Jalan Pagi Menilik Rumah Belanda Tersisa di Menteng
Rumah Belanda di Menteng tersisa 15 persen saja. Kebanyakan sudah dihancurkan dan dibangun bergaya modern masa kini.
Sabtu pagi, ketika matahari mulai menghangatkan kepala, berkumpul sekelompok orang dari sejumlah negara di Taman Suropati, Menteng, Jakarta. Satu per satu berkenalan untuk pertama kalinya, sebagian yang lain berpelukan lebih akrab karena sudah lama tak jumpa.
Mereka dipersatukan oleh tujuan yang sama, yakni memulai akhir pekan dengan berolahraga sekaligus belajar tentang sejarah rumah-rumah tua di kawasan Menteng. Gerakan ini digagas oleh Indonesian Heritage Society (IHS), sebuah yayasan nirlaba sejak 1970 yang memperkenalkan dan mengkaji kekayaan budaya Indonesia.
Tepat pukul 09.00, setelah 100 peserta berkumpul di Taman Suropati, mereka dibagi menjadi empat grup, lalu memulai tur jalan pagi bergantian mengunjungi empat rumah lawas di Menteng. Mulai dari rumah Duta Besar Belgia, rumah Duta Besar Mesir, dan rumah Duta Besar Belanda di Jalan Diponegoro.
Kemudian bergeser ke rumah profesor Rasmin Rasjid, guru besar pertama bidang pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, di Jalan Syamsu Rizal. Tur berakhir di galeri dan restoran Tugu Kunstkring Paleis di Jalan Teuku Umar. Total rombongan berjalan kaki sekitar 3,5 kilometer.
Kaca patri ini belum pernah diganti dari dulu, Saya juga tidak berani menggunakan teknisi lokal di sini untuk merenovasinya.
Keempat rumah ini bergaya Belanda karena dahulu Menteng dibangun oleh seorang seniman sekaligus arsitek asal Belanda, Pieter Adriaan Jacobus ”Piet” Moojen, medio 1920-an. Kala itu, usianya 31 tahun dan mempunyai ide menyulap hutan Menteng menjadi sebuah kota taman.
Proposalnya diterima oleh Pemerintah Hindia Belanda, lalu Moojen mendirikan NV de Bouwploeg, sebuah perusahaan pengembang real estat pertama di Indonesia. Karya pertamanya adalah kantor NV de Bouwploeg yang kini menjadi Masjid Cut Muetia di dekat Stasiun Gondangdia.
Sementara itu, di rumah Duta Besar Belgia, rombongan tur disambut dengan hangat oleh Duta Besar Belgia untuk Indonesia Frank Felix. Menurut Frank, rumah bergaya Belanda ini dibangun pada 1928, lalu direnovasi pada 1940 oleh arsitek ternama Belanda, J Th van Oyen, agar cocok dengan gaya Belgia.
Baca juga: Jejak Albert Einstein di Brussels
Ciri khas yang paling menarik perhatian adalah atapnya yang menyerupai kubah atau mereka sebut convex mansard roof. Pada zaman dahulu, kubah ini berfungsi sebagai sumber pencahayaan dan sirkulasi udara. Oleh karena itu, langit-langit rumahnya terbuat dari kaca patri untuk menyinari ruang tengah.
”Kaca patri ini belum pernah diganti dari dulu. Saya juga tidak berani menggunakan teknisi lokal di sini untuk merenovasinya. Sepertinya harus orang Belanda atau Belgia langsung yang mengerjakan,” kata Frank, Sabtu (20/4/2024).
Rumah Belanda memang dikenal dengan fasad berbentuk heksagonal, dengan dinding tebal, lantai ubin atau marmer, dan langit-langit yang tinggi. Rancangan ini membuat rumah terasa dingin di dalam walau cuaca pagi itu panas terik.
Begitu pula rumah Frank dengan ruang tamu di bagian depannya. Di sebelahnya terdapat ruangan besar lain dengan meja besar dan panjang sebagai ruang makan. Bergeser ke ruang depan lain, terdapat ruang perpustakaan mini dan pajangan berbagai cendera mata dari para tamu.
Baca juga: Museum Bukan Sekadar Menyimpan Benda Bersejarah
Masuk sedikit ke dalam, di ruang tengah terdapat ruang keluarga yang lebih hangat dengan sofa dan televisi. Ruangan ini tidak tertutup dinding, melainkan pintu-pintu kaca besar yang membuatnya terasa lebih luas daripada ruang depan.
Di belakang terdapat kolam renang kecil dan dua bangunan terpisah yang menyerupai rumah utama. Satu dipergunakan untuk kamar tamu, satu untuk pegawai yang juga tinggal di rumah tersebut.
Penghuni pertama rumah ini adalah A Krayenhoff, Direktur Bataviasche Verkeers Maatschappij, pada 1932-1933. Dia adalah salah satu penyedia layanan trem dan bus di Indonesia, khususnya di Jakarta.
Setelah 45 menit bercengkerama dengan Frank, rombongan tur kemudian berjalan 650 meter ke arah timur, ke rumah Dubes Mesir Ashraf Mohamed Moguib Sultan. Namun, rumah ini sedang dalam proses renovasi. Para peserta tur hanya bisa melihat bagian luar dan ruang tamunya.
Baca juga: Mesir Siapkan Lahan Suaka untuk Antisipasi jika Israel Serang Rafah
Rumah ini dibangun oleh arsitek Belanda, NJ Kruizinga,mpada 1925. Fasadnya tak jauh berbeda dengan rumah sebelumnyak tetapi Dubes Mesir banyak menambah ornamen jati yang dipesannya dari Jepara untuk dipasang di dinding dan pintu-pintunya.
