Perkuat Pengamanan Zat Adiktif dalam RPP Kesehatan
Organisasi masyarakat minta regulasi pengendalian tembakau diperkuat pada Rancangan Peraturan Pemerintah soal Kesehatan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Regulasi terkait pengendalian tembakau dan pengamanan zat adiktif perlu diperkuat dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kesehatan. Regulasi tersebut tidak hanya mengatur peredaran rokok konvensional, tetapi juga rokok elektrik.
Desakan untuk memperkuat pengamanan zat adiktif dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan ini disampaikan dalam konferensi pers bersama di Gedung Yayasan Kanker Indonesia, Jakarta, Selasa (14/5/2024). Konferensi pers dihadiri perwakilan sejumlah organisasi masyarakat sipil dan organisasi profesi kesehatan.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Sally Aman Nasution menyampaikan, prevalensi perokok di Indonesia termasuk di kategori anak-anak terus meningkat setiap tahun. Oleh karena itu, perlu ada regulasi yang kuat terkait pengendalian tembakau untuk mencegah paparan rokok terhadap anak-anak.
”Sebenarnya banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mencegah ini terjadi, tetapi perlu payung hukum yang kuat. Jadi, RPP ini sangat penting perannya. Kami berharap RPP ini cepat disahkan sehingga masyarakat betul-betul bisa diberikan kebijakan dan stakeholder (pemangku kepentingan) yang akan mengeluarkan kebijakan tidak terkatung-katung lagi,” tuturnya.
Menurut Sally, konsumsi rokok memang tak langsung merusak organ dalam manusia dalam jangka pendek. Namun, dampak rokok akan dirasakan dalam jangka panjang. Kemudian konsumsi rokok juga dapat merugikan masyarakat karena menghabiskan biaya yang tidak sedikit untuk menangani masalah kesehatan yang timbul akibat rokok.
Ketua Umum Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany mengemukakan, saat ini telah diketahui banyak sekali penyakit yang berhubungan dengan konsumsi rokok. Hal ini yang mendasari negara-negara di dunia membentuk Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
”Sayangnya, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang tidak menandatangani FCTC dan dianggap mengganggu kedaulatan negara. Namun, sekarang ada peluang (mengendalikan tembakau) dengan Undang-Undang Kesehatan dan PP (peraturan pemerintah)-nya,” ujarnya.
Hasbullah menekankan, Kementerian Kesehatan harus berperan secara komprehensif mulai dari pengendalian risiko sampai melakukan rehabilitasi bagi para pencandu rokok. Di sisi lain, konsistensi dalam melakukan upaya pencegahan amat penting mengingat upaya mengobati penyakit dari konsumsi rokok akan memberikan beban biaya yang sangat mahal.
Dalam upaya mengendalikan zat adiktif ini, Komnas Pengendalian Tembakau telah memberikan masukan dan inovasi. Salah satunya yakni menghapus peredaran iklan rokok untuk menghilangkan minat anak-anak. Prevalensi perokok anak yang tinggi salah satunya disebabkan oleh iklan produk rokok yang beredar secara masif di berbagai media.
Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang tidak menandatangani FCTC dan dianggap mengganggu kedaulatan negara.
Aturan dalam RPP Kesehatan harus lebih kuat dari PP Nomor 109 Tahun 2012 terkait zat adiktif. Aturan tersebut dinilai lemah sehingga tidak lagi efektif untuk mengendalikan produk tembakau di masyarakat. Oleh karena itu, aturan dalam RPP Kesehatan mengenai pengendalian zat adiktif harus lebih kuat daripada aturan dalam PP No 109/2012.
Pengaturan rokok elektrik
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto menyatakan, selain rokok konvensional, peredaran rokok elektrik juga perlu diatur dalam RPP Kesehatan. Sebab, sampai saat ini regulasi mengenai rokok elektrik belum ada di Indonesia. Padahal, rokok elektrik telah banyak beredar dan sama berbahayanya dengan rokok konvensional.
”Seringkali dikatakan bahwa rokok elektronik ini lebih aman. Padahal, ada tiga komponen penting yang membuat rokok elektronik ini tetap berbahaya buat kesehatan, yakni nikotin, bahan karsinogen, dan bahan bersifat iritatif yang merangsang peradangan,” ujarnya.
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tahun 2018, rokok elektrik terbukti dapat menyebabkan adiksi. Hasil riset juga menunjukkan sebanyak 76,5 persen laki-laki pengguna rokok elektrik mempunyai ketergantungan nikotin.
Selain itu, National Academies of Science, Engineering, and Medicine menerbitkan konsensus laporan riset terkait rokok elektrik dan penyakit paru. Kesimpulan laporan tersebut secara jelas menyatakan rokok elektrik menghasilkan bahan kimia berbahaya seperti acetaldehyde, acrolein, dan formaldehyde yang dapat menyebabkan penyakit paru.
”Penggunaan rokok elektronik ini harus menjadi perhatian. Tidak adanya regulasi membuat rokok elektrik masih dijual bebas dan siapa saja bisa membelinya termasuk anak-anak dan remaja. Tentu kita tidak mau mereka menjadi korban,” katanya.