Lebaran, Momen Kebangkitan Ekonomi dan Perayaan Aneka Tradisi Islam
Libur Lebaran dengan tradisi mudiknya berdampak pada menggeliatnya ekonomi di daerah dan tradisi budaya khas Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Tradisi mudik berdampak multidimensi bagi perekonomian di daerah tujuan mudik. Sebab, setiap pemudik adalah wisatawan yang akan mengunjungi destinasi wisata, membelanjakan uang, serta membangkitkan kegiatan usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM.
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan memperkirakan sebanyak 193,6 juta penduduk akan melakukan mudik Lebaran tahun ini. Jumlah ini naik sekitar 60 persen dibandingkan pada 2023.
Mudik sebagai fenomena budaya sudah berlangsung lama. Jutaan orang melakukan perjalanan ke kampung halaman untuk berkumpul bersama keluarga.
Peneliti Pusat Studi Pariwisata (Puspar) Universitas Gadjah Mada (UGM), Destha Titi Raharjana, yang dikutip dari laman resmi UGM, Rabu (10/4/2024), mengatakan, kegiatan mudik Lebaran dapat meningkatkan geliat sektor pariwisata. ”Selain tujuannya pulang kembali ke kampung halaman, para pemudik berkesempatan melihat daya tarik wisata sehingga bisa menambah pendapatan masyarakat sekitar,” kata Destha.
Selain menambah pendapatan asli daerah lewat tiket masuk wisata dan parkir, arus mudik juga dapat meningkatkan belanja masyarakat dan konsumsi rumah tangga. Karena itu, pemerintah bersama penyedia jasa serta pelaku wisata perlu memastikan tumbuhnya ekosistem pariwisata yang nyaman bagi pengunjung dalam rangka mewujudkan destinasi wisata yang bertanggung jawab.
”Pelaku usaha jasa wisata harus mampu melayani secara proporsional. Jangan sampai merusak citra wisata hanya karena menaikkan harga dengan alasan aji mumpung atau memberikan layanan yang kurang baik,” ujar Destha.
Baca juga: Desa Wisata dan ”Cuan” Lebaran
Menurut Destha, perlu dihindari hal-hal yang membuat perlakuan yang tidak nyaman kepada wisatawan. Penting bagi kelompok sadar wisata untuk menjaga citra lokasi wisata dengan baik. ”Penyedia jasa dan pemudik perlu menyiapkan segala hal secara saksama agar mendapatkan layanan yang memadai tidak sampai menimbulkan kekecewaan,” ujarnya.
Dari hasil survei Kementerian Perhubungan, puncak arus mudik terjadi pada 5-7 April dan arus balik terjadi pada 14-15 April. Adapun tiga provinsi yang paling banyak menjadi tujuan utama mudik Lebaran adalah Provinsi Jawa Tengah (31,8 persen), Jawa Timur (19,4 persen), dan Jawa Barat (16,6 persen).
Adapun di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Dinas Perhubungan DIY memperkirakan ada 6,5 juta pemudik yang tiba di DIY. Arus mudik dan jumlah wisatawan di masa libur Lebaran diprediksi meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, seiring beroperasinya Tol Yogyakarta-Solo secara fungsional pada mudik Lebaran tahun ini.
Waspada dalam berkendara
Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Dewanti, mengatakan, pemudik perlu meningkatkan kewaspadaan dalam berkendara, khususnya sepanjang hari Idul Fitri tahun 2024. Pemudik yang menggunakan kendaraan pribadi diimbau untuk tetap waspada dan berhati-hati selama berkendara untuk meminimalkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kecelakaan, antara lain mengemudi dengan kecepatan tinggi, mabuk, tidak menggunakan peranti keselamatan, terdistraksi telepon pintar (smartphone), infrastruktur jalan buruk, kendaraan yang tidak aman, buruknya penanganan pascakecelakaan, dan kurangnya penegakan hukum lalu lintas.
Baca juga: Tingginya Kecelakaan Mudik Lebaran di Jalan Tol
Sebanyak 73 persen kecelakaan terjadi pada kendaraan roda dua, dan lebih dari 80.000 korban merupakan usia belajar. ”Angka ini tentunya sangat mengkhawatirkan, terlebih kecelakaan lalu lintas banyak terjadi akibat kelalaian yang dapat dicegah,” kata Dewanti dalam webinar bertajuk ”Menguak Hasil Investigasi Kecelakaan Lalu lintas Jalan Raya”, beberapa waktu lalu.
Upaya untuk meningkatkan keselamatan lalu lintas ini bisa dilakukan dengan berbagai upaya, tidak hanya soal kesiapan kendaraan, tetapi juga bagaimana munculnya kesadaran dari masyarakat. ”Kesadaran akan keselamatan berkendara ini perlu ditingkatkan. Tidak hanya pelajar, orang dewasa, atau pengemudi, tetapi semua,” ujarnya.
