Lewat Sasi, Perempuan di Misool Raja Ampat Aktif Mengelola Laut
Sejak 2011, perempuan di Kapatcol, Raja Ampat, mengelola sasi di perairan Misool. Mereka terlibat dalan konservasi laut.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
WAISAI, KOMPAS — Dalam budaya patriarki, peran perempuan sering kali dikucilkan. Perempuan sulit mendapatkan hak pengelolaan kawasan, baik lahan maupun perairan. Namun, lewat tradisi sasi, kelompok perempuan di Kampung Kapatcol, Misool Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, terlibat dalam pemanfaatan laut berkelanjutan.
Keterlibatan kelompok perempuan Kampung Kapatcol dalam mengelola sasi dimulai sejak 2011. Kelompok bernama Waifuna itu terdiri dari ibu rumah tangga dan remaja putri asal kampung tersebut. Kelompok ini didampingi oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).
Sasi yang mereka jalankan mengatur akses terhadap wilayah penangkapan ikan, alat tangkap, dan spesies tertentu dalam kawasan yang telah ditetapkan. Jadi, penangkapan hasil laut di kawasan tersebut dilarang dalam jangka waktu tertentu. Meskipun aturannya tidak tertulis dan tanpa lembaga khusus yang mengawasi pelaksanaannya, masyarakat tetap mematuhinya karena meyakini akan mengalami hal buruk jika melanggarnya.
Ketua Kelompok Waifuna, Almina Kacili, mengatakan, sasi merupakan salah satu upaya untuk menjaga kekayaan biota laut karena pemanfaatannya tidak dilakukan terus-menerus. Selain itu, hasil yang diperoleh saat membuka sasi dapat digunakan untuk kehidupan mereka, termasuk mendukung pendidikan anak.
”Dengan sasi, kekayaan laut akan tetap bisa dinikmati generasi mendatang. Ini salah satu cara kami mendukung konservasi,” ujarnya, Minggu (24/3/2024).
Kelompok Waifuna akan membuka sasi, Senin (25/3/2024). Kawasan sasi di sana meliputi perairan seluas 213 hektar yang terletak di sisi barat Kampung Kapatcol. Selama satu tahun, penangkapan biota laut, khususnya teripang, lobster, dan lola di kawasan itu dilarang. Larangan penangkapan terhadap spesies tertentu disepakati oleh warga saat penutupan sasi.
Tradisi sasi merupakan warisan dari leluhur yang mengajarkan cara-cara baik dalam mengambil hasil laut.
Upacara buka sasi akan dimulai dengan ibadah di gereja dan acara adat. Prosesnya diawali dengan pelarungan pon fapo (persembahan bagi leluhur) di wilayah sasi dan pencabutan papan sasi. Setelah 1-2 minggu berselang, warga akan bermusyawarah untuk kembali menutup sasi selama satu tahun.
”Panen (pengambilan hasil laut) dilakukan dengan molo alam (menyelam). Para mama-mama akan menyediakan makanan di pinggir pantai untuk makan bersama. Jadi, hasil dari sasi bisa dinikmati oleh semua,” ucapnya.
Melestarikan tradisi
Tokoh agama di Kampung Kapatcol, Yesaya Kacili, mengatakan, Raja Ampat diberkahi oleh biota laut melimpah. Namun, kekayaan laut itu harus dikelola secara berkelanjutan dengan pemanfaatan yang ramah lingkungan.
”Tradisi sasi merupakan warisan dari leluhur yang mengajarkan cara-cara baik dalam mengambil hasil laut. Generasi saat ini harus ikut melestarikan tradisi ini agar anak cucu juga bisa merasakan berkat itu,” ucapnya.
Yesaya menuturkan, ekosistem laut Misool pernah hancur karena penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, seperti dengan menggunakan bom, potasium, dan linggis yang dipakai untuk membongkar karang. Kebanyakan pelakunya nelayan dari luar Misool. Praktik ilegal tersebut mulai berkurang sejak 1999.
”Program-program pendampingan membuat warga sadar bahwa ekosistem harus dilindungi agar ikan di laut tetap melimpah. Cara-cara penangkapan yang merusak pun mulai ditinggalkan. Sekarang, masyarakat kebanyakan hanya memancing dan menggunakan tombak,” katanya.
Manajer Senior Bentang Laut Kepala Burung YKAN Lukas Rumetna menuturkan, sasi merupakan praktik konservasi tradisional yang banyak diterapkan di Papua dan Maluku. Sasi bertujuan mengatur pemanfaatan hasil laut dengan pembatasan-pembatasan, baik kawasan maupun alat tangkap, yang telah disepakati bersama.
”Sasi bermanfaat dalam hal ekologi, ekonomi, dan budaya. Dengan sasi, ekosistem laut lebih terlindungi. Ekonomi masyarakat juga terbantu karena hasil sasi bisa dijual untuk menopang ekonomi keluarga. Selain itu, masyarakat juga melestarikan budaya yang sudah dilakukan nenek moyang sejak dulu,” jelasnya.