario menggarisbawahi, ketika terjadi kelangkaan dan pencemaran air serta keterbatasan akses terhadap air, konflik dapat terjadi. Padahal, jika dikelola dengan prinsip-prinsip kelestarian dan keadilan, sumber daya air mampu menjadi media perdamaian dan kesejahteraan.

Sementara itu, Founder Indonesia Water Institute Firdaus Ali menilai, pernyataan Luhut di hadapan delegasi internasional menunjukkan kearifan lokal yang sarat dengan pendekatan adat istiadat dan agama dalam tata kelola sumber daya air. ”Namun, masih ada gap antara kearifan lokal dan penerapan kebijakan pengelolaan sumber daya air di Indonesia,” ujarnya saat dihubungi pada Sabtu malam.

Kesenjangan kearifan lokal terhadap kebijakan itu tampak dari sejumlah pelaku usaha perkebunan dan pertambangan yang belum mengelola limbahnya sehingga tidak mencemari air. Sejumlah daerah resapan air pun rusak. Padahal, pertumbuhan penduduk berpotensi meningkatkan permintaan sumber daya air yang ketersediaannya terbatas.

Pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah dalam tata kelola air yang menerapkan prinsip-prinsip kelestarian. Kearifan lokal yang belum mengemuka dalam kebijakan justru menunjukkan pada dunia, Indonesia masih berjuang mengelola sumber daya air dengan memperhatikan etika lingkungan, pemenuhan hak asasi masyarakat, dan kepentingan bisnis.