Perjuangan Tagana untuk Selamat dan Menyelamatkan
Tagana yang dituntut membantu masyarakat saat bencana juga kerap harus berjuang menyelamatkan diri.
![Papan peringatan bencana di kaki Gunung Ruang, Kabupaten Sitaro, Sulawesi Utara, Jumat (10/5/2024).](https://cdn-assetd.kompas.id/ZyPIyXJw4j9UHv_q436vXZk9e94=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F10%2F2fba489a-b8cd-4716-a960-80abe35ec5d9_jpg.jpg)
Papan peringatan bencana di kaki Gunung Ruang, Kabupaten Sitaro, Sulawesi Utara, Jumat (10/5/2024).
Para sukarelawan bencana, termasuk yang tergabung dalam Taruna Siaga Bencana atau Tagana, dituntut untuk selalu bersiaga membantu masyarakat saat bencana. Namun, kerap kali mereka harus menghadapi situasi sulit karena keterbatasan peralatan dan fasilitas, termasuk juga insentif.
Pengalaman selama bertugas di daerah bencana itu dituturkan sejumlah anggota Tagana dari berbagai daerah. Di antaranya Hendri Riangkamang (29), anggota Tagana Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), Sulawesi Utara.
Saat itu, Rabu (17/4/2024), ia sedang bertugas di Posko Pengungsi Gunung Ruang, di Pulau Tagulandang, Sitaro. Suara dentuman keras mengagetkan Hendri yang ketika itu sedang bertugas memasak di Posko Pengungsi Gunung Ruang. Pulau gunung api Ruang yang hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari Pulau Tagulandang itu tiba-tiba kembali meletus.
Langit malam bertambah gelap oleh hujan abu. ”Suara keras sekali. Semua langsung berhamburan ke jalanan,” tutur Hendri.
Baca juga: Relokasi Pengungsi Gunung Ruang Disiapkan
Ia dikirim ke Posko Pulau Tagulandang untuk membantu pengungsi dari dua desa di kaki Gunung Ruang, Laingpatehi dan Pumpente. Mereka mengungsi akibat letusan pertama Gunung Ruang pada Selasa (16/4/2024).
Namun, Posko Pulau Tagulandang malam itu juga dianggap tidak aman, terutama karena erupsi Gunung Ruang di masa lalu diikuti tsunami besar yang melanda pulau ini. Sejarah ini ada di catatan SL Soloviev dan Ch N Go dalam Catalogue of Tsunamis on the Western Shore of the Pacific Ocean (1984), letusan Gunung Ruang pada 1871 itu diikuti tsunami yang naik ke daratan sejauh sekitar 180 meter (m) dengan ketinggian 25 meter di Desa Haas, Pulau Tagulandang. Tsunami vulkanik saat itu menewaskan setidaknya 400 orang.
![https://cdn-assetd.kompas.id/zy8GcflKYdBVcAqGGnODjVthHSg=/1024x879/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F04%2F17%2F042260d2-822d-4885-b717-ba867eaa78c2_png.png](https://cdn-assetd.kompas.id/zy8GcflKYdBVcAqGGnODjVthHSg=/1024x879/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F04%2F17%2F042260d2-822d-4885-b717-ba867eaa78c2_png.png)
Ratusan pengungsi di Posko Pulau Tagulandang pun pergi menyelamatkan diri. Hendri beberapa kali mencoba menghentikan motor dan mobil yang melintas dengan lambaian tangan. Tidak satu pun yang berhenti. Ia tertinggal.
Tanpa mengenakan alas kaki, Hendri dan seorang rekannya hanya bisa berlari sambil membawa tas berisi perlengkapan seberat sekitar 20 kilogram. Di tengah hujan abu, Hendri menempuh jarak kurang lebih 5 kilometer, hingga telapak kakinya melepuh.
Dia baru mendapat tumpangan saat tiba di desa tetangga, Lesah Rende. Itu pun dengan cara yang sedikit memaksa. Mencegat motor yang melintas.
Selama mengungsi, Hendri sempat berpikir mengenai nasib keluarganya, khususnya sang istri yang baru dinikahi pertengahan 2023. ”Hari itu, kalau tidak bisa menyelamatkan diri, mungkin jadi korban,” ujarnya.
