Kasih Tak Berubah, Meski Anak Berulah
Orangtua rela bercucuran keringat demi merayakan Lebaran bersama anak-anaknya yang mendekam di hotel "prodeo".
Hati yang beku, akhirnya mencair juga ketika Idul Fitri tiba. Para orangtua dengan welas asih mengunjungi anak-anaknya yang terpaksa harus mendekam di hotel prodeo. Kehangatan pun tercipta dengan mandiri, meski jauh dari kata ideal. Realitas ini cerminan cinta orangtua tak berubah, meski anak berulah.
Kholik (58) berkali-kali menyeka keringat yang terus mengalir dari wajahnya. Air mineral yang sesekali membasahi tenggorokan dan naungan tenda tempat dia berlindung tak mampu menghalau panasnya suhu di sekitar halaman Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Cipinang, Jakarta Timur, Rabu (10/4/2024) siang.
Suhu di wilayah sekitar yang mencapai 33 derajat celcius siang itu tak menyurutkan tekad Kholik bertahan di sana. Dia rela mengantre, lalu menunggu panggilan petugas lapas, demi membesuk salah satu warga binaan yang sedang menjalani masa binaan di lembaga pemasyarakatan.
"Mau bertemu anak saya, umurnya masih 23 tahun. Dia empat tahun yang lalu, ditangkap polisi karena narkoba," kata lelaki yang berdomisi di Tanjung Priok, Jakarta Utara itu.
Suasana Lebaran yang sejatinya jadi momen berkesan untuk berkumpul bersama seluruh anggota keluarga tak lagi terasa bagi ayah yang memiliki delapan anak itu. Selama empat tahun, saat Lebaran, selain berkumpul bersama keluarga di rumah, mereka punya ritual tambahan, yakni bersilahturahmi ke lapas.
Kholik marah saat anaknya diringkus polisi. Dia tak marah kepada aparat negara, tak juga pada anaknya. Akan tetapi, Kholik marah pada diri sendiri lantaran berbagai nasihat, pesan, dan laku yang dia sampaikan dan tunjukkan kepada delapan anaknya, tak semua berarti.
"Waktu itu, umurnya baru 19 tahun. Masih remaja dan pergaulannya terlalu bebas. Sulit sekali diatur," kata lelaki yang lahir di Tegal, Jawa Tengah itu.
Satu pekan sebelum anaknya ditangkap, Kholik masih mengingatkan putranya untuk berhenti memakai dan mengedarkan narkoba. Narkoba menurutnya, tak hanya merusak kesehatan, tetapi juga mengancam kebebasan.
Nasehat itu rupanya bukan isapan jempol. Anaknya benar-benar tertangkap saat sedang mengedarkan narkoba. "Dia sudah jadi pecandu. Jadi, mau enggak mau, kalau mau dapat barang itu, dia antar ke orang yang mau beli," ucapnya.
Kholik tak berdaya saat mendengar kabar anaknya tertangkap polisi. Dia awalnya acuh dan tak lagi peduli. Namun, sebagai orangtua, lama kelamaan tersentuh dan rindu berjumpa anaknya.
"Saya dua tahun tidak pernah berkunjung. Hanya ibunya yang sering ke sini," ucapnya.
Pekerja serabutan itu, pertama kali mengunjungi anaknya saat Lebaran 2023. Saat itu, ketika bertemu anaknya, hanya pelukan dan sedikit nasihat yang kembali dia sampaikan putranya.
"Masalah anak, pasti diampuni. Orang lain saja kita ampuni. Sebagai orangtua, saya hanya mengingatkan," katanya.
Kunjungan mereka kali ini pun bakal jadi silahturahmi terakhir bersama anaknya di lapas. Putranya yang menjalani hukuman penjara selama 5 tahun itu, bakal bebas pada Juli 2024.
Rela berkorban harta
Sedih, marah, juga malu akibat laku anak juga dirasakan Marjan (68), salah satu warga yang tinggal di Senen, Jakarta Pusat. Dia pada Rabu siang, sabar menanti giliran demi membesuk anaknya yang sudah hampir 6 bulan menjalani kurungan penjara di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.
