Jaga Tradisi Sasi, Rawat Ekologi ”Bumi Cenderawasih”
Laut dan hutan menjadi sumber penghidupan orang Papua. Mereka menjaga kelestariannya dengan tradisi sasi.
Bagi orang Papua, sasi bukan sekadar tradisi, melainkan juga benteng ekologi yang merawat ”Bumi Cenderawasih”. Tradisi itu dijaga dan diwariskan agar lautan dan hutan terus mengalirkan berkat berkelimpahan.
Dentang lonceng gereja memecah keheningan di Kampung Kapatcol, Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Senin (25/3/2024) pagi. Lonceng itu bukan penanda dimulainya ibadah mingguan, melainkan panggilan bagi warga untuk mengikuti liturgi pembukaan sasi laut.
Selesai ibadah, perwakilan gereja, tetua adat, aparat desa, dan warga berjalan kaki sekitar 250 meter menuju dermaga. Puluhan anak-anak telah menunggu di sana. Pagi itu, mereka hanya mengikuti upacara di sekolah dan langsung dipulangkan untuk mengikuti pembukaan sasi yang dikelola oleh Kelompok Perempuan Waifuna.
Kelompok ini beranggotakan mama-mama di Kampung Kapatcol. Sejak 2011, mereka didampingi Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dalam mengelola laut secara berkelanjutan.
Langit cerah dan lautan yang tenang pertanda baik untuk membuka sasi. Warga pun bergegas melompat ke perahu. Belasan perahu motor mengantarkan mereka menuju kawasan sasi yang berada di perairan sisi barat Kampung Kapatcol.
”Perairan ini sudah hampir setahun disasi. Tidak boleh tangkap teripang, lobster, lola, dan (siput) batu laga. Sekarang saatnya memanen,” ujar Kepala Kampung Kapatcol Luis Hay sambil mengemudikan perahu motornya.
Sasi laut merupakan tradisi pemanfaatan hasil laut yang banyak ditemui di Papua dan Maluku. Budaya ini mengatur akses terhadap penangkapan biota laut dan pembatasan penggunaan alat tangkap di kawasan dan selama kurun waktu tertentu. Meski aturannya tidak tertulis, warga memercayai hal buruk akan terjadi jika melanggarnya.
”Sasi merupakan kebiasaan secara turun-temurun untuk mengambil hasil laut tanpa merusak lingkungan. Tradisi ini harus dijaga agar generasi sekarang tidak mewariskan ekosistem laut yang rusak kepada anak cucu,” katanya.
Luis menuturkan, perairan Misool pernah hancur pada 1980-an hingga 1990-an. Nelayan dari luar Pulau Misool menggunakan bom untuk menguras hasil laut. Karang dan lamun pun rusak.
Baca juga: Berkah Melimpah dari Laut yang Dijaga
Ada juga nelayan setempat yang menebar potasium. Linggis dipakai untuk membongkar karang. Lemahnya penegakan hukum membuat penangkapan hasil laut tidak ramah lingkungan itu semakin merajalela.
”Dulu, warga ikut-ikutan merusak (ekosistem laut) karena melihat nelayan dari luar seenaknya menangkap ikan dengan bom. Mereka mendapat hasil banyak, sementara kami cuma bisa menonton. Namun, saat masuk program pendampingan di awal 2000-an, warga mulai sadar untuk menjaga kelestarian laut agar hasilnya tetap bisa dinikmati untuk jangka panjang,” jelasnya.
Sebelum sasi dibuka, tetua adat melarung pon fapo (persembahan bagi leluhur) ke laut. Isinya berupa daun sirih dan pinang. Ada juga nasi kuning yang ditanam di dekat papan sasi.
”Tradisi Matbat (suku asli Pulau Misool) selalu menyediakan sirih pinang. Kami meminta izin agar tidak ada halangan dan hasil laut keluar banyak,” ujar tetua adat di Kampung Kapatcol, Yosep Weutot (62).
Kemudian, dua papan sasi yang berjarak sekitar 2 kilometer dicabut. Warga kembali naik ke perahu menuju ke tengah laut. Tanpa aba-aba, mereka langsung meloncat ke laut dan menyelam. Penggunaan kompresor tidak diperbolehkan. Mereka hanya memakai kacamata renang. Beberapa orang menggunakan snorkel dan fins.
Sasi merupakan kebiasaan secara turun-temurun untuk mengambil hasil laut tanpa merusak lingkungan. Tradisi ini harus dijaga agar generasi sekarang tidak mewariskan ekosistem laut yang rusak kepada anak cucu.
