Penggunaan Bahan Baku Obat dari Dalam Negeri Diperluas
Kemandirian farmasi dalam negeri terus didorong. Salah satunya dengan penggantian sumber bahan baku obat impor.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah bahan baku obat serta alat kesehatan yang paling banyak digunakan di Indonesia sudah bisa diproduksi oleh industri dalam negeri. Pemerintah memperluas penggunaan produk farmasi dalam negeri dengan memfasilitasi penggantian sumber bahan baku impor dengan bahan baku obat produksi dalam negeri.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Menteri Kesehatan, di Jakarta, Senin (25/3/2024), mengatakan, pemerintah telah memfasilitasi penggantian sumber bahan baku obat atau change source bahan baku obat yang berasal dari produk impor dengan produk dalam negeri. Penggantian bahan baku tersebut terutama pada jenis bahan baku obat yang paling banyak digunakan di Indonesia.
”Saat ini sudah ada tujuh bahan baku obat yang difasilitasi change source dengan 41 industri yang juga difasilitasi untuk change source. Hal ini selain untuk meningkatkan penggunaan bahan baku obat dalam negeri juga sebagai komitmen pemerintah untuk mendukung kemandirian farmasi dalam negeri,” tuturnya.
Mengutip siaran pers Kementerian Kesehatan yang terbit pada 2 Juni 2022, industri farmasi yang sudah berkomitmen mengganti bahan baku obat impor menjadi bahan baku dalam negeri, antara lain, PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia, PT Veron Pharmaceutical, PT Daewoong Infion, PT Kalbio Global Medika, PT Kimia Farma, PT Dexa Medica, PT Kalbe Farma, PT Otto Pharmaceutical, PT Meprofarm, PT Pertiwi Agung, PT Novel Pharmaceutical Laboratoris, PT Phapros, PT Lapi Laboratories, dan PT Dipa Pharmalas.
Dante menuturkan, Kementerian Kesehatan telah menargetkan setidaknya 10 bahan baku obat, 10 antigen vaksin program, 10 produk biologi, serta 10 alat kesehatan yang paling banyak digunakan di Indonesia bisa diproduksi oleh industri di dalam negeri pada 2024. Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan, percepatan pencapaian produksi dalam negeri telah menunjukkan hasil.
Setidaknya 8 dari 10 bahan baku obat sudah bisa diproduksi di dalam negeri, seperti Paracetamol, Omeprazol, Atorvastatin, Clopidogrel, Amlodipin, Candesartan, dan Azitromisin. Selain itu, 10 dari 14 antigen vaksin program juga sudah diproduksi di dalam negeri, antara lain vaksin BCG, difteri, pertusis, tetanus, hepatitis B, influenza, polio oral, hpv, dan pcv. Sementara alat kesehatan yang sudah diproduksi di dalam negeri adalah continuous ventilator, patient monitor, tempat tidur rumah sakit, alat suntik, mobile x-ray, USG, dan endoskopi.
Selain itu, pemerintah telah mengembangkan obat fitofarmaka dalam negeri. Setidaknya sudah ada 22 bahan baku obat fitofarmaka yang sudah dikembangkan. Obat fitofarmaka merupakan jenis obat bahan alam yang keamanan dan khasiatnya dibuktikan secara ilmiah melalui uji praklinik dan uji klinik. Bahan baku dan produknya sudah distandardisasi.
”Sebanyak 22 obat fitofarmaka sudah dalam proses penilaian dan evaluasi, Kami harapkan agar obat-obat tersebut bisa masuk dalam fornas (formulariun) fitofarmaka,” katanya.
Vaksin Covid-19
Dalam kesempatan yang sama, Dante juga menyampaikan adanya stok vaksin Covid-19 yang masih tersedia saat ini. Setidaknya masih ada sisa stok vaksin Covid-19 sebanyak 5,22 juta dosis. Sebanyak 1,36 juta dosis merupakan jenis vaksin Inavac dan 3,85 juta dosis merupakan jenis vaksin Indovac. Untuk vaksin Covid-19 jenis Inavac dengan masa kedaluwarsa pada Mei-Oktober 2024 dan vaksin jenis Indovac dengan masa kedaluwarsa pada Juni dan September-November 2024.
Jenis vaksin tersebut ditujukan untuk program vaksinasi yang diberikan secara gratis bagi kelompok rentan dan tenaga kesehatan. Sementara untuk jenis vaksinasi pilihan yang berbayar bagi masyarakat yang tidak termasuk dalam kelompok rentan saat ini jumlahnya sekitar 37.000 dosis.
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Golongan Karya, Dewi Asmara, mengatakan, pemerintah perlu mempertimbangkan penggunaan sisa stok vaksin Covid-19 dengan lebih optimal. Vaksin yang masih tersedia sebaiknya diberikan kepada masyarakat secara luas, tidak hanya pada kelompok rentan agar penggunaannya bisa lebih efektif.
”Sebanyak 5,2 juta dosis vaksin yang tersisa itu ada yang masa kedaluwarsanya jatuh tempo pada waktu dekat pada Mei dan Juni. Itu bagaimana penggunaannya. Vaksin itu akan lebih baik digunakan untuk masyarakat dibanding telanjur kedaluwarsa sehingga akan mubazir,” tuturnya.