Plagiasi Publikasi Ilmiah, Integritas Akademik di Perguruan Tinggi Perlu Dievaluasi
Komitmen pada integritas akademik masih menjadi masalah di perguruan tinggi, baik oleh individu maupun institusi.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Integritas akademik di perguruan tinggi, baik secara individu maupun institusi, butuh perhatian serius. Evaluasi terhadap aktivitas Tri Dharma dosen dibutuhkan untuk menghindari berulangnya pelanggaran integritas akademik, terutama terkait plagiasipublikasi ilmiah.
Kasus dugaan plagiasi publikasi ilmiah, pencatutan, hingga penerbitan di jurnal ilmiah predator yang melibatkan dosen perguruan tinggi Indonesia hingga Kamis (18/4/2024), terus terjadi. Tim Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek, tengah membentuk tim untuk menyelidiki dugaan pencatutan nama atau plagiasi yang melibatkan salah satu guru besar Universitas Nasional (Unas) Kumba Digdowiseiso yang juga Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unas.
Berdasarkan tulisan di laman https://retractionwatch.com berjudul The dean who came to visit and added dozens of authors without their knowledge, disebutkan sejumlah dosen dosen di Universiti Malaysia Terengganu mempermasalahkan nama mereka yang muncul di samping penulis yang tidak dikenal: Kumba Digdowiseiso, Dekan FEB Unas. Kumba memang pernah berkunjung ke salah satu universitas di Malaysia ini untuk merintis kerja sama internasional.
Hal tersebut terungkap dari dari Google Scholar. Padahal, para dosen tersebut mengaku tidak pernah menulis bersama. Diduga, publikasi ilmiah tersebut terbit di jurnal penipuan atau predator. Di tahun 2024 saja, ada 160 di profil Google Scholar milik sang guru besar tersebut.
Pada Januari lalu, sempat juga mencuat isu, demi meraih akreditasi B, program studi ilmu komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara, diduga memalsukan puluhan karya ilmiah. Dikabarkan ada pemanggilan sejumlah nama yang tercatut dalam karya ilmiah oleh Polrestabes Medan. Para peneliti dalam riset tidak mengetahui ada karya ilmiah terbit dengan judul seperti dalam berkas, termasuk soal pemberian dana sekitar Rp 21 juta per satu kajian.
Saat dikonfirmasi pada akhir Januari, Humas UIN Sumut Yuni Salma mengatakan, pimpinan sedang mempelajari masalah tersebut dan menghimpun keterangan. “Mohon izin kami belum dapat memberikan keterangan secara rinci,” kata Yuni.
Sebelum acara Halal Bi halal Idul Fitri Tahun 2024 di lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek), Kemendikbudristek, Direktur Jenderal Diktiristek Abdul Haris mengatakan, pihaknya perlu berhati-hati dalam menyikapi kasus dugaan plagiasi yang melibatkan dosen, termasuk yang terbaru, yaitu guru besar Unas.
“Jika pada tahun 2024, dalam 105 hari sudah ada 160 publikasi, ya super sekali. Sehari bisa sampai dua publikasi, rasanya tidak masuk akal. Kami masih belum tahu bagaimana prosesnya bisa seperti itu, kasus ini masih dalam penyelidikan. Ada tim di bawah Direktorat Sumber Daya, Diktiristek, yang akan mendalami,” kata dia.
Integritas akademik di perguruan tinggi, baik individu maupun institusi, menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan serius. Evaluasi perlu dilakukan, baik secara individu maupun kelembagaan.
Haris memaparkan, dari laporan di Indonesia ada sekitar 22.000 jurnal ilmiah dengan bermacam-macam klasifikasi. Jurnal ilmiah untuk penerbitan publikasi ilmiah dosen dan ilmuwan tersebut akan dievaluasi untuk mengetahui secara jelas mana yang memenuhi syarat untuk diteruskan, bahkan ditingkatkan menjadi level nasional dan internasional demi menjaga kualitas publikasi ilmiah.