"Anak bontot. Kasusnya belum diputus, masih sidang di pengadilan," kata ayah tiga anak itu.
Putranya yang berusia 31 tahun itu, awalnya bekerja sebagai petugas kebersihan di salah satu badan usaha milik negara. Namun, pada 2023, kontrak kerja anaknya tak lagi diperpanjang.
Setelah tak lagi bekerja, anaknya jadi pengangguran. Marjan pun tak begitu memperhatikan aktivitas anak bungsunya selama menganggur karena dia sibuk berjualan pakaian di Pasar Senen.
"Cuma, tiap malam dia sering keluar. Sedih saya saat ada telfon dari polisi. Kata mereka, anak saya ditangkap karena mencuri," ucap lelaki asal Banten itu.
Panggilan telepon dari polisi pada suatu malam di akhir 2023 sulit dipercaya. Dia tak menyangka anaknya yang pernah bekerja di tempat terhormat, berpendidikan cukup (lulusan sekolah menengah atas), memilih jalan sepintas.
Marjan tak hanya marah dan sedih, tetapi, juga malu. Dia masih sulit membayangkan cibiran orang-orang sekitar. Namun, segala perasaan itu, akhirnya disingkirkan jauh-jauh.
"Apapun kesalahannya, saya orangtuanya. Saya ketemu dia setelah itu dan saya hanya bilang, ini jadi pelajaran," katanya.
Lelaki yang memiliki dua orang cucu itu pun setia mendampingi anaknya selama menjalani proses hukum. Dia bahkan rela menjual sejumlah harta bendanya, termasuk dua sepeda motor demi mencari cara meringankan hukuman putranya.
"Saya hampir mau jual rumah. Cuma, setelah konsultasi, rupanya percuma. Kami ikhlas saja," ucapnya.
Momen Lebaran 2024 ini pun bakal jadi pengalaman pertama, dia bersama putranya merayakan lebaran berbeda atap rumah. Perasaan kehilangan juga sedih masih membekas, namun dia bersyukur masih diberi kesempatan untuk kembali berjumpa putranya meski harus bersua di penjara.
Hati yang “beku”
Sama halnya Lapas Perempuan Kelas 2A, Pondok Bambu, Jakarta Timur juga dipenuhi para pengunjung guna menemui sanak saudara, kerabat, serta kawan yang diasingkan. Rumah tahanan (rutan) itu memberlakukan dua sesi pertemuan pada saat Idul Fitri. Para penjenguk bisa memilih salah satu sesi, pagi atau siang.
Dari sekian banyak pengunjung, satu di antaranya Tutik R (61) yang tampak gelisah menanti antrean. Ia terburu-buru mengambil nomor tunggu demi menemui anak sulungnya, Eka (37). Beragam makanan dibawa untuk diberikan pada anaknya, berharap dapat menghabiskan sedikit waktu yang diberikan untuk merayakan Idul Fitri bersama.
Tahun ini merupakan kali kedua Tutik menghabiskan waktu dengan Eka yang terjerat kasus penyalahgunaan narkoba di Rutan Pondok Bambu. Pertemuan itu tak dilakukannya sendiri, tetapi bersama dua anak dan dua cucu untuk merayakan Lebaran bersama.
“Adiknya juga enggak pernah ke sini, ‘Lagian sih buat ulah sendiri, kesal,’ katanya. Tapi, alhamdulillah sekarang sudah mau bareng. Allah saja maha pemaaf, masa kita enggak sih?” kata Tutik.
Anak-anak Tutik selama ini enggan membesuk Eka karena kekesalan yang tak dapat ditutupi. Beruntung, Tutik berhasil meyakinkan mereka agar meluangkan waktu bertemu kakak tertuanya untuk pertama kali di rutan.
Tutik melanjutkan, ia masih ingat betul kali pertama merayakan Lebaran bersama Eka di hotel prodeo ini. Upaya persuasi juga ia lakukan agar suaminya mau menilik anak sulungnya.