Dewanti mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyebutkan, secara global terjadi penurunan tren kecelakaan lalu lintas sebesar 5 persen sepanjang tahun 2010-2021. Kendati demikian, kewaspadaan tidak boleh diturunkan. Pasalnya, sekitar 92 persen kecelakaan lalu lintas terjadi di negara berpenghasilan menengah ke bawah, dengan 28 persen kasus terjadi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Tradisi bermaaf-maafan terjadi di mana-mana karena memang ini perintah agama Islam.
”Setiap 20 detik, satu orang meninggal di jalan raya. Sebenarnya, kalau kita lihat seberapa mematikan kecelakaan lalu lintas itu, dilihat dari seluruh usia, kecelakaan lalu lintas menempati posisi ke-12. Namun, kalau dilihat dari usia 5-29 tahun, (dalam) usia yang sangat muda ini, ternyata kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab utama,” paparnya.
Kepadatan lalu lintas pada setiap puncak liburan nasional menjadi salah satu momen rawan terjadinya kecelakaan lalu lintas. Jalur kendaraan yang kurang baik, kondisi kendaraan yang tidak sesuai standar, bahkan kondisi pengemudi yang kelelahan berisiko terjadinya kecelakaan. Karena itu, masyarakat diimbau untuk mempersiapkan perjalanan mudik dengan saksama dan beristirahat sejenak apabila mengemudi dalam waktu yang lama.
”Kewaspadaan dan kesadaran terhadap keselamatan diharapkan mampu menurunkan risiko kecelakaan di mana pun dan kapan pun,” kata Dewanti.
Corak perayaan Lebaran
Sementara itu, pakar Kajian Timur Tengah dan Isu-isu Islam Kontemporer dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (UI), Mulawarman Hannase, mengatakan, setelah menyempurnakan puasa Ramadhan, umat Muslim diperintahkan untuk bertakbir yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya sebagai pelaksanaan shalat Idul Fitri. Dalam perkembangan sejarah Islam, muncullah berbagai corak ekspresi masyarakat dalam menghidupkan, meramaikan, dan memeriahkan Idul Fitri di tempat yang berbeda-beda di seluruh dunia sesuai dengan adat dan budaya lokal.
”Kendati demikian, tata cara pelaksanaan shalat Idul Fitri di mana pun pasti sama,” kata Mulawarman.
Baca juga: Budaya Mudik di Sejumlah Negara di Dunia
Mulawarman mengatakan, tradisi bermaaf-maafan terjadi di mana-mana karena memang ini perintah agama Islam. ”Di Indonesia, tradisi bermaaf-maafan terimplementasi dengan baik dengan beberapa bentuk ekspresi, seperti mudik dan sungkem ke orangtua, saling mengunjungi dan berkumpul bersama keluarga, serta halalbihalal yang subtansinya saling memaafkan antara kerabat, kolega, dan lingkungan kerja,” tutur Mulawarman.
Momentum berkumpul dengan sanak saudara di hari Lebaran tidak akan lengkap tanpa sajian khas makanan Idul Fitri. Di Arab Saudi, makanan utama saat Idul Fitri adalah olahan daging kambing dan sapi, dilengkapi dengan deretan kue manis. Beberapa hidangan tradisional manis dan gurih khas Arab Saudi di antaranya dibyaza, masoub, dan roti fatoot.
Namun, masyarakat Indonesia tidak akan menemukan ketupat di Arab Saudi karena negara tersebut tidak memiliki pohon kelapa dan pohon lontar yang daunnya bisa digunakan sebagai bahan baku pembuatan ketupat.
Bagi anak-anak di Arab Saudi, tradisi Eidiyah sangat ditunggu-tunggu. Eidiyah merupakan tradisi pemberian hadiah berupa uang dengan jumlah yang beragam kepada anak-anak saat hari Idul Fitri. Akan tetapi, bukan hanya anak-anak yang mendapat hadiah berupa uang saat Lebaran. Pemerintah Arab Saudi setiap tahunnya memberikan tunjangan yang cukup besar kepada pegawai atau di Indonesia disebut tunjangan hari raya.
Umat Muslim di Arab Saudi banyak menghabiskan waktu liburan Lebaran untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, taman-taman, dan ruang publik lainnya. ”Sama halnya dengan yang dilakukan masyarakat Indonesia, waktu libur yang telah ditetapkan oleh pemerintah dimanfaatkan dengan mengunjungi sanak saudara di kampung halaman atau yang biasa disebut mudik dan menjadikan momen tersebut untuk berlibur bersama dengan keluarga,” kata Mulawarman.