Masyarakat Diimbau Tak Panik, Menkes: Kematian akibat DBD Tergolong Rendah
Jumlah kasus DBD lebih kurang 120.000 kasus per tahun setelah malaria (400.000), HIV (500.000), dan TBC (1 juta kasus).
Oleh
MAWAR KUSUMA WULAN
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seiring kasus demam berdarah dengue atau DBD yang merebak kembali, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengimbau masyarakat untuk tidak panik. Angka kematian atau fatality rate yang diakibatkan DBD masih cenderung rendah. DBD merupakan penyakit menular yang menduduki peringkat keempat di Indonesia.
Jumlah kasus DBD di Indonesia lebih kurang 120.000 kasus per tahun setelah malaria (400.000 kasus), HIV (500.000 kasus), dan tuberkulosis (1 juta kasus). ”Jadi kena, yang meninggalnya itu sangat rendah karena semua rumah sakit sudah tahu, tinggal diberi infus. Yang penting jangan terlambat,” ujar Menkes di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, seusai buka puasa bersama Presiden dan anggota Kabinet Indonesia Maju, Kamis (28/3/2024).
Apabila terdapat gejala DBD, Menkes meminta masyarakat melakukan tes cepat atau membawa pasien ke puskesmas atau rumah sakit untuk memastikan diagnosis DBD. ”Buat teman-teman supaya enggak panik, rumah sakit Jakarta masih cukup tempatnya karena pengalaman kita sama Covid itu fasilitasnya banyak sekali. Jadi, jangan khawatir,” tuturnya.
Masyarakat juga diimbau memperhatikan kondisi lingkungan tempat nyamuk Aedes aegypti berkembang biak. Bak sampah jangan sampai menyimpan genangan air. Pemerintah juga sudah menyiapkan larvasida untuk mematikan jentik-jentik nyamuk. ”Kami siapkan insektisida kalau di-fogging (pengasapan),” tambahnya.
Buat teman-teman supaya enggak panik, rumah sakit Jakarta masih cukup tempatnya karena pengalaman kita sama Covid itu fasilitasnya banyak sekali. Jadi, jangan khawatir.
Saat ini, metode penanggulangan DBD dengan menggunakan nyamuk ber-Wolbachia juga mulai bergulir di lima kota besar, yaitu Bandung, Bontang, Kupang, Jakarta, dan Semarang. Wolbachia merupakan bakteri alami, simbion yang umum ditemukan di hewan artropoda. Mekanismenya adalah menghambat replikasi virus dengue yang diperankan oleh Wolbachia.
Kemenkes juga telah mengadopsi teknologi Wolbachia dengan menerbitkan Keputusan Menkes Nomor 1341 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Pilot Project Teknologi Wolbachia di lima kota. ”Kami lakukan itu karena contohnya di Yogyakarta turun jauh. Dengue secara total naik di dunia karena pengaruh iklim,” ujar Budi.
Yogyakarta menjadi satu-satunya kota yang mengalami penurunan angka DBD sejak penerapan nyamuk ber-Wolbachia diluncurkan. Menanggapi penolakan implementasi Wolbachia di sejumlah daerah, Budi menyebut masyarakat yang menolak tersebut merupakan kelompok yang juga menolak vaksin Covid-19 saat pandemi.
”Nah, ini juga teman-teman bantu didik masyarakat. Karena banyak sekali hoaks yang beredar ini buruk, ini apa, tapi kalau dilihat itu adalah kelompok yang sama yang bilang vaksin jangan dilakukan untuk Covid-19,” katanya.
Nah, ini juga teman-teman bantu didik masyarakat. Karena banyak sekali hoaks yang beredar ini buruk, ini apa, tapi kalau dilihat itu adalah kelompok yang sama yang bilang vaksin jangan dilakukan untuk Covid-19.
Pelayanan terbatas
Dia miskin, tidak punya dana pakai BPJS, kena demam berdarah. Dia muter sampai tiga empat rumah sakit penuh semua, akhirnya ada yang dapat ada yang tidak.
Sebelumnya, pada rapat kerja dengan Menkes di ruang rapat Komisi IX, Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (25/3/2024), anggota Komisi IX DPR, Edy Wuryanto, menegaskan kepada Kemenkes bahwa masyarakat miskin harus mendapatkan layanan kesehatan. Dia mengungkapkan, penyakit demam berdarah di DKI Jakarta meningkat, tetapi layanan kesehatan terbatas sehingga tak jarang warga tidak mendapatkan fasilitas kesehatan.
Menurut dia, pasien demam berdarah harus mendapatkan pelayanan kesehatan secara cepat dan tepat. Apalagi, banyak pasien demam berdarah yang kesulitan karena rumah sakit penuh.
”Dia miskin, tidak punya dana pakai BPJS, kena demam berdarah. Dia muter sampai tiga empat rumah sakit penuh semua, akhirnya ada yang dapat ada yang tidak. Pertanyaan saya, apa upaya pemerintah untuk menjamin ketika ada ledakan kasus seperti ini, jangan sampai masyarakat yang miskin ini tidak memperoleh tempat tidur di rumah sakit, terutama di Jakarta,” ujar Edy.