Kemendikbudristek Ungkap Tiga Tantangan Berat Perguruan Tinggi
Ada tiga tantangan besar yang membuat lulusan perguruan tinggi sekarang tak bisa lagi hanya mengandalkan ijazah.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Kemendikbudristek mengakui pendidikan tinggi tengah diterpa sejumlah tantangan berat. Perguruan tinggi harus beradaptasi dengan cepat agar bisa melahirkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan dunia kerja masa kini.
Hal itu dikatakan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Diktiristek) Kemendikbudristek Abdul Haris dalam acara wisuda sarjana dan pascasarjana Universitas Yarsi, Jakarta, Sabtu (27/4/2024). Haris menjabarkan, setidaknya ada tiga tantangan besar yang membuat lulusan perguruan tinggi sekarang tidak bisa lagi hanya bermodalkan dokumen ijazah.
Pertama, perguruan tinggi sekarang harus mencetak lulusan yang relevan dengan kebutuhan dunia industri. Perubahan kebutuhan industri dunia yang begitu cepat menjadi tantangan sehingga perguruan tinggi harus beradaptasi dengan sangat cepat.
”Relevansi pendidikan tinggi menjadi kunci untuk mempersempit jurang atau gap dari mismatch antara dunia akademik dengan dunia industri. Kita sering menyebut sebagai less relevance of higher education. Pendidikan tradisional secara perlahan harus kita tinggalkan,” kata Haris.
Mahasiswa pun dituntut untuk mengembangkan diri dengan perkembangan zaman. Kecerdasan akademik dengan nilai yang bagus di ijazah saja tidak cukup, perlu pengembangan skill yang sesuai dengan kebutuhan dunia industri.
”Di samping munculnya skill-skill baru yang dibutuhkan dalam dunia kerja, sekarang sudah masuk ke zaman artificial intelligence. Kita harus mempersiapkan lulusan kita dengan kemampuan literasi digital agar mereka juga mampu menghadapi persaingan global di dunia kerja,” ucapnya.
Tantangan kedua berkaitan dengan akses ke perguruan tinggi yang masih terbatas. Ini tergambar dalam data dari Dirjen Diktiristek yang menunjukkan bahwa angka partisipasi kasar saat ini masih sekitar 31,45 persen. Tertinggal dari Malaysia 43 persen, Thailand 49,29 persen, dan Singapura 91,09 persen.
Artinya masih ada keterbatasan bagi siswa-siswi untuk bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ini dipengaruhi banyak faktor, yang paling utama adalah kemampuan ekonomi masyarakat tak menjangkau perguruan tinggi.
”Keterbatasan akses ini semakin lebar. Apabila kita lihat pada penyandang disabilitas, hanya sekitar 2,8 persen yang bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi,” tutur Haris.
Terakhir, kualitas perguruan tinggi juga harus terus ditingkatkan karena saat ini hanya sekitar 2 persen perguruan tinggi yang memiliki akreditasi unggul. Saat ini, Indonesia memiliki hampir 4.356 perguruan tinggi yang terdiri dari 349 perguruan tinggi negeri dan 4.007 perguruan tinggi swasta.
Dengan demikian, Haris mendorong semua perguruan tinggi untuk bersama pemerintah menjawab berbagai tantangan ini. Tidak hanya untuk perguruan tinggi negeri, tetapi juga untuk perguruan tinggi swasta, seperti Universitas Yarsi.
Rektor Universitas Yarsi Fasli Jalal mengakui, pihaknya juga terus beradaptasi menjawab tantangan tersebut. Salah satunya dengan pendidikan entrepreneur kepada mahasiswanya agar lulus bisa menjadi pengusaha.
Dalam wisuda kali ini, Universitas Yarsi meluluskan 406 orang yang terdiri dari 378 orang sarjana dan 28 orang pascasarjana. Jumlah ini lebih banyak dari wisuda periode sebelumnya, yakni 439 orang. Fasli meminta mereka semua untuk menjadi lulusan yang berani menjawab tantangan zaman.
”Dunia penuh tantangan, tapi juga dunia sangat menjanjikan,” kata Fasli.