“Selama ini, Bapak enggak pernah mau menjenguk demi memberi efek jera. Tapi, kan, kalau perempuan sama laki-laki berbeda. ‘Walau bagaimanapun, dia tetap anak kita. Ayo ke sana, kapan lagi?’ Terus kami ke sana, seminggu kemudian, Bapak meninggal,” tutur Tutik dengan nada bergetar dan berkaca-kaca.
Sebelum kepergiannya, sang suami pernah bertanya-tanya kapan Eka keluar dari rutan. Ia khawatir, salah satu dari mereka akan berpulang terlebih dulu sebelum melihat putrinya melenggang bebas.
“Sedihlah, sedih. Ya, pokoknya sedih banget. Biasanya kami pada kumpul, kan,” ujar Tutik sembari menghela napas panjang.
Kasih sepanjang masa
Sembari terus menanti entah kapan anaknya bebas dari rutan, Tutik sesekali menjenguk Eka meski harus dilakukannya seorang diri.
Lebaran kali ini bertepatan dengan hari ulang tahun Eka. Tutik bercerita, putrinya selalu berharap dapat melahap masakan ceker ayam bumbu kecap favoritnya ketika berjumpa. Maka, ia pun mengupayakan beragam cara demi bisa memenuhi keinginan anaknya.
“Ibu sudah memaafkan. Ibu bagaimana ya rasanya, enggak mau besuk, tapi anak sendiri. Sebandel-bandelnya anak, tetap anak kita sendiri. Kasihan,” ujar Tutik.
Dari Bogor hingga Tebet, ia biasa memanfaatkan kereta api. Kemudian, perjalanannya berlanjut ke rutan menggunakan bajaj. Ia tak pernah absen membawa masakan-masakan kesukaan Eka. Dalam kondisinya itu, ia selalu membuat dalam porsi besar agar putrinya dapat berbagi pula ke penghuni lain lapas.
“Kalau kita baik sama anak orang, barangkali ada yang baik sama anak kita,” katanya.
Dalam sekali besuk, ia perlu merogoh kocek sekitar Rp 50.000, dengan Rp 20.000 hanya untuk bajaj. Nominalnya makin besar ketika jadwal besuk dilakukan saat Lebaran. Untuk bajaj saja, ia perlu mengeluarkan Rp 50.000 setelah melalui proses tawar-menawar yang alot.
Beratnya biaya yang harus ditanggung, terutama ongkos transportasi, memaksa Tutik tak dapat rutin menjenguk Eka. Ia hanya membesuk putri sulungnya tiap 2-3 bulan sekali.
Meski banyak tantangan mengurus anaknya dari jauh, demi memelihara ikatan antara ibu dan anak, Tutik menegaskan, kasih sayang pada anak sulungnya tak pernah berubah meski telah berbuat ulah. Harapan terdalamnya, Eka sungguh-sungguh sadar ketika bebas kelak. Tak lagi mengulangi kesalahannya, apalagi setelah ayah terkasih meninggal dunia.
Lebaran sebagai kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang terkasih dalam keterbatasan juga dimanfaatkan Ardi (19). Bersama kedua saudaranya, Rizky (23) dan Adit (22), mereka berangkat dari Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Di Lapas Pondok Bambu, Ardi akan bertemu dengan Ibunya. Meski enggan menjelaskan alasan sang ibu harus mendekap di rutan, ia mengiyakan bahwa Idul Fitri menjadi momen untuk bermaaf-maafan secaran langsung. Itu sebabnya, ia rela mengantre di tengah teriknya sinar matahari demi mengunjungi orang terdekatnya.
“Ini kami bawa barang-barang, kue pesanan Ibu,” kata Rizky sambil menunjuk satu plastik bening besar berisi aneka makanan.
Ia menambahkan, sesekali Ardi menghubungi ibunya melalui ponsel bibinya. Hal itu pula yang menyebabkan ia jarang ke lapas untuk bertatap muka langsung.
Idul Fitri bak perekat hubungan yang selama ini kusut, bahkan nyaris terputus. Banyak orangtua berbesar hati menerima kondisi dan kesalahan yang dibuat anak-anaknya, sekali pun harus menemuinya di rumah tahanan. Dari “lorong gelap” itu pula, mereka belajar untuk menerima di tengah keterbatasan. Bukti bahwa cinta tak memandang kondisi.