Bermodalkan kacamata renang berbingkai kayu dengan pengikat karet dari ban bekas, Marten Luther Logof (10) molo atau menyelam dengan bebas. Air laut yang jernih membuat tubuh mungilnya terlihat jelas dari atas permukaan.
Kurang dari lima menit menyelam, tangannya muncul ke permukaan sambil memegang teripang. Beberapa menit kemudian, ia mendapatkan lola dan batu laga. Beberapa anak juga menangkap ikan menggunakan panah sederhana berbahan kawat dan karet.
”Di bawah banyak teripang. Saya tangkap pakai tangan saja. Kalau lola dan batu laga, harus ambil dekat karang,” ujarnya sambil berpegangan di ujung perahu.
Tak sampai lima menit beristirahat, Marten kembali menyelam. Hari itu, lebih dari 3,5 jam ia berada di lautan. Ibunya, Aderce Manurun (42), juga ikut menyelam di dekatnya. Sementara ayahnya, Andreas Nelson Logof (45), mengawasinya sambil mengemudikan perahu motor.
Mewariskan budaya
Selain Marten, Aderce juga membawa dua anaknya, Yakub (19) dan Esti (7), saat pembukaan sasi itu. Ia ingin ketiga anaknya memahami budaya sasi yang diwariskan leluhur mereka secara turun-temurun. Bukan sekadar ikut menangkap biota laut, melainkan juga mempelajari prosesnya yang penuh dengan nilai-nilai kebaikan.
Budaya sasi melibatkan unsur adat, agama, dan pemerintah. Saat ibadah di gereja, warga bersyukur atas berkat yang diberikan Tuhan. Ritual yang dilakukan tetua adat mengingatkan untuk tidak melupakan para leluhur. Warga pun perlu menaati aturan-aturan pemerintah dalam mengambil hasil laut.
”Sejak dulu, orangtua di sini selalu mengajak anaknya saat buka sasi. Sasi adalah budaya kami yang harus dijaga. Kalau tidak diwariskan, laut akan rusak dan ikan-ikan tidak mau lagi datang,” ucapnya.
Meski kawasan sasi seluas 213 hektar itu dikelola oleh mama-mama, para laki-laki dan anak juga ikut memanen hasil sasi. Hasil penjualannya akan dipakai untuk berbagai keperluan, seperti pendidikan, kesehatan, dan gereja. Alokasinya ditentukan berdasarkan kesepakatan para mama-mama tersebut.
”Sebelum pembukaan sasi, para mama-mama sudah bermusyawarah. Kami sepakat uangnya akan dipakai untuk membantu biaya pengobatan dua anak di kampung ini yang sedang sakit. Waktu periksa di puskesmas, katanya penyakit (organ) dalam. Semoga nanti bisa dibawa ke rumah sakit di Kota Sorong (ibu kota Papua Barat Daya),” ujar Ketua Kelompok Perempuan Waifuna, Almina Kacili.
Buka sasi di Kapatcol dilakukan pada hari Senin-Kamis. Prosesnya berlangsung di pagi hingga siang, serta malam hari. Penangkapan biota laut dibatasi berdasarkan ukuran, seperti teripang dengan panjang 15 sentimeter atau lebih, lola 7 cm ke atas, dan lobster dengan berat lebih dari 5 ons.
Hingga Selasa sore, buka sasi di sana telah menghasilkan 733 teripang dengan berbagai jenis dan ukuran, 459 lola, dan 14 lobster. Hasil buka sasi tahun ini diperkirakan lebih tinggi dibandingkan pada tahun lalu.
Manager Senior Bentang Laut Kepala Burung YKAN Lukas Rumetna mengatakan, sasi merupakan praktik konservasi tradisional. ”Sasi bermanfaat dalam hal ekologi, ekonomi, dan budaya. Dengan sasi, ekosistem laut lebih terlindungi. Ekosistem masyarakat juga terbantu karena hasil sasi bisa dijual untuk menopang ekonomi keluarga. Selain itu, masyarakat melestarikan budaya yang sudah dilakukan oleh nenek moyang sejak dulu,” ujarnya.
Baca juga: Buka Sasi Kapatcol
Lewat sasi, orang Papua telah melestarikan alam sejak lama. Namun, hal ini perlu ditopang dengan perbaikan sektor pendidikan, kesehatan, dan pengelolaan sumber daya agar kekayaan laut yang melimpah mewujud dalam kesejahteraan warganya.