Namanya juga relawan untuk kemanusiaan, harus banyak bersabar, tidak elok juga harus meminta ini itu.
Perjuangan untuk keluar dari amukan Gunung Ruang begitu menguras tenaga. Hendri dan temannya akhirnya tiba di Pulau Siau, Ibu Kota Kabupaten Sitaro, Kamis (18/4/2024) pagi hari. Namun, begitu tiba di sana, ia harus mendirikan tenda pengungsian, dapur umum, dan fasilitas lainnya. Setelahnya, Hendri dan para relawan lain harus memasak dan menyediakan makanan bagi para pengungsi.
Pria yang bergabung dengan Tagana Sitaro tahun 2019 ini mengatakan, peristiwa tersebut membuatnya trauma. Sekalipun demikian, ia tidak jera dan mengaku siap kembali turun jika terjadi bencana. Hanya saja, Hendri berharap ada dukungan fasilitas penyelamatan, terutama saat bertugas di garis depan.
![Para relawan Taruna Siaga Bencana (Tagana) Kementerian Sosial memasak di dapur umum untuk para korban erupsi Gunung Ruang yang mengungsi di Pulau Tagulandang, Sulawesi Utara, Jumat (19/4/2024).](https://cdn-assetd.kompas.id/g1RN13FQtp-vXx8-dKC52fhBQ3s=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F04%2F20%2Ff5242c21-5088-44ef-abaa-fd9928fb0e1e_jpeg.jpg)
Para relawan Taruna Siaga Bencana (Tagana) Kementerian Sosial memasak di dapur umum untuk para korban erupsi Gunung Ruang yang mengungsi di Pulau Tagulandang, Sulawesi Utara, Jumat (19/4/2024).
Menurut dia, minimnya kendaraan penyelamatan dan peralatan keamanan menjadi kendala dalam evakuasi. Hendri mengatakan, saat menyelamatkan diri, dia hanya menggunakan senter dari gawainya sebagai cahaya penunjuk jalan. Ia tidak memiliki helm dan senter khusus.
Kendaraan roda empat, bahkan roda dua, tidak tersedia sehingga para relawan hanya bisa berlari saat erupsi terjadi. ”Peralatan-peralatan safety kita memang belum ada. Ini yang sangat kurang. Jadi, Tagana hanya bisa sabar dan semangat,” ucapnya.
Hoky Areros (45), anggota Tagana Sitaro, mengatakan, Tagana Sitaro sebenarnya memiliki kendaraan roda empat untuk evakuasi. Namun, mobil yang sudah tua rusak dan sejak awal 2024 ini tidak bisa dioperasikan.
Hoky yang sudah bergabung dengan Tagana Sitaro sejak tahun 2016 sudah dua kali turun menjadi relawan di bencana geologi di wilayahnya. Sebelumnya, dia juga terlibat saat Gunung Karangetang meletus pada 2019. Akibat bencana tersebut, ratusan warga di Desa Batu Bulan, Kecamatan Siau Barat Utara, Sitaro, terisolasi.
Lihat juga: Guguran Lava Gunung Karangetang
Pada pertengahan tahun 90-an, ketika Hoky masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, untuk pertama kalinya ia merasakan bahaya erupsi Karangetang. Wilayah Sitaro yang rawan bencana inilah yang mendorong Hoky untuk bergabung menjadi relawan Tagana.
Setiap kali aktivitas gunung mulai naik, ia harus siaga menyelamatkan diri dan masyarakat. Sebagaimana Hendri, dia berharap adanya kendaraan untuk evakuasi saat darurat, selain dukungan peralatan, seperti helm dan keperluan penyelamatan lain.
![Anggota Tagana peserta Lintas Batas Disabilitas mengikuti upacara pelepasan di Kantor Gubernur Jawa Timur, Surabaya, Selasa (28/11/2023).](https://cdn-assetd.kompas.id/h6tsWf01u9pq-KA-xsJheO7WcYk=/1024x614/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F28%2F02107c61-804a-4f0f-8a8a-a777e5b34503_jpg.jpg)
Anggota Tagana peserta Lintas Batas Disabilitas mengikuti upacara pelepasan di Kantor Gubernur Jawa Timur, Surabaya, Selasa (28/11/2023).
