Tidak Hanya Atasi Depresi, PPDS Perlu Perbaikan Jam Kerja dan Kesejahteraan
Perbaikan pendidikan dokter spesialis perlu serius dilakukan. Selain soal depresi, juga jam kerja dan kesejahteraan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hasil penapisan kesehatan jiwa peserta program pendidikan dokter spesialis yang menunjukkan gejala depresi perlu ditindaklanjuti. Hal ini diperlukan agar peserta didik mendapat penanganan dengan baik sehingga bisa melayani secara bermutu dan mengutamakan keselamatan pasien.
Di sisi lain, persoalan ini juga menuntut adanya perbaikan dalam pelaksanaan program pendidikan dokter spesialis (PPDS) dari segi jam kerja, kesejahteraan, dan beban kerja.
Data Kementerian Kesehatan mencatat 22,4 persen calon dokter spesialis atau mahasiswa PPDS terdeteksi mengalami gejala depresi. Sekitar 3 persen dari responden bahkan mengaku merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun.
Hal ini berdasarkan hasil penapisan (skrining) kesehatan jiwa mahasiswa PPDS di 28 rumah sakit vertikal pada 21, 22, dan 24 Maret 2024. Penapisan dilakukan pada 12.121 peserta PPDS dengan menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire-9.
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi dalam temu media ”Skrining pada PPDS di Sejumlah Rumah Sakit Vertikal Pemerintah Pusat”, di Jakarta, Jumat (19/4/2024), memaparkan, pemicu terbanyak depresi pada peserta PPDS adalah persoalan jam kerja.
Hingga saat ini belum ada waktu ideal yang secara resmi ditetapkan pemerintah terkait batas jam kerja para residen.
Menurut Adib, jika keluhan depresi pada peserta PPDS tidak serius diatasi, hal itu dapat berdampak pada penanganan keselamatan pasien. Merujuk pada sejumlah riset, 41-76 persen mahasiswa PPDS mengalami burnout (kelelahan fisik dan mental) dan 7-56 persen mengalami depresi.
Ketua Junior Doctors Network Indonesia Tommy Dharmawan mengatakan, isu depresi pada calon dokter spesialis ini perlu ditangani dengan baik. Para calon dokter spesialis menjalani proses magang untuk memastikan mereka dapat mencapai kompetensi yang ditetapkan kolegium dan program studi.
Perlu jam terbang tinggi
Menurut Tommy, terkait temuan depresi pada calon dokter spesialis, hal ini dapat menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan. Jam kerja, misalnya, perlu ditetapkan secara manusiawi. Secara umum di dunia, rata-rata jam kerja maksimal 80 jam per minggu.
”Karena PPDS sifatnya magang untuk mencapai kompetensi, jika belum tercapai bisa ada tambahan waktu,” ujarnya.
Soal jam kerja peserta PPDS, lanjut Tommy, berdasarkan dengar pendapat dan survei internal, memang masih menjadi masalah. Jika jam kerja melampaui rata-rata, calon dokter bisa menjadi lelah sehingga dapat memicu depresi.
”Untuk mencapai kompetensi dokter spesialis, sama seperti pilot, perlu jam terbang tinggi. Namun, jam kerja ini harus manusiawi. Dari literatur, titik temu jam kerja sehingga calon dokter spesialis bisa menguasai kompetensi adalah 80 jam per minggu,” tuturnya.
Kesejahteraan calon dokter spesialis juga bisa menjadi pemicu depresi. Mereka bekerja, tetapi tak mendapat gaji. Padahal, mereka mengeluarkan biaya untuk pendidikan, hidup, dan keluarga. Sesuai Undang-Undang Pendidikan Dokter, semestinya residen digaji, tetapi kenyataannya di Indonesia tidak digaji.
Tommy memaparkan, saat dirinya mengikuti program beasiswa atau fellowship di Singapura, gaji calon dokter spesialis mencapai 2.650 dollar Singapura. Di Malaysia, calon dokter spesialis juga dibayar sekitar Rp 15 juta.
”Besaran untuk di Indonesia tentunya disesuaikan dengan kearifan lokal untuk pembiayaan. Masalah kesejahteraan dokter di Indonesia ini miris, apalagi dokter umum. Jadi, selain soal depresi, ada masalah kesejahteraan dokter,” katanya.
”Jika tidak punya uang, bagaimana mau mencukupi kebutuhan hidup. Posisi lemah ini bisa membuat bullying (perundungan) pada yunior. Ini perlu jadi perhatian. Gaji untuk peserta PPDS ini karena mereka bekerja sebagai pelayanan,” papar Tommy.
Di beberapa rumah sakit pendidikan, ada beban administrasi yang harus dilakukan residen, misalnya mencatat jumlah operasi atau basis data pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan. Beban administrasi ini seharusnya ditiadakan bagi calon dokter spesialis.
Sementara Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Agung Frijanto mengatakan, hasil skrining merupakan tahapan awal.
Agar hasilnya valid dan komprehensif, perlu dilakukan penegakan diagnosis, yakni wawancara psikiatri atau psikologis, kepada responden yang menunjukkan gejala depresi tinggi. ”Perlu ditindaklanjuti tahapan seperti di peraturan kementerian kesehatan, dari skrining dan wawancara serta pemeriksaan penunjang,” ujarnya.
Menurut Agung, banyak peserta PPDS dan mahasiswa kedokteran mempunyai masalah kesehatan jiwa. Namun, dengan penapisan dan pemeriksaan berkala, kondisi kesehatan mental bisa pulih. Seperti gangguan fisik lain, depresi atau kecemasan bisa ditata laksana dan bisa pulih.
”Ini penting sebagai preventif di masa pendidikan. Tujuannya agar jika sudah menjadi dokter spesialis bisa menjaga mutu dan keselamatan pasien dengan mental lebih baik,” ungkapnya.