Alam Semesta Tidak Berbentuk Trompet Sangkakala
Sebagian Muslim meyakini semesta berbentuk trompet sangkakala. Padahal, itu adalah model pengembangan evolusi semesta.
Beberapa tahun terakhir, muncul pemahaman di sebagian umat Islam bahwa alam semesta berbentuk seperti trompet sangkakala. Sejatinya, gambaran yang mirip bentuk trompet itu adalah model evolusi dan pengembangan alam semesta, bukan bentuk alam semesta.
Karena ujung semesta belum diketahui, ilmuwan hanya bisa mengembangkan model alam semesta. Entah siapa yang memulai, sebuah media daring pada 2015 menuliskan bahwa alam semesta yang kita tinggali saat ini ternyata berbentuk seperti trompet sangkakala.
Kala itu tengah ramai konten dan pemberitaan tentang munculnya suara-suara aneh di langit dari berbagai negara, termasuk Indonesia, seperti suara dengungan, desisan, deru, sampai suara trompet.
Dari suara trompet itulah, media daring tersebut menunjukkan gambar dari Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) serta menyimpulkan bahwa alam semesta berbentuk trompet.
Tak berselang lama, tiba-tiba khatib shalat Jumat di sejumlah masjid menyampaikan bahwa alam semesta berbentuk seperti trompet. Pada masa itu, politik identitas sedang menguat.
Baca juga: Menguak Misteri Semesta Melalui Sampel Asteroid Bennu
Selanjutnya, pemberitaan itu terus diduplikasi dalam berbagai platform media yang kemudian ditulis ulang oleh media daring lain. Akhirnya, pandangan bahwa alam semesta berbentuk sangkakala itu makin kukuh.
Apalagi, seorang penceramah agama ternama beberapa tahun lalu dengan mengacu pada dalil kitab suci dan pemberitaan media daring tersebut turut menyuarakan bahwa alam semesta berbentuk seperti trompet.
”Gambar yang dipersepsikan sebagai bentuk alam semesta seperti trompet sangkakala itu sebenarnya adalah model pengembangan alam semesta, bukan bentuk alam semesta,” kata Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin di Jakarta, Sabtu (30/3/2024).
Gambar tentang pengembangan alam semesta itu disusun dari teori tentang asal-usul alam semesta yang kukuh saat ini, yaitu teori bigbang alias dentuman besar hingga evolusinya hingga saat ini. Teori ini juga didukung oleh sejumlah bukti yang diperoleh dari observasi astronomi langsung.
Dalam model pengembangan alam semesta itu, alam semesta terbentuk dari dimulainya dentuman besar pada 13,77 miliar tahun yang lalu. Dari dentuman inilah, menurut dosen Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung, Ferry M Simatupang, terbentuknya ”gelembung” ruang dan waktu.
Artinya, dentuman itu tidak terjadi di ruang yang sudah ada. Visualisasi ruang kosong di luar gelembung ruang dan waktu yang setelah berevolusi berbentuk mirip trompet itu bukan berarti itu adalah ruang kosong.
”Bisa jadi ruang di luar gelembung ruang-waktu itu tidak ada, bisa jadi pula ada ruang milik alam semesta lain. Hal yang pasti, hanya informasi di dalam gelembung ruang-waktu itu saja lah yang bisa diakses manusia,” tuturnya.
Saat dentuman besar terjadi, energi, tekanan, temperatur, dan kerapatan semesta masih amat tinggi. Selanjutnya, dalam waktu supersingkat, alam semesta mengembang ultramasif yang disebut periode inflasi.
Pengembangan ini membuat suhu semesta turun sehingga partikel-partikel subelementer, seperti quark, lepton, dan foton, bisa terbentuk.
Kemudian, partikel subelementer itu membentuk inti-inti atom hingga akhirnya menghasilkan hidrogen, deuterium (isotop hidrogen), dan litium. Namun, saat ini, alam semesta belum terlihat.
Meski suhunya sudah turun, masih terlalu tinggi untuk bisa membuat foton (partikel cahaya) bisa bergerak bebas. Foton terperangkap dalam alam semesta yang kedap.
Proses pendinginan semesta terus berlanjut sehingga elektron bebas bisa bergabung dengan inti atom dan membentuk atom netral.
Penyerapan elektron bebas itu membuat alam semesta menjadi transparan dan foton pun bisa lepas. Foton yang lepas itu bisa dideteksi sebagai radiasi latar belakang (CMB) dan ini terjadi pada 380.000 tahun setelah dentuman besar.
Setelah itu, semesta memasuki masa kegelapan (dark ages) karena belum ada sumber cahaya yang menghasilkan cahaya tampak.
Seiring terus turunnya suhu semesta, ionisasi pun terjadi dan memicu runtuhnya awan hidrogen hingga membentuk bintang-bintang generasi pertama di semesta pada 400 juta tahun setelah dentuman besar. Era kegelapan pun berakhir.
Bintang-bintang pertama pun saling berinteraksi dan membentuk galaksi. Selanjutnya, bintang pun berevolusi: lahir, berkembang, mati, membentuk bintang baru, dan seterusnya.
Galaksi pun saling berinteraksi, bertabrakan, atau bergabung membentuk galaksi baru. Jadilah alam semesta seperti yang kita lihat saat ini, termasuk munculnya kehidupan di Bumi.
Geometri alam semesta
Jika alam semesta tidak berbentuk seperti trompet sangkakala, lantas apa bentuk alam semesta yang sebenarnya?
