Kemendikbudristek Akan Dalami Temuan Depresi pada Calon Dokter Spesialis
Pendidikan dokter spesialis butuh perhatian dengan ditemukannya calon dokter yang depresi. Evaluasi dibutuhkan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Temuan gejala depresi pada sejumlah calon dokter yang menjalani program pendidikan dokter spesialis perlu mendapat perhatian dan ditindaklanjuti. Pendalaman akan dilakukan untuk dapat memastikan peserta program pendidikan dokter spesialis menjalani pendidikan dengan baik.
”Baru akan kami dalami sehingga bisa melakukan evaluasi dan perbaikan bersama berbagai pihak terkait,” kata Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Sri Suning Kusumawardani, Selasa (16/4/2024) di Jakarta.
Seperti diberitakan, berdasarkan hasil penapisan atau skrining kesehatan jiwa pada peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) di 28 rumah sakit vertikal ditemukan 22,4 persen peserta terdeteksi mengalami gejala depresi. Sekitar 3 persen mengaku merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apa pun.
Penapisan tersebut dilakukan pada 21, 22, dan 24 Maret 2024 dengan menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire -9. Sebanyak 12.121 PPDS terlibat dalam penapisan tersebut.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam mengatakan, pendidikan untuk PPDS memang memiliki beban yang cukup besar. Beban pelayanan di rumah sakit vertikal juga sangat besar sehingga tidak menutup kemungkinan peserta PPDS yang belajar dan melayani di rumah sakit vertikal berisiko mengalami depresi.
Selain itu, Ari mengatakan, latar belakang dari setiap PPDS juga bisa berpengaruh pada kondisi psikologis dari setiap individu. Persoalan ekonomi yang dihadapi juga bisa menjadi penyebab. Saat ini 80-85 persen PPDS menggunakan biaya sendiri untuk pendidikan dalam program tersebut.
Bergantung permintaan
Dalam diskusi di Universitas Yarsi tahun lalu, Nizam yang saat itu menjabat Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek mengatakan, pemenuhan dokter oleh perguruan tinggi (PT) hingga kini bersumber pada permintaan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Pada 2010, Kemenkes meminta 5.000 hingga 10.000 dokter per tahun. Setelah Undang-Undang Pendidikan Kedokteran terbit pada 2013, jumlah lulusan dari fakultas kedokteran lebih dari 12.000 per tahun.
Kemudian pada 2016 ada moratorium pembukaan FK karena jumlah dokter sudah melampaui kebutuhan. Mulai tahun 2022, moratorium FK dibuka kembali dan kapasitas ditambah. Bahkan, rasio pendidik, residen awalnya 1:3 menjadi 1:5.
Disebutkan, jumlah mahasiswa kedokteran bisa ditambah dengan dukungan penambahan rumah sakit pendidikan dan pendanaan. Terkait pemenuhan dokter spesialis sebenarnya bisa diatasi karena peserta PPDS di fakultas kedokteran bisa disiapkan kapasita nya. Hingga tahun 2023, dari 800 RS yang berpotensi menjadi RS pendidikan, baru 300 RS yang diakreditasi Kemenkes menjadi RS pendidikan.
Sudah mapan
Dalam policy brief bertajuk ”Academic Health System sebagai Solusi Isu Pendidikan dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan” yang dikeluarkan Indonesian Medical Education and Research Institute (IMERI), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pada Maret 2023, menjelaskan, pendidikan dokter spesialis dan subspesialis pada sistem university-based yang diterapkan saat ini, telah memiliki standar, sistem penerimaan peserta didik, dan kurikulum pendidikan yang mapan melalui universitas.
Keberadaan university-based yang dilandasi oleh UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran juga mengamanatkan peserta didik mendapatkan insentif dari rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran. Namun, hingga saat ini belum direalisasikan. Peserta didik masih dianggap seperti mahasiswa perguruan tinggi yang perlu membayar sejumlah SPP dalam masa pendidikannya.
Program afirmasi dan beasiswa selama ini dinilai belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dan target.
Dengan adanya diskursus hospital-based/college-based vs university-based, diperlukan penguatan solusi dalam bentuk academic health system (AHS) yang memiliki pilar fakultas kedokteran, fakultas rumpun ilmu kesehatan lain, satu atau lebih RS pendidikan, wahana pendidikan klinis, serta pemerintah daerah. Hal ini untuk menjawab penambahan jumlah dokter spesialis tanpa mengurangi kualitas luaran.
Pemerintah perlu membuat peta jalan yang jelas untuk pelaksanaan pendidikan dokter spesialis dan rencana distribusinya. Hal vital yang perlu diperhatikan, antara lain, kebutuhan sumber daya rumah sakit, tempat pelaksanaan pendidikan dan praktik, kemampuan pendanaan, aturan kontrol kualitas, kuantitas, dan sebaran institusi, serta aturan kurikulum. Adanya otonomi daerah dan desentralisasi juga menyebabkan kebijakan distribusi dokter tidak dapat diselesaikan hanya melalui kebijakan pemerintah pusat (Kemenkes), tetapi juga pemerintah daerah (dinas kesehatan) dan mitra (termasuk swasta).
Dari kajian IMERI FKUI, AHS dapat membantu distribusi dokter di Indonesia serta kecepatan produksi luaran yang kurang untuk memenuhi jumlah kebutuhan spesialis. Hal ini dapat dilakukan dengan penerimaan melalui program afirmasi dan beasiswa yang disertai penguatan sistem. Program afirmasi dan beasiswa selama ini dinilai belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dan target. Selain itu, menjamin luaran yang berkualitas untuk ditempatkan di daerah, didukung dengan adanya perjanjian, insentif, serta fasilitas dan lingkungan pendukung dokter.
Dengan AHS juga dapat menambah jumlah rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan yang terukur dan terstandar sehingga mengakomodasi RS Vertikal Kemenkes yang telah memiliki kualifikasi sebagai wahana pendidikan. Dengan perbaikan dan peningkatan yang dilakukan oleh institusi bekerja sama dengan pemerintah, AHS dapat membantu menjamin peserta didik mendapatkan perlindungan (remunerasi, jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja, pengaturan jam kerja, dan hak-hak lain sesuai hukum yang berlaku, dan pencapaian kompetensi dalam supervisi adekuat).
Untuk itu, perlu anggaran dan payung hukum dari pemerintah sebagai komitmen untuk penambahan kuantitas dan distribusi dokter yang berkualitas. Termasuk mengampu biaya pendidikan dan biaya remunerasi, jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja, pembatasan jam kerja. Anggaran dan payung hukum menjadi kendala selama ini justru menjadi kendala pada pelaksanaan UU No 20/2013. Keadaan tidak akan berubah dengan keberadaan UU Kesehatan jika terulang kegagalan untuk menjamin implementasi AHS.