“Penerapaan integritas akademik bisa dengan mengevaluasi atau me-review kegiatan ilmiah para dosen. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari kejadian kecurangan terulang di masa depan,” kata Haris.
Evaluasi dilakukan juga dengan mengubah paradigma berpikir untuk tidak sekadar mengejar kuantitas. Sebab, kualitas juga menjadi hal yang penting.
Jika pada tahun 2024, dalam 105 hari sudah ada 160 publikasi, ya super sekali. Sehari bisa sampai dua publikasi, rasanya tidak masuk akal.
Secara terpisah, Direktur Riset, Teknologi, dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Kemendikbudristek, Faiz Syuaib mengatakan, Tri Dharma perguruan tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, merupakan satu kesatuan, tidak berdiri sendiri-sendiri. Dalam menjalankan Tri Dharma, terutama riset, integritas personal dan sistem sangatlah penting.
Teknologi atau inovasi riset yang baik, kata Faiz, berasal dari proses dan tata kelola riset yang baik. Orang yang melakukan riset harus punya reputasi riset di bidangnya. “Jangan hanya karena jago membuat proposal, jadi mendapat kesempatan riset. Tapi yang memang relevan dengan bidang keilmuan. Karena itu, penelitian berbasis track record dibangun dengan database yang baik,” ujar Faiz.
Faiz mengatakan, pihaknya tengah menyusun data profil periset dan industri. Dengan adanya database dan data sistem, maka ada mekanisme untuk menelusuri profil peneliti dan perguruan tinggi, sehingga memiliki rekam jejak yang spesifik tentang keunggulan penelitian dibandingkan dengan yang lain.
Fokus pada kualitas
Direktur Riset dan Pengembangan Universitas Indoensia (UI) Munawar Khalil mengatakan, penelitian UI yang awalnya berfokus pada kuantitas kini bergeser ke kualitas. Hal ini diraih dengan melakukan berbagai strategi dalam transformasi riset
”Kami berharap, di tahun 2024, publikasi UI di jurnal Q1 bisa berada di atas 50 persen. Sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Pengembangan Jangka Panjang (RPJP), target UI di tahun 2025 adalah menjadi top 5 ASEAN. Sementara publikasi riset Q1 pada universitas-universitas top 5 ASEAN saat ini sudah berada di atas 70 persen,” ujar Khalil.
Dulu, UI mendorong para peneliti untuk memublikasikan hasil risetnya di jurnal mana pun agar jumlah artikel meningkat dan budaya menulis di kalangan peneliti semakin tumbuh. Namun, sejak tahun 2020an, fokus UI tidak lagi mengejar kuantitas tetapi kualitas, sehingga riset-riset yang dilakukan dapat dimuat dalam jurnal-jurnal terbaik dunia.
Sementara itu, Wakil Rektor Riset dan Alih Teknologi Binus University Juneman Abraham menambahkan, performa indikator penting sebagai pegangan. Di kampus ada target jumlah publikasi, paten, sitasi, dan hak kekayaan intelektual
”Jika indikator-indikator itu jadi tujuan, nanti budaya riset dan budaya ilmiah tidak terbangun. Hal penting bagaimana sains untuk kesejahteraan masyarakat jangan sampai terlupakan karena mengejar jumlah yang dipenuhi dengan perjokian publikasi,” ujarnya.
Juneman mengusulkan agar perguruan tinggi mau merumuskan indikator-indikator yang lebih menggambarkan kompleksitas, tidak sekadar jumlah paten atau publikasi. Sebab, sains yang dikontribusikan ke masyarakat membuatnya lebih kokoh dan teruji.
”Kita harus mampu membangun budaya riset dengan kreatif dan dialogis. Kita ingin hasil riset populer dan dinikmati masyarakat awam. Publikasi itu bukan pekerjaan sekali jadi, melainkan perlu didialogkan. Karena itu, perlu ada sains terbuka atau open science untuk mendialogkan paper atau publikasi yang sudah terbit, misalnya,” kata Juneman.