Persoalan ini tidak mudah dijelaskan ilmuwan karena ujung atau tepian alam semesta saja tidak diketahui, apalagi memotret alam semesta kita dari semesta lain. Bukan hanya karena manusia tidak bisa keluar dari semestanya, melainkan keberadaan multisemesta juga masih menjadi perdebatan teoretis.
Karena itu, yang bisa dilakukan ilmuwan adalah memprediksi model alam semesta. Berdasarkan teori relativitas umum Albert Einstein, diketahui bahwa ruang-waktu bisa melengkung.
”Dari sinilah muncul model alam semesta datar seperti selembar kertas, tertutup seperti bola, dan terbuka seperti pelana. Model alam semesta ini bisa menceritakan masa lalu dan masa depan semesta,” kata komunikator astronomi dan pendiri Langit Selatan, Avivah Yamani.
Ketiga model alam semesta itu sama-sama dimulai dari dentuman besar dan kemudian mengembang dalam jangka waktu berhingga. Nasib akhir alam semesta ditentukan oleh pertarungan antara tarikan gravitasi materi yang ada dan pemuaian semesta dalam setiap model semesta.
Pada model semesta tertutup seperti bola, maka kurvatur atau kelengkungan ruang-waktunya bernilai positif. Saat seseorang melakukan perjalanan antariksa pada semesta ini, maka bisa jadi dia akan kembali ke titik sama di masa depan.
Pengembangan alam semesta pada model ini bisa berhenti hingga kemudian menyusut kembali. ”Pada model ini, akhir alam semesta akan mengalami keruntuhan hingga terjadi big crunch (kehancuran besar),” kata Djamaluddin.
Kehancuran ini akan membuat semesta kembali menjadi singularitas lagi seperti saat terjadi dentuman besar terjadi. Setelah fase ini selesai, singularitas itu bisa mendentum lagi atau mengalami big bounce sehingga terbentuk semesta yang baru.
Sementara pada model semesta terbuka seperti pelana maka kurvaturnya bernilai negatif. Pada model ini, alam semesta akan mengembang terus dengan laju pengembangan yang tidak pernah mendekati nol.
Akhir dari model alam semesta seperti ini adalah terjadinya kekoyakan besar (big rip) yang membuat semua obyek semesta saling menjauh dan semua obyek akan hancur karena gravitasi tak mampu lagi menahan benda-benda tersebut.
Di antara model semesta tertutup dan terbuka yang sama-sama ekstrem itu, ada model semesta datar yang berada di antaranya. Model semesta ini mirip selembar kertas yang kurvaturnya nol.
Alam semesta model ini juga bisa mengembang tetapi laju pengembangannya akan semakin turun mendekati nol, tetapi tidak akan pernah menjadi nol, sehingga akhir dari model semesta ini akan mengalami kebekuan besar (big freeze).
Hal yang pasti, alam semesta seperti trompet sangkakala tidak dikenal dalam sains modern karena yang berbentuk seperti sangkakala itu hanyalah visualisasi model evolusi alam semesta berdasarkan waktu.
”Dari hasil observasi, dalam skala lokal, alam semesta berbentuk datar atau minimal mendekati datar,” kata Ferry.
Studi lain pada 1990-an membuktikan alam semesta mengembang dipercepat. Artinya, kecepatan pengembangan alam semesta makin lama bukannya makin menurun seperti yang digambarkan dalam model-model alam semesta tersebut, melainkan pengembangannya justru makin lama makin cepat.
Energi gelap (dark energy) diduga berperan besar menyebabkan pengembangan alam semesta yang dipercepat tersebut.
Alhasil, bukan hanya soal kerapatan materi dan laju pengembangan alam semesta yang menentukan nasib akhir semesta, melainkan juga energi gelap, energi yang bisa dirasakan dampaknya tetapi belum diketahui wujudnya.
Menurut Avivah, masa depan semesta mengembang dipercepat cukup suram. Miliaran tahun lagi, semesta akan mengembang sangat cepat sehingga galaksi saling menjauh.
Bahkan, Galaksi Andromeda yang bisa diamati dengan mata telanjang di langit malam juga tidak akan terlihat. Pada 100 triliun tahun kemudian, pembentukan bintang akan selesai. ”Akhirnya, semesta hanya akan diisi oleh lubang hitam-lubang hitam supermasif,” tuturnya.
Meski demikian, semua model alam semesta akan terus berkembang dan bisa berubah seiring majunya teknologi observasi.
Hal yang pasti, alam semesta seperti trompet sangkakala tidak dikenal dalam sains modern, karena yang berbentuk seperti sangkakala itu hanyalah visualisasi model evolusi alam semesta berdasarkan waktu.
Selain itu, pertanyaan tentang semesta sepertinya akan jadi pertanyaan abadi. Pembandingan antara dogma agama tentang semesta dan temuan-temuan sains tentang semesta juga akan terus dilakukan. Padahal, sains dan agama sebenarnya memiliki posisi berbeda yang tidak bisa diperhadapkan.
”Kebenaran agama bersifat mutlak, sedangkan kebenaran sains bersifat relatif,” kata Djamaluddin.
Baca juga: Apa yang Terjadi jika Bumi Datar?
Sains akan terus mengadopsi kebenaran-kebenaran baru sesuai dengan perkembangan kemampuan pikir, ilmu, dan teknologi manusia. Sementara kebenaran agama tidak akan pernah berubah walau tafsirnya bisa saja berbeda.
Sah-sah pula menyandingkan antara pemahaman sains dan tafsir agama, tetapi jangan ”memaksakan” untuk mengagamakan sains atau mensainskan agama.