”Kalau terjadi bencana skala besar ataupun berat, mungkin kita akan kelimpungan sendiri dan bisa jadi korban. Dalam hati ingin menuntut kondisi dan peralatan yang lebih baik bagi. Tapi, namanya juga relawan untuk kemanusiaan, harus banyak bersabar, tidak elok juga harus meminta ini itu,” tuturnya.
Dilema relawan
Dilema antara tugas kemanusiaan dan risiko di lapangan itu juga dialami Viki Djo (47), anggota Tagana Kota Kupang, NTT. Viki merupakan salah satu relawan senior yang mulai bergabung sejak Tagana hadir di NTT tahun 2006 atau dua tahun setelah berdirinya Tagana secara nasional tahun 2004. Tagana berada di bawah Kementerian Sosial dan di daerah menjadi binaan dinas sosial.
Vicki pernah bertugas di wilayah bencana NTT, seperti ke Pulau Adonara ketika terjadi badai Seroja pada April 2021. Pulau itu terdampak paling parah dengan korban tewas lebih dari 60 orang. Ia berangkat ke lokasi bencana menggunakan kapal ketika cuaca perairan belum benar-benar teduh.
Baca juga: Pengabdian Tagana di NTT, Jangan Tanya Gaji
Banyak pengalaman berkesan selama bertugas di lokasi bencana. Di Reo, Kabupaten Manggarai, ia pernah terperosok ke dalam kubangan lumpur ketika melakukan evakuasi korban longsor. ”Sebagai relawan Tagana, kami pertaruhkan nyawa,” ucapnya.
Setelah enam tahun menjadi anggota Tagana atau sekitar 2012, Viki akhirnya mendapatkan tali asih dari pemerintah. Besarannya, dari Kementerian Sosial sejumlah Rp 250.000 per bulan dan dari Pemerintah Provinsi NTT Rp 800.000 per bulan.
![Pemeriksaan mobil air bersih yang dioperasikan Tagana NTT di Kota Kupang pada Selasa (7/5/2024).](https://cdn-assetd.kompas.id/-x3Mx4XB4gdNLeD-_u2zyOmMXpw=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F10%2F4dd9dc25-97ed-4171-90d5-d47a69b6e154_jpg.jpg)
Pemeriksaan mobil air bersih yang dioperasikan Tagana NTT di Kota Kupang pada Selasa (7/5/2024).
Uang tali asih tidak diberikan setiap semester. ”Jadi, terhitung sejak Januari sampai Mei ini, kami belum terima. Sepanjang ini kami tetap datang untuk jaga piket atau terlibat dalam penanganan bencana dan musibah. Kami tetap kerja. Jadi, jangan tanya gaji,” katanya.
Viki dan beberapa temannya pernah tidak mendapatkan hak itu selama satu tahun karena alasan penghematan anggaran. Setelah diperjuangkan, mereka baru bisa menerima pada 2023.
Welhelmus Edward Lisnahan, Ketua Forum Tagana NTT, menuturkan, persoalan tali asih harusnya tidak perlu sampai dipersoalkan jika pemerintah menghargai pengabdian relawan Tagana. ”Kami tidak menuntut berlebihan, tetapi mari kita saling mengerti,” ujarnya.
Saat ini, jumlah relawan Tagana yang berada di bawah Pemprov NTT sebanyak 118 orang. Adapun di semua kabupaten/kota yang berjumlah 22 juga sudah ada relawan dengan jumlah bervariasi.
Baca juga: Tagana, Garda Terdepan Kemensos dalam Membantu Korban Bencana
Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Eko Teguh Paripurno mengatakan, di satu sisi, sifat Tagana sebagai relawan sosial kebencaan sangat penting untuk membangun partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana. Namun, di sisi lain, saya kerap mendapat keluhan mengenai minimnya dukungan peralatan dan kapasitas mereka dalam bencana.
Menurut Eko, para relawan yang berada di garis depan bencana seharusnya dibekali peralatan dan keterampilan yang memadai untuk menghadapi kondisi darurat. Untuk menyelamatkan orang lain, relawan ini harus bisa aman.