Dubes Belanda
Tak berlangsung lama, tur bergeser lagi menyeberang ke kediaman Dubes Belanda yang disambut oleh sang duta besar, Lambert Grijns. Berbeda dengan dua rumah sebelumnya, rumah ini bergaya lebih modern karena dibangun pada 1950.
”Dulu di depan sini ada pom bensin di pinggir jalan, orang bisa mengisi di sana, itu yang saya suka karena sangat ikonik. Sisanya seperti kantor saja karena dulu ini memang kantor imigrasi Belanda,” kata Lambert.
Di dalam rumah, Lambert memajang sejumlah koleksi karya seni yang mengingatkan pada momen istimewa. Salah satunya adalah sketsa Candi Borobudur karya Marius Bauer yang mengingatkan pada masa kecilnya di Indonesia. Di ruang makan, terpampang sejumlah foto potret perempuan Indonesia karya fotografer Belanda, Marco van Duijvendijk, yang dimaknai sebagai ”kekuatan perempuan Indonesia”.
Memasuki area taman belakang, sejumlah kursi dan meja jati ditempatkan di teras belakang menghadap ke kolam renang. Di setiap kursi terukir nama-nama kota di Belanda, seperti Den Haag, Amsterdam, Rotterdam, dan Groningen. Kursi tersebut ditempatkan sejajar dengan kursi berukir nama kota di Indonesia, seperti Jakarta dan Yogyakarta.
”Merupakan hal yang istimewa bagi saya bisa bekerja dan tinggal di kediaman spektakuler ini, dan menikmati karya seni dan desain Belanda yang indah, serta taman yang cantik setiap hari,” ucapnya.
Baca juga: Lambert Grijns, Mantap Betul
Setelah suguhan jajanan pasar dan teh hangat habis disantap, tur bergeser lagi ke rumah terakhir, rumah dokter Rasmin Rasjid. Rumah ini bentuknya lebih jadul dengan ubin abu-abu yang membuatnya lebih dingin ketika ditapaki.
Semua bagian rumah, mulai dari lantai, jendela, daun pintu jati, pagar pembatas, hingga atap merahnya masih asli dari tahun 1920-an. Kunci dan gagang pintunya pun masih kuno terbuat dari besi tebal sampai hari ini.
”Kunci ini merawatnya susah, kalau rusak harus dibawa ke tukang pandai besi, tidak bisa ke tukang duplikat kunci biasa,” kata Jurian Andika, cucu dokter Rasmin.
Furnitur jati yang besar dengan foto-foto keluarga menghiasi rumah tersebut. Walau Rasmin sudah meninggal pada 2020 lalu, rumah ini tetap menjadi tujuan pulang bagi keluarga besarnya. Beberapa waktu lalu, saat Lebaran, keluarga besar berkumpul bercengkerama ala keluarga Minangkabau.
Sepanjang Jalan Samsyu Rizal ini memang dulu dikenal sebagai kompleks para dokter, misalnya pada rumah nomor 6, 10, 11, dan 12. Dokter gigi Presiden Soekarno, Tuan Oei Hong Kian (1921-2015), pernah tinggal di rumah nomor 12 dari tahun 1950-an. Rumah itu pun masih menjadi tempat praktik kedokteran gigi hingga saat ini.
Tersisa 15 persen
Pemilik Penerbit Lost Jakarta sekaligus penulis asal Belanda, Sven Verbeek Wolthuys, mengungkapkan, mayoritas rumah peninggalan arsitek Belanda di Menteng sudah dihancurkan oleh pemiliknya. Bangunan itu kemudian berubah dengan gaya modern masa kini.
Bangunan yang masih mempertahankan arsitektur Belanda tinggal tersisa 15 persen. Hanya 3 persen di antaranya yang dimiliki pribadi dan dalam kondisi baik. Sementara 12 persen lainnya dikuasai oleh Pemerintah Indonesia dan negara lain untuk menjadi rumah pejabat.
Sven menilai, kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor, mulai dari kebutuhan modern yang berubah, penghuni yang berganti, melonjaknya harga tanah, hingga ketidakmampuan penghuni merawat rumah Belanda. Banyak juga penghuni yang tidak memiliki pengetahuan dan tidak tertarik dengan sejarah Menteng dan desain aslinya sehingga mereka melakukan renovasi.
”Salah satu cara menyelamatkan 15 persen tersisa ini yakni dengan tur jalan-jalan seperti ini, lalu memperbanyak informasi di media untuk meningkatkan kepedulian masyarakat pada cagar budaya,” katanya.
Sven kini tengah menulis buku berjudul Menteng: Tata Kota yang Prestisius, Arsitektur yang Khas, dan Tantangan untuk Melestarikannya. Buku ini akan diterbitkan pada tahun 2025.
Sebelumnya, melalui riset pribadi selama 30 tahun dan lima tahun menulis, Sven telah menerbitkan buku berjudul 250 Years in Old Jakarta pada 2019. Buku setebal 336 halaman ini menjadi panduan yang komprehensif mengenai sejarah kawasan Tanah Abang era kolonial Belanda.
Baca juga: Tanah Abang dalam Kenangan Sven Verbeek Wolthuys
Ketua Umum Perkumpulan Pelestari Kawasan Bersejarah Menteng (Menteng Heritage Society) Halida Hatta menegaskan, Menteng adalah tempat penting dalam sejarah Indonesia. Pembuatan teks proklamasi, yang diikuti dengan deklarasi kemerdekaan Indonesia, terjadi di Menteng.
”Kita semua memiliki keinginan yang sama untuk menghormati warisan sejarah dan pada saat yang sama mempelajari dan menghargai peradabannya untuk mendapatkan kekuatan dalam menghadapi masa depan,” kata bungsu dari Wakil Presiden pertama RI Mohammad Hatta ini.