Rencana Negara-negara untuk Menghapus Karbon Tidak Cukup Kuat
Rencana negara-negara untuk menghilangkan emisi karbon dari atmosfer tidak akan cukup untuk membatasi pemanasan global.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana negara-negara untuk menghilangkan emisi karbon dari atmosfer tidak akan cukup untuk mematuhi batas pemanasan 1,5 derajat celsius yang ditetapkan berdasarkan Kesepakatan Paris. Dibutuhkan rencana dan implementasi yang lebih ambisius agar dampak krisis iklim tak lebih parah.
Hasil studi tersebut dilakukan oleh Universitas East Anglia (UEA), Inggris. Penelitian yang terbit di jurnal Nature Climate Change, 3 Mei 2024, ini dipimpin institusi Mercator Research Institute on Global Commons and Climate Change (MCC) yang berbasis di Berlin, Jerman, dan melibatkan tim ilmuwan internasional.
Sejak tahun 2010, Organisasi Lingkungan Hidup PBB (UNEP) telah melakukan pengukuran tahunan terhadap kesenjangan emisi. Ini merupakan perbedaan antara janji perlindungan iklim negara-negara dan upaya nyata yang diperlukan untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius atau setidaknya di bawah 2 derajat celsius.
Laporan Kesenjangan Emisi UNEP dengan jelas menyatakan bahwa kebijakan iklim memerlukan lebih banyak ambisi. Sementara hasil studi terbaru dari UEA ini secara eksplisit menerapkan konsep analisis ini pada penghilangan karbon dioksida dari atmosfer.
”Dalam Laporan Kesenjangan Emisi, penghapusan karbon hanya diperhitungkan secara tidak langsung,” kata William Lamb, penulis utama studi ini dari kelompok kerja ilmu keberlanjutan terapan MCC, dikutip dari situs resmi UEA, Senin (6/5/2024).
Hasil studi ini menekankan, pembuangan karbon tahunan yang disebabkan oleh aktivitas manusia dapat meningkat jika target nasional dilaksanakan sepenuhnya. Jumlah karbon yang terhitung sebesar maksimum 500 juta ton atau 0,5 gigaton karbon dioksida (GtCO2) pada tahun 2030 dan maksimum sebesar 1,9 GtCO2 pada 2050.
Hal ini kontras dengan peningkatan sebesar 5,1 GtCO2 yang diperlukan dalam skenario fokus dengan strategi utama terkait peningkatan penggunaan energi terbarukan dan penghapusan energi fosil. Merujuk skenario ini, maka kesenjangan pada tahun 2050 tercatat sebesar 3,2 GtCO2 (diperoleh dari angka 5,1 GtCO2 dikurangi maksimum 1,9 GtCO2).
Selain itu, opsi penghapusan karbon baru, seperti sistem filter udara, hanya menghilangkan 0,002 GtCO2 per tahun dari atmosfer. Angka ini sangat kontras dibandingkan dengan penurunan 3 GtCO2 melalui opsi konvensional, seperti penghijauan.
Menurut Lamb, penghitungan upaya penurunan emisi dalam studi ini memang masih perlu disempurnakan. Namun, setidaknya hasil studi ini semakin membuka wacana mengenai seberapa banyak penghapusan karbon yang diperlukan untuk memenuhi Kesepakatan Paris.
Ia menegaskan, tolok ukur dari perlindungan iklim adalah emisi bersih atau jumlah emisi yang dihasilkan dikurangi pembuangan. ”Pengelolaan limbah bumi ini memberikan persyaratan baru bagi para pembuat kebijakan dan bahkan mungkin menjadi pilar utama perlindungan iklim pada paruh kedua abad ini,” katanya.
Emisi dari industri
Dalam studi terpisah lain, peneliti telah menunjukkan, emisi berbahaya dari sektor industri dapat dikurangi hingga 85 persen di seluruh dunia. Sektor industri besi dan baja, bahan kimia, semen, serta makanan dan minuman telah terbukti menyumbang sekitar seperempat emisi gas rumah kaca global yang menyebabkan perubahan iklim.
Studi terbaru yang dipimpin para peneliti dari University of Leeds, Inggris, menemukan, dekarbonisasi sektor ini secara teknis bisa dilakukan dengan kombinasi berbagai teknologi. Laporan lengkap studi ini telah terbit di jurnal Joule, 31 Januari 2024.
Laporan ini juga menunjukkan, teknologi listrik, seperti cracker uap listrik yang merupakan peralatan utama untuk memproduksi produk petrokimia, secara teoretis dapat berperan dalam upaya dekarbonisasi. Bahkan, emisi yang diturunkan langsung di sektor industri dengan teknologi ini dapat mencapai angka 40-100 persen.
Selain itu, teknologi elektrifikasi baru lainnya juga dapat membantu mengurangi emisi dari proses yang menggunakan banyak energi, seperti baja, semen, dan keramik. Elektrifikasi dalam sektor industri ini mungkin belum banyak dipikirkan oleh banyak pihak.
”Temuan kami mewakili sebuah langkah maju yang besar dalam membantu merancang strategi dekarbonisasi industri. Temuan ini merupakan prospek yang sangat menggembirakan terkait dengan kesehatan bumi di masa depan,” kata peneliti dekarbonisasi industri di Sekolah Teknik Kimia dan Proses Leeds yang juga penulis utama studi ini, Ahmed Gailani.